Senin, 19 September 2011

Kisah Teladan Menuliskan Ilmu


Kisah Teladan > Takut Kehilangan Ilmu, Penyakitnyapun Sembuh

oleh Sukpandiar Idris Advokat Assalafy pada 20 September 2011 jam 0:32
Ya’qub bin Sufyan mengisahkan tentang pengalamannya ketika menuntut ilmu:
“Aku tinggal di kendaraan selama tiga puluh tahun. Pada salah satu perjalananku, nafkahku tinggal sedikit. Maka aku bekerja menyalin kitab pada malam hari dan mencari ilmu pada siang hari. Pada suatu malam tatkala aku sedang duduk menulis dan menyalin dengan diterangi sinar pelita, pada saat itu musim dingin, tiba-tiba ada air turun masuk ke dalam mataku. Aku tidak bisa melihat apapun (menjadi buta-AHSI)
Maka akupun menangis karena merasa sayang atas hilangnya penglihatanku, karena aku akan kehilangan kesempatan membaca ilmu dan menulisnya. Lalu aku merasa amat mengantuk lalu akupun tidur dalam keadaan seperti itu. Aku bermimpi melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Beliau memanggilku seraya bersabda : ” Kenapa kamu menangis?” Aku menjawab : ” Telah hilang penglihatanku, maka aku merasa menyesal karena akan kehilangan ilmu.” Beliau bersabda. “Mendekatlah kepadaku !” Akupun mendekat kepada beliau. Beliau jalankan tangan beliau di atas kedua mataku seakan-akan beliau membaca sesuatu. Kemudian aku bangun dan bisa melihat.
Kemudian aku mengambil naskahku dan melanjutkan menulis.”
(Warosatul Anbiya’ karya Abdul Malik Bin Muhammad Al-QOSIM HAL.66) di nukil dari Kisah-kisah pilihan untuk anak Muslim karya Ummu Luqman Salma.Darul Ilmi:2008

Ulama hadits terkemuka, yakni Al Bukhari berkata, “Al ‘Ilmu Qoblal Qouli Wal ‘Amali (Ilmu Sebelum Berkata dan Berbuat)” Perkataan ini merupakan kesimpulan yang beliau ambil dari firman Allah ta’ala,
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ
“Maka ilmuilah (ketahuilah)! Bahwasanya tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu.” (QS. Muhammad [47]: 19)
Dalam ayat ini, Allah memulai dengan ‘ilmuilah’ lalu mengatakan ‘mohonlah ampun’. Ilmuilah yang dimaksudkan adalah perintah untuk berilmu terlebih dahulu, sedangkan ‘mohonlah ampun’ adalah amalan. Ini pertanda bahwa ilmu hendaklah lebih dahulu sebelum amal perbuatan.
Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah berdalil dengan ayat ini untuk menunjukkan keutamaan ilmu. Hal ini sebagaimana dikeluarkan oleh Abu Nu’aim dalam Al Hilyah ketika menjelaskan biografi Sufyan dari jalur Ar Robi’ bin Nafi’ darinya, bahwa Sufyan membaca ayat ini, lalu mengatakan, “Tidakkah engkau mendengar bahwa Allah memulai ayat ini dengan mengatakan ‘ilmuilah’, kemudian Allah memerintahkan untuk beramal?” (Fathul Bari, Ibnu Hajar, 1/108)
Tradisi Menulis Ulama Salaf


Imam Syafi’i -karena sangat miskinnya- menulis catatan ilmiahnya di atas pelepah kurma, tulang unta, bebatuan dan kertas yang dibuang orang. Sampai suatu saat kamarnya penuh sesak dengan benda tersebut dan tidak dapat menjulurkan kakinya ketika tidur. Akhirnya, beliau menghafal semua catatan itu dan benda tersebut dikeluarkan dari kamarnya. Karyanya yang terkenal adalah Al-Umm (fikih) dan Ar-Risalah (ushul fikih). Abu Manshur Muhammad bin Husain -karena sangat fakirnya- menulis pelajaran dan mengulangi bacaannya di bawah cahaya rembulan.

Imam Al-Bukhari tidur diatas tikarnya, bila terlintas di benaknya sebuah masalah, beliau bangun dari tidurnya, mengambil korek api dan menyalakan lampu, kemudian menulis hadits dan memberinya tanda. Ketika beliau menaruh kepalanya untuk tidur, terlintas kembali di hatinya sebuah masalah. Sekali lagi beliau menyalakan lampu kemudian menulis haditsnya dan memberinya tanda. Hal ini beliau lakukan lebih dari 15-20 kali dalam satu malam. Semangat membara ini melahirkan kitab monumentalnya “Shahih Bukhari” yang mejadi rujukan kedua setelah Al-Qur’an, yang ditulis selama 16 tahun. Ibnu Hajar al-‘Asqalani, menulis kitab “Fathul Bari Syarah Shahih Bukhari” berjumlah 17 jilid selama 29 tahun. Imam Abu Ubaid Al-Qasim bin Salam menulis kitab “Gharibul Hadits” selama 40 tahun.

Imam An-Nawawi, seorang ulama yang sangat menakjubkan. Ia wafat pada usia 45 tahun dan belum sempat berumah tangga. Tapi kitab yang ditulisnya beratus ribu halaman. Diantara karyanya yang terkenal adalah Al-Majmu’ dan Minhajuth thalibin (kitab fikih standar yang dipakai seluruh pesantren di Indonesia).

Inilah sekelumit “semangat membara” para ulama salaf yang notabenenya tidak mengenal media pembelajaran canggih; komputer, internet, infokus dan mesin cetak. Mereka tak mengerti istilah kurikulum yang selalu berganti warna bagai “bunglon” seperti, CBSA, KBK, KTSP. Bagaimana dengan kondisi kita di era kontemporer dan teknologi canggih? Berapa judul kitab (buku) yang telah kita hafal dan telaah? Berapa karya ilmiah yang telah kita lahirkan? Logikanya -dengan berbekal media serba lux- kita bisa menghasilkan ratusan kali lipat prestasi dibanding mereka. Tapi realitasnya, kita justru ketinggalan jauh ibarat jaraknya langit dan bumi. Akankah kita bangkit di tahun baru ini? Jadilah seorang yang kakinya di bumi, tapi semangatnya menjulang di ketinggian langit.Di Sarikan dari Berbagai sumber dan kajian yang langsung AHSI ikuti.

Sebenarnya, ana tiap hari bikin note adalah juga menulis ilmu yang ana dapat dari kajian, baik lansung maupun media elektronik dan website para ulama salaf dan juga para ikhwa. Pertanyaannya , sudahkah anda mencatat ilmu yag di dapat jika tak dapat tag?. Ayo ngaku!

Cikarang Barat, 21 Syawal 1432 H/ 20 September 2011 Jam.00.31  WIB
Tukang Herbal, Cari Ilmu, n Advokat (0811195824)

blog-sukpandiaridrisadvokatassalafy.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar