Rabu, 16 November 2011

Salafy Tak Suka basa basi?


Benarkah Salafi Tak Suka basa basi?

oleh Sukpandiar Idris Advokat As-salafy pada 16 November 2011 jam 0:33
Salafi adalah yang mengikuti ajaran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diwariskan melalui para Sahabat radhiyallahu ‘anhuma. Jadi orang yang mengaku Salafi dituntut untuk bertekad bulat mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan pemahaman para sahabat. Kata sebagian orang, Salafi tak kenal basa-basi!( Bahkan kebanyakan?-AH) Betulkah seorang Salafi anti basa-basi?
Sementara orang menggambarkan Salafi adalah orang yang kaku, keras, dan jauh dari keramahan. Apalagi bersikap basa-basi, oleh sebagian pihak dianggap sebagai orang yang lemah. Bukan Salafi sejati, katanya.
Ingin baik dan berbuat baik mungkin menjadi keinginan banyak orang. Sayang, tidak setiap yang ingin baik kemudian bisa dan mampu menjadi baik. Betapa banyak yang menginginkan kebaikan tapi tidak mendapatkan sama sekali. Seperti pemain bola, pulang hanya membawa sepasang sepatunya.
Semangat bersikap sebagai Salafi, menjadi pengikut Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallamsejati, misalnya. Sayang semangat yang tidak dilandasi ilmu sering justru menceburkan seseorang dalam sikap yang berlebihan. Ghuluw (berlebih-lebihan), al-Quran menyebutnya begitu. Sebuah larangan yang biasa dilakukan oleh umat sebelum Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Wahai ahli kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu…” (QS. an-Nisa [4] : 171)
Berlebih-lebihan atau melampaui batas merupakan sikap tercela. Dalam segala hal! Bukan hanya dalam masalah porsi menyantap makanan yang bikin perut buncit dan gemuk badan. Dalam bersikap dan berbicara pun bisa melampaui batasan syari’at Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ya, ucapan merupakan perkara yang tidak luput dari cengkeraman sikap ghuluw. Banyak yang tidak mampu membedakan ucapan yang masih dalam batasan syari’at dan yang sudah melampaui batas.
Basa-Basi, yang Boleh dan Terlarang
Sebagian pihak yang mengaku sebagai Salafi ada yang memahami bahwa basa-basi adalah sikap tercela, sikap orang lemah dan munafik. Sempat muncul pula jargon, Salafi tak kenal basa-basi. Karena itu, menurut mereka, berbasa-basi kepada seseorang yang dikenal jahat, berperangai buruk dan kasar merupakan kekeliruan. Masih menurut mereka, orang yang bermanis muka, bertutur sopan, dan berbahasa santun untuk mendakwahi orang yang jahat dan buruk adalah sikap menjilat. Walau tujuannya demi dakwah agar terhindar dari kejahatannya tetap dianggap sebagai mencari muka.
Sementara orang menganggap berbasa-basi kadang diperlukan, apalagi demi kepentingan dan keberhasilan dakwah. Bagaimana sebenarnya anggapan yang benar?
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-(Nya), dan ulil-amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. an-Nisa [4] : 59)
Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (QS. al-Qolam [68] : 4)
Ya, semuanya mesti dikembalikan kepada al-Qur’an dan as-Sunnah. Karena sikap dan tindak-tanduk tidak lepas dari masalah akhlak, sikap basi-basi juga dikembalikan pada perilaku Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Akhlak yang menyelisihi dan bertentangan dengan akhlak Beliau, kita tolak, meski dipunyai dan dicontohkan oleh seorang Ustadz besar, kemudian dilabeli dengan pujian “tegas, tak kenal basa-basi” oleh manusia. Sebaliknya akhlak yang sesuai dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mesti diterima dan diikuti meski dicap “menjilat penuh basa-basi.
al-Mudarah dan al-Mudahanah
al-Mudarah secara rancu sering dianggap sama dengan al-Mudahanah. Yang pertama berbasa-basi untuk bersiasat, sementara yang kedua berbasa-basi untuk menjilat. al-Mudarah merupakan akhlak Islami, dan menjadi akhlak seorang Mukmin, sementara al-Mudahanah adalah akhlak tercela, bukan bagian dari ajaran Islam, biasanya menjadi akhlak kaum munafik yang menjilat dunia dengan menjual dan mengorbankan agamanya.
al-Mudarah terkadang dipakai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam mendakwahi sebagian orang yang jahat, berperangai buruk dengan tujuan berlindung dari kejahatannya. Imam al-Bukhari mencatat dalam Shahih-nya nomor 6032, hadits dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha. Saat itu ada seseorang meminta izin untuk bertemu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ketika melihatnya Beliau mengomentari bahwa orang tersebut adalah sejelek-jelek saudara sekaum/sekabilah dan seburuk- buruk putra kaum/kabilah. Namun ketika orang tersebut duduk, Beliau menampakkan wajah yang ceria kepadanya dan bergembira menyambutnya.1.Setelah orang tersebut pergi, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata; “Wahai Rasulullah, ketika melihat orang tersebut engkau mengatakannya begini dan begitu, tapi engkau menampakkan keceriaan kepadanya dan bergembira saat menyambutnya.” Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda;
Wahai ‘Aisyah kapan engkau mengenalku sebagai seorang yang banyak berbuat al-Fahsy (keji)?2 .Sesungguhnya seburuk-buruk kedudukan manusia di sisi Allah di hari kiamat adalah orang yang ditinggalkan manusia karena berlindung dari keburukan (ucapan)nya.
Orang yang datang kepada Rasulullah tersebut dijuluki “al-Ahmaq al-Mutha‘” (orang dungu yang ditaati). Kedatangannya memang diharapkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, untuk dilunakkan hatinya agar kaumnya bebas dari kejahatannya. Orang ini adalah pemimpin kaumnya. Demikian dijelaskan oleh al-Iyadh, al-Qurthubi dan an-Nawawi. Begitu bijaksana sikap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam berbasa-basi melunakkan ucapan, berwajah ceria, dan menampakkan kegembiraan demi melindungi masyarakat dari keburukan orang lain. Jadi al-Mudarah boleh dilakukan terhadap orang yang kejahatannya dikhawatirkan akan membahayakan masyarakat. Selama tidak terjatuh dalam al-Mudahanahdalam agama Allah boleh saja, al-Qurthubi memberikan syarat.
Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul-Bari-nya berpendapat mengikuti Iyadh; “al-Mudarah adalah mengorbankan dunia demi kebaikan dunia atau agama, atau keduanya, hukumnya mubah, bahkan bisa menjadi sunnah. Sementara al-Mudahanah meninggalkan/menelantarkan agama demi kepentingan dunia. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam semata-mata hanya memberikan sebagian dunianya kepada orang tersebut berupa pergaulan yang baik dan lemah-lembut dalam berbicara. Beliau tetap tidak memuji orang tersebut dengan ucapan. Jadi tidaklah bertentangan antara ucapan Beliau dengan perbuatan Beliau. Komentar Beliau tentang orang tersebut adalah benar, sementara perbuatan beliau terhadapnya merupakan gambaran pergaulan yang baik.
al-Mudahanah berasal dari dihan (bahan untuk memoles), yaitu menampakkan sesuatu dan menutupi yang lain. Sebagian ulama ada menafsirkan al-Mudahanah adalah mempergauli orang fasik dan menampakkan keridhaannya tanpa mengingkari. Adapun al-Mudarah adalah berlemah-lembut terhadap orang bodoh/awam dalam mengajarinya dan terhadap orang fasik dalam melarang perbuatan fasiknya dengan meninggalkan sikap keras dalam ucapan atau perbuatan. Lebih-lebih jika orang tersebut memang tampak butuh dilunakkan hatinya.
Kedua sikap tersebut kadang dalam praktiknya sulit dibedakan, sehingga perlu piranti ilmu sebelum berucap dan beramal. Perlu kehati-hatian dalam menilai sikap orang lain, selalu mengedepankan husnuzh-zhan (berprasangka baik) kepada sesama Muslim. Lebih baik bertanya ketika bingung dalam memahami sikap seseorang daripada mengira-ira berdasar analisis kosong dan angan-angan peribadi. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha tidak langsung menuduh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ber-mudahanah, tapi bertanya. Obat ketidak-tahuan adalah bertanya.
Penutup
Perlu dibedakan antara al-Mudarah dengan taqiyyah yang menjadi salah satu prinsip bathil ajaran Syi’ah. al-Mudarah, sebagaimana dijelaskan Ibnu Bathal, adalah akhlak kaum Muslimin berupa rendah hati, berucap santun, dan tidak keras. Hal ini termasuk sebab terkuat untuk melunakkan hati. Tujuannya untuk kemashlahatan agama, tanpa dusta. Sedangkan taqiyyahadalah kemunafikan dan kedustaan untuk melindungi ajaran dan agama mereka yang rusak (bohong-AH).
Diterjemahkan dan diolah dari Zhahiratul-Ghuluw fid-Din fil-Ashril Hadits karya Muhammad Abdul-Hakim Hamid oleh al-Ustadz Said.
Catatan Kaki:
  1. ^ Pada hadits nomor 6054 dalam Shahih Bukhari terdapat lafadz “maka ketika orang tersebut masuk, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melembutkan ucapan kepadanya.
  2. ^ al-Fahsy (keji) artinya segala sesuatu yang keluar dari batasannya sehingga dinilai buruk, termasuk di dalamnya ucapan, perbuatan dan sifat. Namun kebanyakan pemakaian istilah al-Fahsy adalah untuk ucapan. (Diringkas dari Fathul-Bari dan selainnya-AH)
Cikarang Barat,  20 Dzulhijjah  1432 H/ 16 November 2011 Jam.00.33 WIB
Tukang Herbal/ Bekam, Cari Ilmu, n Advokat (0811195824), Melayani Seluruh Indonesia

blog-sukpandiaridrisadvokatassalafy.blogspot.com
Diposkan oleh blog sukpandiar Idris Advokat Assalafy

Tidak ada komentar:

Posting Komentar