HIBAH
Berkenaan dengan definisi hibah (هِبَةٌ), As Sayid Sabiq berkata di dalam kitabnya [1] : “(Definisi) hibah menurut istilah syar’i ialah, sebuah akad yang tujuannya penyerahan seseorang atas hak miliknya kepada orang lain semasa hidupnya [2] tanpa imbalan apapun [3]”. Beliau berkata pula: “Dan hibah bisa juga diartikan pemberian atau sumbangan sebagai bentuk penghormatan untuk orang lain, baik berupa harta atau lainnya”.
Syaikh Al Fauzan berkata: “Hibah adalah pemberian (sumbangan) dari orang yang mampu melakukannya pada masa hidupnya untuk orang lain berupa harta yang diketahui (jelas)”.[4]
Demikian makna hibah secara khusus. Adapun secara umum, maka hibah mencakup hal-hal berikut ini:
1. Al ibra`: ( الإِبْرَاء) yaitu hibah (berupa pembebasan) utang untuk orang yang terlilit utang (sehingga dia terbebas dari utang).
2. Ash shadaqah (الصَّدَقَة) : yaitu pemberian yang dimaksudkan untuk mendapatkan pahala akhirat.
3. Al hadiyah ( الهَدِيَّة) : yaitu segala sesuatu yang melazimkan (mengharuskan) si penerimanya untuk menggantinya (membalasnya dengan yang lebih baik) [5].
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah pernah ditanya tentang perbedaan antara shadaqah dan hadiyah, dan mana yang lebih utama dari keduanya, beliau rahimahullah menjawab: “Alhamdulillah, ash shadaqah adalah segala sesuatu yang diberikan untuk mengharap wajah Allah sebagai ibadah yang murni, tanpa ada maksud (dari pelakunya) untuk (memberi) orang tertentu, dan tanpa meminta imbalan (dari orang yang diberi tersebut). Akan tetapi, (pemberian tersebut) diberikan kepada orang-orang yang membutuhkan. Sedangkan hadiyah, maka pemberian ini dimaksudkan sebagai wujud penghormatan terhadap individu tertentu, baik hal itu sebagai (manifestasi dari) rasa cinta, persahabatan ataupun meminta bantuan. Oleh karena itu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menerima hadiah, dan berterimakasih atasnya (dengan memberinya hadiah kembali), sehingga tidak ada orang yang meminta atau mengharapkan kembali darinya. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam juga tidak pernah memakan kotoran-kotoran [6] (zakat atau shadaqah) orang lain yang mereka bersuci dengannya dari dosa-dosa mereka, yaitu shadaqah. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak memakan shadaqah karena alasan ini ataupun karena alasan-alasan lainnya [7]. Maka (dengan demikian) telah jelaslah perkaranya, bahwa shadaqah lebih utama. Kecuali jika hadiyah memiliki makna tersendiri, sehingga membuatnya lebih utama dari shadaqah, seperti memberi hadiah kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam di masa hidupnya sebagai tanda cinta kepadanya, atau memberi hadiah kepada kerabat, yang dengannya terjalinlah hubungan lebih erat antara kerabat, atau juga memberi hadiah kepada saudara seiman, maka hal-hal seperti ini bisa membuat hadiyah lebih utama (dari shadaqah)”[8].
Ibnu Qudamah Al Maqdisi berkata: “Kesimpulannya, hibah, shadaqah, hadiyah, dan ‘athiyah memiliki makna yang saling berdekatan. Makna ketiga istilah ini adalah penyerahan kepemilikan (seseorang kepada orang lain) pada waktu hidupnya tanpa imbalan balik apapun. Dan penyebutan ‘athiyah (pemberian) mencakup seluruhnya, demikian pula hibah. Sedangkan shadaqah dan hadiyah berbeda, karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah memakan hadiyah dan tidak pernah memakan shadaqah. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata ketika Barirah diberi daging shadaqah:
هُوَ لَهَا صَدَقَةٌ وَلَنَا هَدِيَّةٌ.
"Daging itu baginya adalah shadaqah dan bagi kami hadiyah".[9]
Maka zhahirnya, orang yang memberi sesuatu kepada orang yang membutuhkan dengan berniat taqarrub kepada Allah adalah shadaqah. Sedangkan orang yang memberi sesuatu dengan tujuan untuk (melakukan) pendekatan kepadanya, dan dalam rangka mencintainya, maka itu adalah hadiyah. Dan seluruh (amalan-amalan) ini hukumnya sunnah dan sangat dianjurkan (untuk dilakukan), karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
تَهَادُوْا تَحَابُّوْا.
"Saling memberi hadiahlah sesama kalian, niscaya kalian saling mencintai".[10]
Adapun shadaqah, maka keutamaannya jauh lebih banyak, di luar batas kemampuan kami untuk menghitungnya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman dalam surat Al Baqarah ayat 271, yang artinya : Jika kamu menampakkan sedekah(mu), maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu. Dan Allah akan menghapuskan dari kamu sebagian kesalahan-kesalahanmu”.[11]
WASIAT
Makna wasiat (وَصِيَّةٌ) menurut istilah syar’i ialah, pemberian kepemilikan yang dilakukan seseorang untuk orang lain, sehingga ia berhak memilikinya ketika si pemberi meninggal dunia.[12]
Dari definisi ini jelaslah perbedaan antara hibah (dan yang semakna dengannya) dengan wasiat. Orang yang mendapatkan hibah, dia langsung berhak memiliki pemberian tersebut pada saat itu juga, sedangkan orang yang mendapatkan wasiat, ia tidak akan bisa memiliki pemberian tersebut sampai si pemberi wasiat meninggal dunia terlebih dahulu.[13]
WARISAN
Warisan berbeda dengan hibah ataupun wasiat. Warisan dalam bahasa Arab disebut at tarikah (التَّرِكَة). Definisinya menurut istilah syariat ialah, seluruh harta seseorang yang ditinggalkannya disebabkan dia meninggal dunia [14].
Hak-hak yang berkaitan dengan at tarikah (warisan) ada empat. Keempat hak ini tidak berada pada kedudukan yang sama, akan tetapi hak yang satu lebih kuat dari yang lainnya, sehingga harus lebih didahulukan dari hak-hak lainnya. Urutan empat hak yang berkaitan dengan at tarikah tersebut sebagai berikut:[15]
1. Hak yang pertama, dimulai dari pengambilan sebagian at tarikah tersebut untuk biaya-biaya pengurusan jenazah si mayit (mulai dari dimandikannya mayit sampai dikuburkan).
2. Hak yang ke dua, pelunasan utang-utang si mayit (jika memiliki utang).
3. Hak yang ke tiga, melaksanakan wasiatnya dari sepertiga tarikahnya setelah dikurangi biaya pelunasan utang-utangnya.
4. Hak yang ke empat, pembagian tarikah (harta warisannya) kepada seluruh ahli warisnya dari sisa pengurangan (dari ke tiga hak di atas).
Demikian penjelasan singkat tentang hibah, wasiat dan warisan. Adapun permasalahan-permasalahan yang timbul di masyarakat, insya Allah akan diangkat pada edisi yang akan datang.
Wallahu a’lam, wa akhiru da’waana anil hamdu lillaahi rabbil ‘aalamin.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi Khusus/Tahun IX/1426H/2005M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_________
Footnotes
[1]. Fiqh As Sunnah (3/388).
[2]. Karena jika penyerahan kepemilikan itu terjadi setelah dia meninggal, maka hal itu disebut wasiat.
[3]. Karena jika dengan imbalan, maka hal itu disebut jual beli.
[4]. Al Mulakhash Al Fiqhi (2/163).
[5]. Fiqh As Sunnah (3/388).
[6]. Maksudnya adalah kotoran dalam arti maknawi, bukan hissi.
[7]. Sebagaimana hadits Al Fadhl bin Abbas z dalam Shahih Muslim (2/754 no.1072) dan lain-lainnya:
إِنَّ هَذِهِ الصَّدَقَاتِ إِنَّمَا هِيَ أَوْسَاخُ النَّاسِ, وَإِنَّهَا لاَ تَحِلُّ لِمُحَمَّدٍ وَلاَ لآلِ مُحَمَّدٍ.
Sesungguhnya shadaqah-shadaqah ini adalah kotoran-kotoran manusia, tidak halal bagi Muhammad dan keluarga Muhammad.
[8]. Majmu’ Al Fatawa (16/151).
[9]. HR Bukhari (2/543), Muslim (2/755), dan lain-lain.
[10]. HR Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra (6/169), dan lain-lain. Dan Al Albani menghasankan hadits ini. Lihat Shahih Al Jami’, no.3004.
[11]. Al Mughni (8/239-240).
[12]. Lihat Al Mughni (8/389), Fiqh As Sunnah (3/414), Al Fiqh Al Manhaji (2/243), dan Al Mulakhash Al Fiqhi (2/172).
[13]. Lihat Fiqh As Sunnah (3/414).
[14]. Lihat Fiqh As Sunnah (3/425).
[15]. Lihat Fiqh As Sunnah (3/425-426).
[16]. Ibnu Hazm dan Asy Syafi’i mendahulukan pelunasan utang-utang kepada Allah, seperti zakat dan kaffarat-kaffarat di atas utang-utang kepada sesama manusia. Sedangkan ulama Hanafiyah mengatakan, bahwa utang-utang mayit kepada Allah gugur dengan sebab kematiannya, maka tidak wajib bagi ahli warisnya untuk melunasi utang-utangnya, kecuali jika mereka mau menyumbangkannya, atau jika si mayit berwasiat agar utang-utangnya tersebut dilunasi. Jika si mayit berwasiat dengan wasiat tersebut, maka hukum wasiatnya ini sama dengan wasiat yang ditujukan kepada orang asing (bukan ahli waris). Dengan demikian si ahli waris atau orang yang diwasiati hanya boleh mengeluarkan maksimal sepertiga at tarikah setelah dikurangi biaya pengurusan jenazah dan setelah pelunasan utang-utang (si mayit) kepada sesama manusia. Hal ini dilakukan jika si mayit memiliki ahli waris. Jika dia tidak memiliki ahli waris, maka boleh dikeluarkan dari seluruh tarikahnya itu. Sedangkan ulama Hanabilah, mereka menyama-ratakan antara utang-utang kepada Allah dan kepada manusia. Lihat Fiqh As Sunnah (3/425-426).
Tambahan Abu HADA
Waspada Waris Berkedok Wasiat
Sudah lazim terdengar ummat Islam ada yang mengakal-akalin pembagian waris dengan cara wasiat. Sebagai contoh, Suami ( Ahli Waris) Meninggalkan Isteri dan 2 anak lelaki. Tentu saja hak anak lelaki lebih besar dari sang isteri ( atau Ibu dari anak-anak ahli waris). Agar "Adil" sang suami berwasiat agar waris di bagi rata, masing-masing mendapat 1/3 bagian. Tentu saja wasiat semacam ini batil!.
Dari Abu Umamah al-Bahili , ia berkata, "Aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. berkhutbah pada haji Wada',"Sesungguhnya Allah telah memberikan kepada tiap-tiap orang haknya, maka tidak ada wasiat bagi ahli waris," (Shahih, HR Abu Dawud [2870] dan [3565], at-Tirmidzi [2120], Ibnu Majah [2713], Ahmad [V/267], ath-Thayalisi [1127], al-Baihaqi [VI/264]).
Kandungan Bab:
- Hadits bab di atas memansukhkan (menghapus hukum) ayat wasiat, yaitu firman Allah SWT,"Diwajibkan atas karnu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) mauty jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertaqwa," (Al-Baqarah: 180).'Abdullah bin 'Abbas r.a. berkata, "Dahulu harta menjadi hak anak dan wasiat bagi kedua orang tua. Lalu Allah menghapus apa saja yang Dia kehendaki. Allah menetapkan bagian laki-laki dua kali lipat bagian wanita dan menetapkan kedua orang tua (ayah dan ibu) masing-masing mendapat seperenam. Allah menetapkan bagi isteri seperdelapan atau seperempat dan bagi suami setengah atau seperempat," (HR Bukhari [2747]).Ini merupakan penegasan dari Habrul Ummat bahwa ayat wasiat telah dimansukhkan (dihapus) hukumnya dengan hadits marfu' di atas sebagaimana ditetapkan dalam ilmu hadits dan ilmu Ushul Fiqh. Demikianlah ditegaskan juga oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Baari (V/372) karena tidak mungkin hal tersebut ditetapkan kecuali berdasarkan nash, wallaahu a'lam.
- Tidak boleh menggabungkan antara wasiat dan warisan, karena Allah telah memberikan masing-masing orang apa yang menjadi haknya.
- Ahli ilmu berbeda pendapat tentang wasiat bagi ahli waris apabila diizinkan oleh para ahli waris lainnya.Sebagian ulama berpendapat hal itu bathil (tidak sah) dan kebanyakan ulama lainnya berpendapat boleh (sah). Mereka berdalil dengan hadits-hadits yang tidak shahih, di antaranya adalah hadits 'Abdullah bin Abbas yang marfu' berbunyi, "Tidak boleh diberikan wasiat kepada ahli waris kecuali para ahli waris lainnya menyetujui," (Dhaif, HR al-Baihaqi [VI/264]).Maka tetaplah hadits tersebut sebagaimana makna zhahirnya, yaitu tidak ada wasiat bagi ahli waris. Barangsiapa mensyaratkan persetujuan ahli waris, maka syarat tersebut bathil (tidak sah). Karena syarat tersebut tidak ada dalam Kitabullah sebagaimana yang telah kami jelaskan dalam kitab ash-Shulh (Perdamaian) bab Larangan Mengajukan Syarat-syarat yang Tidak Ada dalam Kitabullah,wallaahu a'lam.
Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin 'Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar'iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur'an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi'i, 2006), hlm. 2/448-449.
Ironisnya, wasiat bid'ah untuk bagi waris yang bukan dari Allah dan RosuluNya banyak terjadi masyarakat, lebih lagi Hakim Pada Pengadilan Agama, banyak memutuskan perkara waris dengan bagi rata. ( sumber:Pengalaman pribadi AH)
Demikian pula dengan hadiah dan sodaqoh yang untuk "Mengakali" pembagian waris, itu termasuk bid'ah. Bisa juga Fasik dan kafir,
Al-Maidah: 47. Dan hendaklah orang-orang pengikut Injil, memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah didalamnya [419]. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik [420]. [419] Pengikut pengikut Injil itu diharuskan memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah didalam Injil itu, sampai pada masa diturunkan Al Qur'an. [420] Orang yang tidak memutuskan perkara menurut hukum Allah, ada tiga macam: a. karena benci dan ingkarnya kepada hukum Allah, orang yang semacam ini kafir (ayat 44 surat Al Maa-idah). b. karena menurut hawa nafsu dan merugikan orang lain dinamakan zalim (ayat 45 surat Al Maa-idah). c. karena fasik sebagaimana ditunjuk oleh ayat 47 surat ini. Sumber Quran dan Terjemah Depag RI.
Demikian juga hibah bid'ah, hadiah bid'ahyang bertujuan untuk mengurangi harta waris.
Cikarang Barat, 17 Syawal 1432 H/ 16 September 2011 Jam.1603 WIB
Tukang Herbal, Cari Ilmu, n Advokat (0811195824)
blog-sukpandiaridrisadvokatassalafy.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar