Kamis, 22 September 2011

Hukum Menolak Menikah Karena di Madu


Hukum Menolak Menikah karena di Madu

oleh Sukpandiar Idris Advokat Assalafy pada 23 September 2011 jam 0:30
Tanya : Jika seseorang yang hendak berpoligami menghadap kepada seorang ayah untuk menikahi anak wanitanya, lalu sang ayahnya menolak karena hendak dimadu, karena dia memiliki istri yang lain, apakah ini termasuk ke dalam sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam » jika datang kepada kalian orang yang kalian senangi agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah dengannya. Jika engkau tidak melakukan, akan timbul fitnah di muka bumi dan kerusakan besar?
Jawab : Yang nampak bagiku bahwa hal ini dibangun di atas beberapa perkara :
1) Bahwa wanita yang dilamar tersebut tidak suka dijadikan madu atas wanita yang lain, dia lebih senang sendiri dan tidak menginginkan ada saingan baginya. Ini adalah hal yang bersifat umum yang harus dibedakan dengan orang-orang yang membenci syari’at ini. Seorang wanita tidak suka suaminya menikah lagi dan tidak senang ada wanita sebelumnya yang menjadi saingannya. Ini tidak mengapa. Ini adalah fitrahnya yang sudah menjadi tabi’atnya para wanita yang benci untuk diduakan. Namun apabila dia membenci syari’at ini dan membenci perkara ini, maka berarti dia telah membenci salah satu bagian dari syariat Allah sehingga dia berdosa.
2) Jika si wali yang menolak laki-laki yang melamar tersebut atas dasar apa yang dia pahami dari anak wanitanya bahwa dia tidak mau atau mengerti keadaan wanita tersebut bahwa dia tidak mampu memikul beban poligami, karena dia mengetahui dari wanita itu sifat kecemburuan serta tabi’atnya yang keras, sehingga dia takut lelaki tersebut akan menyakitinya. Maka hal ini juga tidak mengapa. Ini hubungannya dengan kemaslahatan wanita tersebut. Adapun kalau dia membenci syi’ar ini yang berasal dari Allah, maka ia telah terkena hukum sebagai orang yang berdosa, yang dikhawatirkan padanya ancaman Rasulullah Shallallaahu ‘alahi wasallam yang disebut dalam hadits tersebut. Dan kami katakan : “Bahwa dia menolak seorang muslim yang baik agamanya serta akhlaknya dan dikhawatirkan akibatnya akan buruk, sebab Nabi Shallallaahu ‘alahi wasallam menganjurkan untuk menikahkan seorang wanita dengan lelaki yang baik agama dan akhlaknya. Jika dia menolaknya karena sebab apa yang telah disebutkan, yaitu membenci syi’ar ini, maka menghawatirkan padanya ancaman Rasulullah Shallallaahu ‘alahi wasallam.
["30 Soal Jawab Seputar Poligami" oleh Asy Syaikh Ubaid bin Abdillah bin Sulaiman Al-Jabiri; Penerbit Pustaka Ats Tsabat Balikpapan; Hal. 37 ]

Komentar AH

Mohon di perhatikan Note di atas hal tersebut berlaku untuk sang Ayah terkait  restu orang tua dan kemaslahatn sang anak., bukan bagi sang isteri yang menolak suaminya untuk poligami.

Salah satu maksud dari pernikahan dalam Islam ialah untuk mendapatkan ketentraman dan kedamaian (QS. 30:21); ketentraman antara suami istri dan juga ketentraman keluarga besar keduanya.
Firman Allah Ta’ala :
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
Artinya : “Dan di antara ayat-ayat-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu merasa nyaman kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu mawadah dan rahmah. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir” [Ar-Rum 21].
Aku berkata : Dalam ayat ini terangkum pengertian cinta.
Pertama, Sakinah
Yaitu perasaan nyaman, cenderung, tentram atau tenang kepada yang dicintai,
…لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا
Artinya : … supaya kamu merasa nyaman kepadanya.
Seperti orang yang penat dengan kesibukan dan kebisingan siang lalu menemukan kenyamanan dan ketenangan dalam kegelapan malam. Surat Yunus ayat 67 :
هُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ اللَّيْلَ لِتَسْكُنُوا فِيهِ وَالنَّهَارَ مُبْصِرًا إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَسْمَعُونَ
Artinya : “Dialah yang menjadikan malam bagi kamu supaya kamu beristirahat padanya (litaskunu fihi) dan (menjadikan) siang terang benderang (supaya kamu mencari karunia Allah). Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang mendengar”.
Semisal itu dalam surat Al-Qashshah ayat 72.
Kedua, Mawadah
Dalam ayat :
…وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً…
Artinya : “…dan dijadikan-Nya di antaramu mawadah…”.
Mawadah adalah perasaan ingin bersatu atau bersama.
Imam As-Sayuthi رحمه الله (w. 911 H) dalam Tafsir Dur Mantsur (11/595) dari riwayat Ibn Al-Mundzir dan Ibn Abi Hatim, dari Al-Hasan rahimahullahu tentang firman Allah : “.. dan dijadikan-Nya di antaramu mawadah”, beliau berkata, “al-jima”. Demikian pula menurut Mujahid dan Ikrimah, sebagaimana dituliskan Imam Ibn Hayan Al-Andalusi رحمه الله (w. 745 H) dalam Tafsir Al-Bahr Al-Muhyith (9/77) dan lainnya.
Aku katakan : Dalam jima (persetubuhan) memang secara lahir bisa terwujud kebersamaan, dengan suatu perjanjian yang terkuat yaitu nikah (Qs. an-Nisaa' 21). Rasulullah shallallahu’alaihi wasalam bersabda:
لَمْ نَرَ لِلْمُتَحَابَّيْنِ مِثْلَ النِّكَاحِ
Artinya : “Tidak ada yang bisa dilihat (lebih indah/lebih baik oleh) orang-orang yang saling mencintai seperti halnya pernikahan”.
Hadits ini shahih sebagaimana dikatakan Syaikh Al-Albani رحمه الله dalam Silsilah Al-Hadits Ash-Shahihah (no. 624), dengan dua jalan, dari :
Pertama, Ibnu Abbas radhiyallahu’anhu, oleh Ibnu Majah (1/593) no. 1847, berkata Al-Bushairi dalam az-Zawaid (1/323), “Ini isnadnya shahih, rijalnya tsiqah”, Thabrani dalam Al-Kabir (11/17) no. 10895, (11/50) no. 11009, Al-‘Aqili dalam Adh-Dhu’afa (4/134) no. 1692, Tamam dalam Al-Fawaid (2/366-367 –Raudhul Basam) no. 732, 733, 734, dan Baihaqi (7/78) no. 13230 dengan sedikit perbedaan lafazh, dishahihkan dengan syarat Muslim oleh Al-Hakim dalam Al-Mustadrak (2/174) no. 2677, dan disetujui Adz-Dzahabi.
Kedua, dikeluarkan dari Thawus secara mursal, oleh Sa’id ibn Manshur dalam Sunan (no. 492), Baihaqi (7/78) no. 13230, Abu Ya’la dalam Musnad (5/132) no. 2747, Al-‘Aqili dalam Adh-Dhu’afa (4/134) no. 1692, Abdurrazaq (6/151) no. 10319, (6/168) no. 10377 dan Ibn Abi Syaibah (6/5) no. 16147 atau (3/271/12).
Al-Qur’an juga menegaskan hubungan antara mawadah dan keinginan bersama,
وَلَئِنْ أَصَابَكُمْ فَضْلٌ مِنَ اللَّهِ لَيَقُولَنَّ كَأَنْ لَمْ تَكُنْ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُ مَوَدَّةٌ يَا لَيْتَنِي كُنْتُ مَعَهُمْ فَأَفُوزَ فَوْزًا عَظِيمًا
Artinya : “Dan sungguh jika kamu beroleh karunia (kemenangan) dari Allah, tentulah dia mengatakan seolah-olah belum pernah ada mawadah antara kamu dengan dia: "Wahai, kiranya saya ada bersama-sama mereka, tentu saya mendapat kemenangan yang besar (pula)" [An-Nissa 73].
Lihat pula dalam surat Al-Ma’idah ayat 82-83, tentang doa orang-orang yang memiliki mawadah:
رَبَّنَا آمَنَّا فَاكْتُبْنَا مَعَ الشَّاهِدِينَ
Artinya : "Ya Tuhan kami, kami telah beriman, maka catatlah kami bersama orang-orang yang menjadi saksi (atas kebenaran Al Qur'an dan kenabian Muhammad shallallahu’alaihi wasalam )”.
Ketiga, al-mahabah (المحبة)
Al-Hafizh Ibn Katsir رحمه الله (w. 774 H) dalam Tafsirnya (6/309) tentang ayat, “…dan dijadikan-Nya di antaramu mawadah…”. Beliau berkata, “(yaitu) al-mahabah”. Seperti itu yang dikutip Imam Al-Qurthubi رحمه الله (w. 671 H) dalam Tafsir (14/17), dari perkataan Ibn Abbas radhiyallahu’anhu.

Cikarang Barat, 23 Syawal 1432 H/ 22 September 2011 Jam.00.30  WIB
Tukang Herbal, Cari Ilmu, n Advokat (0811195824)

blog-sukpandiaridrisadvokatassalafy.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar