Jumat, 14 Oktober 2011

Cara Mentadabburi Quran


Cara Mentadabburi AlQuran

oleh Sukpandiar Idris Advokat As-salafy pada 10 Agustus 2011 jam 0:44
Bulan Ramadhan, merupakan bulan al-Qur’an, sebagaimana difirmankan oleh Allâh Azza wa Jalla.

"(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhân, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur'ân sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu, dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil)". [al-Baqarah/2:185].

Dalam sunnah ‘amaliyah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, terdapat keterangan tentang praktik nyatanya. Jibril Alaihissallam mengajak Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bertadarus al-Qur’ânpada setiap malam bulan Ramadhân . HR.Bukhori.

Puasa dan Al Qur’an memberi syafaat kepada hamba pada hari kiamat. Puasa berkata : “Yaa Rabbi, saya menahan dia dari makan dan syahwatnya di siang hari, maka berilah kepadaku syafa’at untuknya”. Al Qur’an berkata : “Saya menahannya dari tidur di malam hari maka berilah kepadaku syafa’at untuknya”. Maka keduanya pun memberi syafaat. ( Shahih Targhib wat Tarhib : 1/483 (969) ) juga HR.Ahmad, Al-Hakim dan Abu Nu'aim-SI, berkata  A-Haitsami berkata Rijal hadits ini shahih, Syaikh salim Al-Hilali telah pula men sahkannya.

Masalah utamanya bukan sekadar baca , tapi yang lebih penting adalah memahaminya, mentadabburinya!. Bagaimanakah caranya?.

Al-Imam al-Qurthubi rahimahullah berkata, “Merupakan kewajiban bagi siapa saja -yang dikhususkan oleh Allah Ta’ala dengan menghafal al-Qur’an- agar membaca dengan bacaan yang sebenarnya (haqqa tilawatih), mentadabburi dengan hakikat ibrah dan pelajarannya, memahami segela keistimewaannya dan mencari tahu apa yang asing baginya.” (al-Jami’ liahkam al-Qur’an 1/ 2)

Al-Hakim at-Tirmidzi rahimahullah berkata tentang kemuliaan al-Qur’an, “Hendaknya dibaca dengan tenang, pelan-pelan dan tartil, dan merupakan kemuliaan al-Qur’an hendaknya (dalam membaca) dengan mencurahkan ingatan dan segenap pemahaman sehingga dapat mencerna apa yang difirmankan itu. Termasuk memuliakan al-Qur’an juga hendaknya berhenti pada ayat-ayat janji (wa’d) dan berharap kepada Allah subhanahu wata’ala serta memohon keutamaan dari-Nya, berhenti pada ayat ancaman (wa’id) dan memohon perlindungan kepada Allah darinya.” (al-Jami’ liahkam al-Qur’an 1/27, dan dinisbatkan ke kitab Nawadir al-Ushul)

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Apabila membaca al-Qur’an dengan tafakkur sehingga tatkala melewati ayat yang dia (pembaca) butuh terhadap ayat itu untuk mengobati hatinya, maka hendaknya dia mengulang-ulang ayat itu meskipun seratus kali, bahkan meskipun semalam suntuk. Karena membaca satu ayat dengan tafakkur dan pemahaman, lebih baik daripada menghatamkan bacaan dengan tanpa tadabbur dan pemahaman. Dan juga lebih bermanfaat bagi hati, lebih dapat menghantarkan kepada tercapainya kesempurnaan iman serta rasa manisnya al-Qur’an.?¨ (Miftah Dar as-Sa’adah, hal 402)

Ibnu Muflih rahimahullah berkata, “Berkata al-Qadhi, “Kriteria minimal tartil adalah dengan meninggalkan ketergesaan dalam membaca al-Qur’an, dan yang sempurna adalah tartil di dalam membaca, merenungi ayat-ayat itu, memahaminya, serta mengambil pelajaran darinya meskipun sedikit di dalam membaca, dan ini lebih baik daripada terus membaca dengan tanpa pemahaman sama sekali.”

Sementara Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata, “Seseorang yang membaca al-Qur’an hendaknya memperbagus suaranya dan membacanya dengan rasa takut dan dengan tadabbur, dan ini merupakan makna dari sabda Nabi, “Tidak pernah Allah menyeru dengan sesuatu seperti menyerunya kepada Nabi agar membaguskan suara dan memperindah dalam membaca al-Qur’an dengan mengeraskannya.” (HR. al-Bukhari no.5024, Muslim no. 297,233, an- Nasai, 2/180, Abu Dawud no.1473 dari hadits Abu Hurairah). (al-Adab asy- Syar’iyyah).

Imam as-Suyuthi rahimahullah menyifati wukuf (merenungi) makna-makna al-Qur’an dengan perkataannya, “Hendaknya hati sibuk memikirkan makna-makna ayat yang dilafadzhkan, sehingga mengetahui masing masing ayat, lalu merenungkan perintah-perintah dan larangan-larangannya, serta berkeyakinan untuk menerima itu semua. Jika pada masa lalu ia termasuk orang yang tidak perhatian terhadap masalah itu, maka dia meminta ampun dan beristighfar, jika melewati ayat rahmat maka dia gembira dan memohonnya, atau melewati ayat adzab maka merasa takut dan meminta perlidungan, atau melewati ayat tentang penyucian atau tasbih kepada Allah subhanahu wata’ala, maka hendaknya menyucikan dan mengagungkan-Nya, atau melewati ayat yang berisikan doa, hendaknya merendah diri dan memintanya. (al-Itqan fi Ulum al-Qur’an 1/ 140)

Berkata al-‘Allamah as-Sa’di rahimahullah, “Dan selayaknya dalam masalah itu (membaca al-Qur’an) hendaknya menjadikan makna sebagai tujuan, sedangkan lafazh adalah sebagai sarana untuk memahami makna, maka hendaknya melihat kepada siyaqul kalam (arah pembicaraan) serta kepada siapa pembicaraan itu ditujukan, lalu mempertemukan antara yang dia baca itu dengan pendapatnya dalam tempat (ayat) yang lainnya. Dan hedaknya dia mengetahui bahwa al-Qur’an ditujukan untuk memberi petunjuk kepada manusia baik yang ‘alim maupun yang bodoh, yang ada di kota maupun yang ada di pelosok. Barang siapa yang mendapatkan taufik untuk itu maka tidak ada yang tersisa pada dirinya kecuali akan memberikan perhatian untuk mentadabburi dan memahaminya, akan banyak memikirkan lafazh dan maknanya, kewajiban-kewajiban dan kandungan nya, serta petunjuknya baik yang diucapkan atau yang difahami. Jika seorang memang telah mencurahkan seluruh perhatian dalam masalah ini maka Allah subhanahu wata’ala akan memuliakan sebagian di antara hamba-Nya, dan Allahƒnsubhanahu wata’ala tentu akan membukakan ilmu-Nya berupa hal-hal yang tadinya tidak mampu dia usahakan. (Taisir al-Karim ar-Rahman, 12)

Cikarang Barat , 10  Ramadhan 1432 H /  10 Agustus  2011 JAM 00.44  WIB
Tukang: Baru mencari Ilmu, Herbalis, Thibbun Nabawy, Penjual Buku Islam dan Advokat (0811195824)

ABU Hada SUKPANDIAR IBNU MUHAMMAD IDRIS

Tidak ada komentar:

Posting Komentar