Senin, 24 Oktober 2011

Hukum Wara Laba


Waralaba dalam Pandangan Islam

oleh Sukpandiar Idris Advokat As-salafy pada 25 Oktober 2011 jam 0:31
Assalamu’alaikum wa rohmatulloh,

Ustadz Dzulqornain -hafizhokumulloh- , ana mau tanya tentang hukum bisnis  waralaba/franchise, bolehkah membangun wirausaha dengan system ini?
Jazakumulloh khoiron.

Abu Hammad <infotholibah></infotholibah>
Mungkin maksud dari Akh Abu Hammad tentang waralaba secara garis besar  dijabarkan seperti di bawah ini.

Definisi Waralaba
Menurut International Franchise Association (www.Franchise. org),  Franchise atau Waralaba pada hakekatnya memiliki 3 elemen berikut: Merek, Sistem Bisnis, & Biaya (Fees)
Merek
Dalam setiap perjanjian Waralaba, sang Pewaralaba (Franchisor) –  selaku pemilik dari Sistem Waralabanya memberikan lisensi kepada  Terwaralaba (Franchisee) untuk dapat menggunakan Merek Dagang/Jasa dan  logo yang dimiliki oleh Pewaralaba.
Sistem Bisnis
Keberhasilan dari suatu organisasi Waralaba tergantung dari penerapan  Sistem/Metode Bisnis yang sama antara Pewaralaba dan Terwaralaba. Sistem  bisnis tersebut berupa pedoman yang mencakup standarisasi produk, metode  untuk mempersiapkan atau mengolah produk atau makanan, atau metode jasa, standar rupa dari fasilitas bisnis, standar periklanan, system  reservasi, sistem akuntansi, kontrol persediaan, dan kebijakan dagang, dll.
Biaya (Fees)
Dalam setiap format bisnis Waralaba, sang Pewaralaba baik secara  langsung atau tidak langsung menarik pembayaran dari Terwaralaba atas  penggunaan merek dan atas partisipasi dalam sistem Waralaba yang  dijalankan. Biaya biasanya terdiri atas Biaya Awal, Biaya Royalti, Biaya  Jasa, Biaya Lisensi dan atau Biaya Pemasaran bersama. Biaya lainnya juga  dapat berupa biaya atas jasa yang diberikan kepada Terwaralaba (mis:  biaya manajemen)
Karakteristik lain dari Waralaba
Pihak-pihak yang terkait dalam Waralaba sifatnya berdiri sendiri.  Terwaralaba berada dalam posisi independen terhadap Pewaralaba.  Independen maksudnya adalah Terwaralaba berhak atas laba dari usaha yang  dijalankannya, bertanggung jawab atas beban-beban usaha waralabanya  sendiri (mis: pajak dan gaji pegawai). Di luar itu, Terwaralaba terikat  pada aturan dan perjanjian dengan Pewaralaba sesuai dengan kontrak yang  disepakati bersama.

Definisi-definisi Waralaba lainnya, antara lain:
Amir Karamoy (Konsultan Waralaba)
“Waralaba adalah suatu pola kemitraan usaha antara perusahaan yang  memiliki merek dagang dikenal dan sistem manajemen, keuangan dan  pemasaran yang telah mantap, disebut pewaralaba, dengan  perusahaan/individu yang memanfaatkan atau menggunakan merek dan system  milik pewaralaba, disebut terwaralaba. Pewaralaba wajib memberikan  bantuan teknis, manajemen dan pemasaran kepada terwaralaba dan sebagai  imbal baliknya, terwaralaba membayar sejumlah biaya (fees) kepada  pewaralaba. Hubungan kemitraan usaha antara kedua pihak dikukuhkan dalam suatu perjanjian lisensi/waralaba.

Peraturan Menteri Perdagangan (no. 12/2006)
“Waralaba (Franchise) adalah perikatan antara Pemberi Waralaba  dengan Penerima Waralaba dimana Penerima Waralaba diberikan hak untuk  menjalankan usaha dengan memanfaatkan dan/atau menggunakan hak kekayaan  intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang dimiliki Pemberi Waralaba dengan suatu imbalan berdasarkan persyaratan yang ditetapkan  oleh Pemberi Waralaba dengan sejumlah kewajiban menyediakan dukungan  konsultasi operasional yang berkesinambungan oleh Pemberi Waralaba  kepada Penerima Waralaba”

Sumber :
http://www.waralaba .com/franchiseba sics.php? page_mode= detail&id= 2
<http: .com="" sics.php="" page_mode="detail&amp;id="></http:>
Tambahan : Beberapa perusahaan yang kita kenal di Indonesia juga  menerapkan sistem ini, seperti KFC, Mc Donald, Carefour, Es Teler 77,  Bakso Lapangan Tembak, dll.
Jawaban Al-Ustadz Dzulqornain Abu Muhammad
Bismillahirrahmanirrahim,
Dalam kamus Bahasa Indonesia disebutkan,

wa·ra·la·ba n 1 kerja sama dl bidang usaha dng bagi hasil sesuai dng kesepakatan; 2 hak kelola; hak pemasaran;
pe·wa·ra·la·ba n 1 orang yg memberi waralaba; 2 orang yg memiliki waralaba;
pe·wa·ra·la·ba·an n proses, cara, perbuatan memberi waralaba;
ter·wa·ra·la·ba v sudah menerima atau diberi waralaba
Dari hakikat perakteknya, saya sudah memahami dari apa yang digambarkan oleh ikhwah -semoga Allah membalas mereka dengan kebaikan-.
Tergambar bagi saya bahwa waralaba adalah terjadi padanya kerjasama, bagi hasil dan mencakup banyak bidang kerja.
Karena itu, saya pada kesempatan ini hanya memberikan ukuran-ukuran dasar dalam fiqih untuk menimbang sistem waralaba ini.

Ada beberapa hal yang perlu saya jelaskan:
Pertama, Salah satu dari syarat transaksi yang dibolehkan dalam muamalah islamy, bahwa transaksi tersebut ada manfaatnya. Baik itu manfaat bagi pembeli maupun penjual, dalam bentuk barang, jasa, tenaga, fasilitas maupun selainnya.
Kalau -misalnya- seorang yang mempunyai rumah makan terkenal dan banyak pengunjung, boleh baginya untuk menjual nama rumah makannya kepada orang lain atau memberi izin kepada orang lain menggunakan nama rumah makannya dengan mengambil imbalan. Hal tersebut karena memang ada manfaatnya. Permisalan ini secara khusus telah saya tanyakan kepada guru kami, Syaikh Sholih Al-Fauzan dan beliau membolehkannya bila memang ada manfaatnya.
Maka apa yang berkembang dalam bisnis waralaba yang manfaatnya lebih dari sekedar lebel nama, bahkan kadang dengan layanan alat, tempat, pelatihan dan sebagainya, Insya Allah dari sisi ini tidak masalah karena ada manfaatnya.
Kedua, Membahas tentang kerjasama dan bagi hasil dalam suatu transaksi adalah berhubungan dengan bentuk sistem serikat/perserikatan yang dikenal dalam fiqih. Dan sistem serikat dalam akad transaksi terdapat lima bentuk yang dibolehkan dari uraian fiqih Islam.
  • Satu, Dua pihak berserikat dalam harta/modal dan kerja/tenaga. Ini disebut Serikat Al-Iyan.
  • Dua, Berserikat dalam sebuah transaksi dimana salah satu pihak dengan harta/modal dan pihak lain dengan tenaga. Inilah yang disebut Mudharabah.
  • Tiga, Berserikat dalam sebuah transaksi dimana semua pihak tidak memilik modal tapi mereka bisa mengadakan barang dengan modal kepercayaan, kedudukan dan semisalnya,  Ini disebut serikat Al-Wujuh.
  • Empat, Pihak-pihak yang berserikat dalam usaha dengan badan/tenaga mereka dalam sebuah transaksi dan mereka berserikat dari keuntungan mereka.  Ini disebut serikat Al-Abdan.
  • Lima, Serikat yang tergabung dalamnya empat jenis serikat di atas. Ini disebut serikatAl-Mufawadhah.

Ketiga, Pembagian hasil dibagi atas dasar modal, tenaga dan usaha yang dia lakukan dalam sebuah serikat, dengan menjaga keadilan, tidak ada bentuk kezholiman, melanggar hak orang lain dan sebagainya perkara yang terlarang dalam fiqih jual beli.

Dari keterangan di atas, nampak bahwa Insya Allah tidak ada masalah dengan bisnis waralaba dengan menjaga ketentuan-ketentuan di atas.
Sambil saya ingatkan untuk agar setiap yang terjun dalam suatu bisnis agar memperjelas hukum bisnis yang dia lakukan kepada orang-orang yang berilmu agar dia tidak terjatuh dalam kesalahan atau pelanggaran tanpa ilmu atau tanpa disadari.
Walllahu A’lam
* * *
SUMBER : milinglist nashihah@yahoogroups.com versi offline dikumpulkan kembali oleh dr.Abu Hana untuk http://kaahil.wordpress.com

Komentar AHSI

Tampak jelas Wara laba seperti Jual Beli Biasa. Hanya saja jual beli ini lebih luas, tak hanya barangm tapi juga merk, manajemen. Juga tak ada unsur bunga, gambling dan hal lain yang di haramkan dalam syariat Islam> 
Ia akan haram bila ada pemaksaan menjual barang haram dari pewara laba kepada Terwara laba, Misalnya: Jual MIRAS, Rokok dan lainnya.

“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat) , sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Rabbnya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (Al-Baqarah: 275)
Penjelasan Mufradat Ayat
يَأْكُلُوْنَ الرِّبَا
“Mereka memakan riba.” Maksud memakan di sini adalah mengambil. Digunakannya istilah “makan” untuk makna mengambil, sebab tujuan mengambil (hasil riba tersebut) adalah memakannya, sebagaimana yang dijelaskan oleh Al-Imam Al-Qurthubi. Ini pula yang ditegaskan oleh Al-Imam At-Thabari dalam menafsirkan ayat ini. Beliau rahimahullahu berkata: “Maksud ayat ini dengan dilarangnya riba bukan semata karena memakannya saja, namun orang-orang yang menjadi sasaran dari turunnya ayat ini, pada hari itu makanan dan santapan mereka adalah dari hasil riba. Maka Allah menyebutkan berdasarkan sifat mereka dalam menjelaskan besarnya (dosa) yang mereka lakukan dari riba dan menganggap jelek keadaan mereka terhadap apa yang mereka peroleh untuk menjadi makanan-makanan mereka. Dalam firman-Nya Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan:
يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِيْنَ. فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللهِ وَرَسُوْلِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوْسُ أَمْوَالِكُمْ لاَ تَظْلِمُوْنَ وَلاَ تُظْلَمُوْنَ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (Al-Baqarah: 278-279)

Cikarang Barat,  28  Dzulqodah 1432 H/ 25  Oktober 2011 Jam.00.31 WIB
Tukang Herbal/ Bekam, Cari Ilmu, n Advokat (0811195824), Melayani Seluruh Indonesia

blog-sukpandiaridrisadvokatassalafy.blogspot.com
Diposkan oleh blog sukpandiar Idris Advokat Assalafy

Tidak ada komentar:

Posting Komentar