Senin, 14 November 2011

Menjama' Sholat karena Macet, Bagaimanakah HukumnYa?


Hukum Menjama' Sholat Karena Macet

oleh Sukpandiar Idris Advokat As-salafy pada 14 November 2011 jam 0:26
Pertanyaan ; Kami tinggal di kota besar yang (lalu lintasnya) senantiasa padat( Seperti Di Jabodetabek-AH), terkadang seseorang terjebak dalam kemacetan selama berjam-jam sampai keluar waktu shalat, maka apa yang harus ia lakukan? Dan jika ia memperkirakan bahwa kemacetan tersebut akan panjang, bolehkah baginya menjama’ dua shalat dengan jama’ taqdim?
Jawab; Pada asalnya semua shalat itu dikerjakan pada waktunya, Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّ الصَّلاَةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَّوْقُوتًا” (النساء – 103)”
“Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman”. (Qs. An-Nisa’; 103)
maka yang wajib shalat-shalat tersebut dilakukan pada waktunya seperti yang disyariatkan.
Disini penanya mengatakan bahwa ia tinggal di kota besar yang selalu macet yang seseorang terkadang berada dalam kemacetan berjam-jam lamanya hingga keluar waktu shalat. Ia tidak boleh untuk tetap didalam mobil, sepertinya yang dimaksud si penanya apabila ia tetap didalam mobil, yaitu (hukumnya) tidak boleh baginya untuk tetap di dalam mobil sampai keluar waktu shalat, shalat-shalat tersebut harus dilakukan pada waktunya sebagaimana ayat yang telah kami sebutkan tadi.
Maka apabila terjadi kondisi seperti ini dengan artian ia tetap didalam mobil sampai hampir keluar waktu shalat maka ia harus shalat pada waktunya agar tidak keluar waktu shalat, akan tetapi apakah ia melakukan shalat di dalam mobil atau diluar?
Saya jawab, yang benar, jika ia mampu untuk mengerjakan shalat yang diwajibkan di luar mobil dengan menghadap kiblat maka inilah yang wajib ia kerjakan. Dan apabila ia tidak mampu dalam artian kepadatan tersebut (antara kendaraan) menempel rapat (sampai-sampai) ia tidak mampu untuk keluar dan tidak mendapatkan tempat untuk shalat, melakukan ruku’ atau sujud maka jawaban kami untuk keadaan seperti ini adalah, boleh baginya melakukan shalat di atas kendaraannya yakni mobilnya dan disyaratkan baginya menghadap kiblat ketika memulai takbir, kemudian (menyempurnakan –ed) shalatnya kemana pun arah kendaraannya. Maka ruku’nya dengan merunduk dan sujudnya lebih rendah lagi, berdasarkan hadits Ya’la bin Murrah riwayat Al Imam Ahmad, At-Tirmidzi dan yang lainnya, bahwa Ya’la pernah bersama Nabi shallallahu 'alaihi wasallam di tempat yang sempit lalu datanglah awan dan tanah pun basah, kemudian tiba waktu shalat, lalu nabi memerintahkan muadzin untuk mengumandangkan adzan, maka ia mengumandangkan adzan dan iqamah dan nabi pun shalat di atas kendaraanya. Ya’la berkata: “Beliau (shalat dengan –ed) merunduk dan sujudnya lebih rendah dari ruku’nya.
Pada hadist ini tidak didapatkan Nabi menghadap kiblat, diantara ahlul ilmi ada yang menshahihkannya dan berpendapat dengan hadits ini, diantara mereka yang berpendapat dengan hadits ini adalah Al Imam Ahmad rahimahullah, Ishaq bin Rahawaih dan selainnya dari kalangan ulama.
Dan diantara yang menshahihkannya dan mengatakan sanadnya baik adalah Al Imam An-Nawawi dan yang lainnya dan sebagian ahlul ilmi berpendapat akan lemahnya hadits ini diantara mereka adalah Al-Baihaqi. Karena itu mereka tidak mengambil hadist ini. Yang kami maksudkan adalah hendaknya ia mengerjakan sebagaimana yang terdapat didalam hadits Ya’la ini, dan saya katakan: “menghadap kiblat ” hal ini adalah sebagai kehatian-hatian.
Dan saya katakan ini sebagai bentuk kehati-hatian, hendaknya ia menghadap kiblat, walaupun hadits Ya’la dan yang lainnya menerangkan nabi tidak menghadap kiblat yakni tidak ada nas yang menyatakan nabi menghadap kiblat. Jika orang tersebut shalat dalam keadaan ini, maka boleh agar tidak sampai keluar waktu shalat. Tetapi kalau ia mendapatkan tempat shalat di luar mobil ia bisa shalat, ruku’ dan sujud di situ maka inilah yang lebih utama dan inilah yang harus ia kerjakan.
Adapun ucapan si penanya jika ia merasa bahwa kemacetan akan lama, apakah ia boleh menjama’ dua shalat secara jama’ taqdim?
(Perkaranya) tidak demikian, karena urusan ini kembalinya bukan kepada perasaan, dalam hal ini ada waktu-waktu yang dibatasi oleh syari’at, waktu-waktu tersebut ada awal dan ada akhirnya dengan kata lain ada waktu yang luas dan ada waktu yang sempit, maka dalam kondisi ini ia melihat antara dua waktu ini, seperti yang terdapat dalam hadits Jibril:
“Diantara dua waktu ini adalah waktu-waktu shalat, diantara dua waktu ini adalah waktu-waktu shalat”. Jibril shalat bersama nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam sekali diawal waktu dan sekali diakhir waktu setiap shalat, kemudian berkata: “Diantara dua waktu ini adalah waktu-waktu shalat”.
Seperti yang datang dalam hadist yang shahih Maka perkaranya tidak kembali kepada perasaan, akan tetapi waktu-waktu (yang membatasinya) apakah ia mengetahui waktu shalat (atau tidak). Dan waktu-waktu tersebut diketahui apakah dengan cara-cara syar’i atau dengan jam dan diantaranya ada yang diketahui dengan perkiraan. Maka ia berupaya untuk shalat pada waktunya. Kondisi ini bagaimanapun bukan udzur yang membolehkan seseorang untuk menjama’ shalat.
Sebagaimana yang kalian ketahui jama’ secara terus menerus bukan termasuk sunnah Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam. Diriwayatkan oleh Al Imam Al Bukhari dari hadits Ibnu Abbas beliau Shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah mengerjakannya (jama’) tanpa sebab rasa takut atau hujan. Ibnu Abbas Radhiallaahu ‘anhuma berkata tatkala ditanya (akan hal ini): “Beliau Shallallaahu ‘alaihi wasallam tidak ingin memberatkan umatnya” artinya bahwa hal ini (jama’ –ed) boleh dikerjakan sewaktu-waktu yakni jika seseorang membutuhkannya seperi kalau sedang sakit, lelah atau ada penghalang. Adapun keluar untuk urusan-urusan dan kebutuhan (sehari-hari –ed), hal ini berlangsung terus menerus, bukankah begitu ?
Dan ini akan terus berulang, saya khawatir (apabila ia menjama’ dalam kondisi seperti ini –ed) ia akan mengambil keleluasaan tersebut dan mengulang-ulanginya padahal perbuatan ini bukan sunnah baginya.
Sumber :
rec tanyajawab dgn Asy-Syaikh Abdullah Al Bukhari
URL : http://www.ahlussunnah-jakarta.com/artikel_detil.php?id=6

Komentar AH

Hendaklah, orang yang selalu terkena macet karena pulang kerja, hendaklah ia pindah kerja yang tak terkena macet. Atau ia berhenti kerja dan berusaha sendiri.

Atau pilihan yang paling mungkin, yaitu ia menunda pulang ke rumah tunggu tidak kena macet, dengan risiko lebih malam sampai di rumah, akan tetapi ia bisa sholat tepat waktu. Bukankah cinta kepada Allah dan RosulNya lebih utama daripada cinta pekerjaan, diri sendiri dan keluarga?
Ketika Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam tiba di Madinah, beberapa orang Yahudi datang menemui beliau. Mereka berkata, “Kami mencintai Allah, akan tetapi kami tidak dapat mengikuti ajaranmu.” Kemudian Allah membantah dan membatilkan kecintaan mereka kepada-Nya dan menganggap pernyataan itu dusta. Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman:
Katakanlah, ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.’ Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali Imran: 31).
Ayat ini memberitahukan bahwa mencintai Allah ialah dengan mengikuti apa yang dibawa oleh Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Salam, menaati apa yang diperintahkannya, dan meninggalkan segala larangannya yang termaktub dalam hadits-hadits shahih yang telah beliau jelaskan kepada umat manusia. Cinta itu tidak terjadi dengan sekedar untaian kata-kata, tanpa mengamalkan petunjuk, perintah dan sunnah-sunnahnya.
Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Salam bersabda:
Tidaklah beriman salah seorang dari kalian sehingga aku lebih dicintainya daripada orang tuanya, anaknya dan manusia seluruhnya.” (HR. al-Bukhari).

Cikarang Barat,  18 Dzulhijjah  1432 H/ 14 November 2011 Jam.00.26 WIB
Tukang Herbal/ Bekam, Cari Ilmu, n Advokat (0811195824), Melayani Seluruh Indonesia

blog-sukpandiaridrisadvokatassalafy.blogspot.com
Diposkan oleh blog sukpandiar Idris Advokat Assalafy

Tidak ada komentar:

Posting Komentar