Minggu, 30 Oktober 2011

Domba Qurban 1 tahun, Haruskah?


Domba Kurban 1 tahun, Haruskah?

oleh Sukpandiar Idris Advokat As-salafy pada 31 Oktober 2011 jam 0:30
“Sebaik-baik qurban adalah domba jadza’ (berumur setahun penuh) ” 

HADITS INI DHA’IF. Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (II/355), al-Baihaq (IX/271) dan Ahmad (II/444-4445) dari jalan `Utsman bin Waqid dari Kadaam bin `Abdurrahman dari Abu Kabasy. At Tirmidzi berkata: "Hadits Gharib," yakni dha’if. Al Haafizh Ibnu Hajar berkata: "Dan di dalam sanadnya ada kelemahan" 

Syaikh al-Albani menyatakan bahwa Abu Kabasy dan Kadaam adalah majhul (tidak dikenal), sebagaimana disebut kandengan jelas oleh Al Haafizh (Ibnu Hajar) di dalam alt Tagrib. Al-Baihaqi berkata: "Dan telah sampai kepadaku dari Abu `Isa at-Tirmidzi, dia berkata: al-Bukhari berkata: Diriwayatkan oleh selain `Utsman bin Waaqid dari Abu Hurairah (secara) mauquf." 

Syarat Umur Hewan Kurban
Usia > Baca HR.Muslim
Domba
6 bulan
Kambing (selain domba)
1 tahun
Sapi
2 tahun
Unta
5 tahun.
sumber Al-Mughni. Konsultasi syariah.com dan lainnya.

Cikarang Barat,  4 Dzulhijjah  1432 H/ 31  Oktober 2011 Jam.00.30  WIB
Tukang Herbal/ Bekam, Cari Ilmu, n Advokat (0811195824), Melayani Seluruh Indonesia


Sukpandiar Idris Advokat as-salafy

Sembelihlah Qurban Di Lpangan atau Di rumah


Sembelihlah Kurban di Tanah Lapang!

oleh Sukpandiar Idris Advokat As-salafy pada 30 Oktober 2011 jam 0:30
Assalamu’alaikum Warohmatullhi Wabarokaatuh.
Ana mau tanya masalah Qurban
- Ana dan Istri berniat melaksanakan Qurban, Atas nama siapakah hewan qurban itu. Atas nama Keluarga atau Nama masing-masing.

- Bagaimanakah hukum acara penyembelihan hewan qurban yang dilakukan di Masjid secara bersama-sama
dan apakah setiap akan memotong hewan qurban itu ada Ijab Qobul atau penyebutan nama orang yang berqurban.
Mohon Penjelasan serta dalil-dalilnya.
Jazakallah Khair.
Irfan.Safitra@***.com
Syaikhuna Mufti KSA Bagian Selatan Syaikh Muhaddits Ahmad bin Yahya An-Najmi hafizhahullah menjawab :

Bismillaahirrahmaanirrahiim
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam kepada Rasulullah, keluarga dan para Shahabatnya.
Wa ba’du :
Jawab : Kurban adalah sunnah muakkadah bagi yang memiliki kemampuan secara materi. Dan kurban dibebankan kepada kaum pria sebagai pemberi nafkah keluarga serta berlaku bagi dirinya dan keluarganya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Wahai manusia, sesungguhnya atas setiap keluarga untuk berkurban setiap tahunnya…”.
Adapun penyembelihan hewan kurban di masjid-masjid dan lingkungan masjid seperti halamannya dan sebagainya, maka ini adalah bid’ah. Kami belum pernah mendengar seorang-pun melakukannya kecuali penduduk Indonesia. Sebab darah yang mengalir (yaitu darah yang menyembur saat proses penyembelihan) adalah najis. Dan tidak boleh mengalirkan darah tersebut di masjid-masjid dan lingkungannya. Sebab perbuatan ini membuat najis masjid. Allah Azza Wa Jalla berfirman yang artinya :
Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi -karena sesungguhnya semua itu kotor- atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Al An’am : 145. Setahu ana (ABu Hada)yang menyembelih di tanah lapang waktu masih tinggal di Palembang adalah, Pengurus Organisasi Islam Muhammadiyah, mereka memotong kurban di tanah lapang yang bukan lapangan/ halaman masjid.
Penyembelihan hewan kurban bisa dilakukan di tempat penjagalan atau di tanah lapang, jika tidak, maka masing-masing menyembelih hewan kurbannya di tempat tinggalnya. Bertakwalah kepada Allah wahai penduduk Indonesia. Janganlah kalian membuat najis masjid-masjid dengan darah (hewan kurban) yang mengalir yang najis berdasarkan ketetapan Al Qur’an dan ijma’ para Ulama’ dari sejak zaman Shahabat hingga sekarang.
Adapun seseorang mewakilkan hewan kurbannya kepada tukang jagal, maka jika menyerahkan(nya) kepadanya anda katakan : “Sembelihlah hewan kurbanku untukku”. Maka yang demikian adalah perwakilan anda kepadanya. Wabillahit-taufiq.
Yang mendikte fatwa ini
Yang mulia Syaikh Ahmad bin Yahya An-Najmi
19 Syawal 1428 H
Alih bahasa oleh
Abu Abdillah Muhammad Yahya
19 Syawal 1428 H/31 Oktober 2007
Nijamiyah-Shamithah-Jazan
KSA
Catatan : Syaikuna berpesan agar fatwa ini diedarkan seluas-luasnya agar diketahui kaum muslimin.
http://darussalaf.org/index.php?name=News&file=article&sid=946

Komentar Abu hada
Di Tanah lapang atau di Rumah masing-Masing
Yang masyhur dari perbuatan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya adalah mereka menyembelih hewan qurban di tempat domisili mereka. Inilah sunnah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal tempat penyembelihan. Bahkan beliau punya kebiasaan menyembelih hewan qurban di tanah lapang tempat shalat Ied. Dalilnya adalah hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma:
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa menyembelih (sapi/kambing/ unta, AH.) dan me-nahr unta di tanah lapang.” (HR Al-Bukhari no. 982 dan 5552)
Begitu pula tatkala beliau sedang melaksanakan ibadah haji, beliau menyembelih hewan al-hadyu di tempat beliau berada, yaitu Makkah dan Mina. Diriwayatkan dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Aku menyembelih di sini, dan Mina semuanya adalah tempat penyembelihan. Hendaklah kalian menyembelih di rumah-rumah kalian.” (HR. Muslim, no. 1218 dan 149)
Tidak dinukil dari beliau dan para sahabatnya satu haditspun yang shahih bahwa mereka mengirimkan hewan al-hadyu ke kota Madinah atau tempat lainnya untuk disembelih di sana.

Cikarang Barat,  3  Dzulhijjah  1432 H/ 30  Oktober 2011 Jam.00.30 WIB
Tukang Herbal/ Bekam, Cari Ilmu, n Advokat (0811195824), Melayani Seluruh Indonesia


Sukpandiar Idris Advokat as-salafy

Kurban Dengan Hewan Yang Di Kebiri


Bolehkah Berkurban Dengan Hewan Tanpa Buah Zakar ( Di kebiri)

oleh Sukpandiar Idris Advokat As-salafy pada 29 Oktober 2011 jam 1:56
Adapun  yang di potong kedua pelirnya ( Di Kebiri-AH) maka tidak makruh, karena dagingnya gemuk dan bagus. > Ahkaamul Udh-hiyyah Karya Syaikh Utsaimin.

Komentar Abu Hada

Hewan yang tidak bolehkan di jadikan kurban adalah yang memiliki cacat: 
1. Cacat Mata yang jelas;
2.Sakit yang jelas sakitnya ( Yang mematikan dan cacat yang tak layak-SI);
3. Hewan Yang Pincang dengan pincang jelas,
4. Hewan yang Kurus. HR.Abu Dawud dan an-Basa-i , Al- AlBany menshahihkannya.

Hewan yang gemuk  untuk di kurbankan> > HR.Bukhori No.5553

Cikarang Barat,  2 Dzulhijjah  1432 H/ 29  Oktober 2011 Jam.01.55 WIB
Tukang Herbal/ Bekam, Cari Ilmu, n Advokat (0811195824), Melayani Seluruh Indonesia


Sukpandiar Idris Advokat as-salafy

Kamis, 27 Oktober 2011

Haji Koq Ada yang Kurang Ajar


Haji Koq ada yang Kasar/ Kurang Ajar?

oleh Sukpandiar Idris Advokat As-salafy pada 28 Oktober 2011 jam 0:29

“Siapa yang haji ke Baitullah namun ia tidak menziarahi kuburku maka sungguh ia telah berbuat jafa` (kasar/ ada yang menerjemahkan dengan kurang ajar-
AH

) kepadaku.” (Al-Imam Al-Albani rahimahullah menyatakan hadits ini maudhu’, demikian dikatakan Al-Hafizh Adz-Dzahabi dalam Al-Mizan, 3/237, dibawakan oleh Ash-Shaghani dalam Al-Ahadits Al-Maudhu’ah, hal. 6. Demikian pula Az-Zarkasyi dan Asy-Syaukani dalam Al-Fawa`id Al-Majmu’ah fil Ahadits Al-Maudhu’ah, hal. 42. Lihat Adh-Dha’ifah no. 45)
Sisi Cacat hadit di atas adalah Muhammad bin Nu'man. Ibnu 'Adi dan Ibnu Hibban berkata, " Dia Banyak meriwayatkan malapetaka dari orang-orang tsiqoh" ( Terpercaya-SI).


Berkata Al-Bany> Yang menunjukkan kepalsuan hadits ini adalah, Bahwa bersikap kasar/ kurang ajar dan berpaling dari Rosululllah shallallahu 'alaihi wasallam adalah dosa besar. Konsekuensinya ziar0h kuburan Nabi adalah wajib!?. Sumber : Hadits Lemah dan Palsu Yang Popuker di Indonesia Karya Ustadz Ahmad Sabiq Abu Yusuf.
Bukan berati ziaroh ke kuburan Nabi shallallahu 'alahi wasallam terlarang. Ke khususan waktu dan hukumnya itu lho yang terrmaktub dalam note ini.

Cikarang Barat,  1 Dzulhijjah  1432 H/ 28  Oktober 2011 Jam.00.29 WIB
Tukang Herbal/ Bekam, Cari Ilmu, n Advokat (0811195824), Melayani Seluruh Indonesia


Sukpandiar Idris Advokat as-salafy

Rabu, 26 Oktober 2011

Berkurban dengan Kuda/ Ayam, Bolehkah?


Bolehkah Berkurban Dengan Kuda/ Ayam?

oleh Sukpandiar Idris Advokat As-salafy pada 27 Oktober 2011 jam 0:31
Teman ana bercerita , ia pernah mendengar langsung ada ustadzah yang membolehkan berkurban  dengan ayam, jika tak mampu berkurban dengan Sapi atau kambing. Adakah dalilnya?

Jawab:

" Di riwayatkan oleh Asma', beliau mengatakan , kami berkurban dengan kuda bersama Rosulullah shallallahu 'alaihi wasallam,' di riwayatkan  dari Abu Hurairah beliau berkurban  dengan menyembelih ayam jago". Mengenai riwayat ini, berkata Abul Hasan al-Ma'ribi dan ash-Shan'am, " Aku belum menjumpai riwayat tersebut. > Lihat Subulus Salam. Ana salin dari Majalah AlFurqon edisi Dzulqo'dah 1432H.

Barangsiapa yang mengadakan perkara baru dalam urusan kami ini apa-apa yang bukan darinya maka dia tertolak”.
Dalam satu riwayat, “Barangsiapa yang beramal dengan suatu amalan yang tidak ada tuntunan kami di atasnya maka amalan itu tertolak”.
Takhrij Hadits:
Hadits ini dengan kedua lafadznya berasal dari hadits shahabiyah dan istri Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam ‘A`isyah radhiallahu Ta’ala ‘anha.
Adapun lafadz pertama diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari (2/959/2550-Dar Ibnu Katsir) dan Imam Muslim (3/1343/1718-Dar Ihya`ut Turots).
Dan lafadz kedua diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari secara mu’allaq (2/753/2035) dan (6/2675/6918) dan Imam Muslim (3/1343/1718).
Dan juga hadits ini telah dikeluarkan oleh Abu Ya’la dalam Musnadnya (4594) dan Abu ‘Awanah (4/18) dengan sanad yang shohih dengan lafadz, “Siapa saja yang mengadakan perkara baru dalam urusan kami ini apa-apa yang tidak ada di dalamnya (urusan kami) maka dia tertolak”.

Cikarang Barat,  30  Dzulqodah 1432 H/ 27  Oktober 2011 Jam.00.31 WIB
Tukang Herbal/ Bekam, Cari Ilmu, n Advokat (0811195824), Melayani Seluruh Indonesia

Selasa, 25 Oktober 2011

Lebih Dalam Tentang Jual Beli dan Riba'


Lebih Dalam Tentang Jual Beli & Riba'

oleh Sukpandiar Idris Advokat As-salafy pada 26 Oktober 2011 jam 0:30
Dan Allah menghalalkan perniagaan dan mengharamkan riba. [Al Baqarah:275].

Perniagaan model riba pada masa sekarang telah menyebar, merata di seluruh pelosok dunia, di kota dan di desa. Penggemarnya bukan hanya orang kafir, tetapi juga kaum muslimin. Berniaga dengan uang pinjaman dari bank riba yang harus dibayar bunganya setiap bulan itu, bukan hanya penguasaha kecil yang susah mencari pinjaman orang kampung -sehingga didatangi oleh bank keliling yang ingin menelurkan induknya dengan mencekik kaum dhuafa’- akan tetapi pengusaha yang kayapun hobinya senang berhutang di bank riba. 

Mereka menganggap riba sama sengan peniagaan, karena dinilai sama-sama mencari keuntungan. Tentunya orang mukmin yang ingin menghidupkan hukum Allah dan Sunnah NabiNya tidak akan diam menghadapi kemungkaran ini. 

Selanjutnya, mari simak pembahasannya, agar kita selamat dari murka Allah di dunia dan di akhirat. Semoga Allah memberi petunjuk kepada kita. Amin.

MAKNA RIBA DAN PERNIAGAAN 
Riba menurut bahasa artinya tambahan. [1] Sedangkan menurut istilah, ialah tambahan secara khusus. [2] Sedangkan maksud tambahan secara khusus, ialah tambahan yang diharamkan oleh syari’at Islam, baik diperoleh dengan cara penjualan, atau penukaran atau peminjaman yang berkenaan dengan benda riba.

Perniagaan (al bai’ was syira’), ialah memberikan harga dan mengambil yang dihargai. [3] Maksudnya, menyerahkan sesuatu yang berharga, dengan mengambil sesuatu yang lain, bertujuan untuk dimiliki, dengan akad secara lisan atau perbuatan, berdasar suka sama suka. Dalilnya firman Allah.

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ أمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ 

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu. [An Nisa’:29].

HUKUMNYA
Riba hukumnya haram, berdasarkan firmanNya: ( وَحَرَّمَ الرِّبَا dan Allah mengharamkan riba. (Al Baqarah:275), dan berdasarkan hadist yang shahih dan ijma’ ulama. Sedangkan perniagaan hukumnya -menurut asal- adalah halal, berdasarkan firmanNya: ( وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ ) dan Allah menghalalkan perniagaan. [Al Baqarah:275]

Perniagaan yang asalnya halal ini, suatu saat akan berubah menjadi haram karena ada beberapa sebab, antara lain:

Pertama : Penjualan benda tertentu. 
Seperti dilarang menjual anjing, kucing, kera, binatang buas dan semisalnya. Dalilnya ialah, shahabat Ibn.Umar Radhiyallahu 'anhu berkata:

نَهَى النبي عَنْ ثَمَنِ الْكَلْبِ 

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang menerima hasil dari penjualan anjing. [HR Bukhari, Kitabul Buyu’]. [4] 

Kedua : Sifat penjualannya. 
Seperti menjual barang yang belum jelas, menjual anak kambing di dalam perut induknya, menjual kacang tanah yang masih di dalam tanah, menjual ikan di dalam air, menjual kambingnya yang hilang, menjual barang yang bukan miliknya dan seterusnya, hal seperti ini dilarang. Mengapa? Karena ada hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, bersumber dari shahabat Abu Hurairah, dia berkata: 

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ عَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang menjual barang yang ada unsur penipuan (tidak jelas). [HR Muslim, Kitabul Buyu’].

Ketiga : Berkenaan dengan waktunya. 
Seperti berjualan ketika khatib sedang berkhotbah Jum’ah sampai selesai shalat.

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ أمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ 

Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jum`at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. [Al Jum’ah:9].

Keempat : Berhubungan dengan tempatnya. 
Seperti berjual-beli di masjid. Dalilnya sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersumber dari shahabat Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, beliau bersabda: 

إِذَا رَأَيْتُمْ مَنْ يَبِيعُ أَوْ يَبْتَاعُ فِي الْمَسْجِدِ فَقُولُوا لَا أَرْبَحَ اللَّهُ تِجَارَتَكَ 

Apabila kamu melihat orang berjualan di masjid atau membelinya, maka katakanlah: semoga Allah tidak memberi laba perniagaanmu. [Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dan Ad Darimi. Albani berkata, sanadnya shahih menurut ketetapan Imam Muslim].[5]

Kelima : Berkenaan dengan caranya. 
Seperti menjual barang ribawi (mengandung unsur riba). Misalnya: menjual emas dengan emas, dengan melebihkan timbangannya sekalipun beda bentuknya. Atau menjual uang yang sama jenisnya, dengan melebihkan (menjual satu juta rupiah dengan memperoleh satu juta limapuluh ribu rupiah). Menjual beras lima kilogram dengan beras kwalitas lain, dengan tiga kilogram dan seterusnya. Dalilnya hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, bersumber dari shahabat Abu Said Al Khudri Radhiyallahu 'anhu.

الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ مِثْلًا بِمِثْلٍ وَالْوَرِقُ بِالْوَرِقِ مِثْلًا بِمِثْلٍ 

Menjual emas dengan emas, hendaknya sama nilainya (timbangannya). Perak dengan perak, hendaknya sama pula timbangannya. [HR Bukhari, Kitabul Buyu’] 

PERBEDAAN ANTARA RIBA DENGAN PERNIAGAAN 
Menurut pandangan orang jahiliyah dahulu, perniagaan itu disamakan dengan riba dari segi keuntungan (sebagaimana tercantum dalam surat Al Baqarah ayat 275). Tetapi dari segi hukum, menurut pandangan Dinul Islam jelas berbeda. Riba hukumnya haram, tidak berubah menjadi halal dengan alasan apapun. Pelakunya diancam dengan tidak memperoleh barakah dari keuntungan yang didapatnya dan di akhirat mendapat siksa. Sedangkan perniagaan asalnya halal, kecuali sebagian bentuk perniagaan yang dilarangan dalam Al Qur’an, Sunnah dan Ijma’ ulama.

Mengingat pembahasan perbedaan antara jual-beli dan riba ini sangat luas jangkaunnya, -dikarenakan banyak dalil yang menjelaskan bentuk perniagaan yang haram (yang mengandung riba), disusul pula perkembangan model perniagaan pada zaman sekarang, yang pada hakikatnya mengarah kepada riba- oleh karenanya dalam pembahasan ini, kami batasi hanya memberikan contoh-contoh sepanjang pengetahuan kami model perniagaan dan riba yang berkembang pada masa kini dengan mengacu kepada dalil dari Al Qur’an, Sunnah dan fatwa para ulama’ yang dapat dipercaya keilmuannya.

Sebelum memasuki pembahasan perbedaan diantara keduanya, perlu kita mengetahui, mengenai benda apa yang apabila ditukar atau dijual dengan melebihkan salah-satunya, berarti dinamakan riba? Maka jawabnya ialah berikut ini.

Pertama : Ulama ahli fiqih telah sepakat, bahwa enam barang ini, yaitu: emas, perak, gandum, syair (sejenis gandum-AH), korma dan garam, tergolong riba, yaitu bila:
1. Dijual atau ditukar sama jenisnya dengan menambah pada salah satunya. Dinamakan riba fadhel. 
2. Dijual atau ditukar, tidak diambil sebelum berpisah dari majelis. Dinamakan riba nasiah.
3. Dijual atau ditukar sama jenisnya dengan menambah pada salah satunya, dan diambil kemudian hari. Dinamakan riba fadhel dan nasiah.

Adapun dalilnya, sebagaimana dituturkan Ubadah bin Ash Shamit Radhiyallahu 'anhu, dia berkata, sesungguhnya kami pernah mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلًا بِمِثْلٍ يَدًا بِيَدٍ , فَمَنْ زَادَ أَوِ اسْتَزَادَ فَقَدْ أَرْبَى , الْآخِذُ وَالْمُعْطِي فِيهِ سَوَاءٌ 

Emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, gandum dengan gandum, syair (jenis gandum) dengan syair, korma dengan korma, garam dengan garam, maka harus sama (timbangan atau takarannya) dan harus lewat tangan dengan tangan (diterima sebelum berpisah). Maka barangsiapa yang menambahi atau minta tambah, sungguh ia telah meribakan, yang mengambil atau yang memberi sama. [HR Muslim, Kitabul Masaqat].

Kedua : Ulama fiqih berbeda pendapat, tentang barang ribawi selain enam macam tersebut. Ada yang berpendapat: 
1. Tidak termasuk ribawi. Demikian ini pendapat Zhahiriyah
2. Semua barang yang dijual dengan timbangan atau takaran termasuk ribawi. Demikian pendapat Imam Ahmad dan Abu Hanifah.
3. Mata uang dan makanan, demikian pendapat Imam Syafi’i.
4. Khusus makanan yang dijual dengan timbangan atau takaran, menurut pendapat Imam Ahmad. 
5. Makanan pokok bila ditukar sama jenisnya dengan melebihkan, termasuk riba. Demikian pendapat Imam Ahmad dan Imam Malik. 

Ibnul Qoyyim berkata,”Pendapat yang paling kuat, ialah pendapat yang mengatakan, bahwa makanan pokok bila dijual sama jenisnya dengan melebihkan salah satunya atau tidak diambil langsung, termasuk riba.”[6]

Contohnya gula dengan gula, tepung dengan tepung, beras dengan beras dan seterusnya.

Pendapat yang dikuatkan oleh Ibnul Qoyyim ini, nampaknya diperkuat pula oleh hadits dari Makmar bin Abdullah. Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda.

الطَّعَامُ بِالطَّعَامِ مِثْلًا بِمِثْلٍ, قَالَ وَكَانَ طَعَامُنَا يَوْمَئِذٍ الشَّعِيرَ

Makanan ditukar dengan makanan harus sama. Makmar berkata: Makanan kami saat itu ialah gandum. [HR Muslim, Bab Al Masaqah].

CONTOH PERBEDAAN ANTARA RIBA DENGAN PERNIAGAAN
1. Termasuk riba, bila menjual atau menukar uang lain jenis, dengan pembayaran belakangan.
Misalnya, menjual dolar dengan rupiah, salah satunya diambil nanti atau besok dan seterusnya. Penjualan ini haram karena termasuk riba nasi’ah. 

Dalilnya, dari Umar bin Khathab Radhiyallahu 'anhu, dia berkata: 

وَلَا تَبِيعُوا الْوَرِقَ بِالذَّهَبِ أَحَدُهُمَا غَائِبٌ وَالْآخَرُ نَاجِزٌ

Dan janganlah kamu menjual perak dengan emas, salah satunya tidak kelihatan yang lain di hadapannya (tunai). [HR Imam Malik, Kitabul Buyu’, sanadnya shahih]. 

Termasuk jual beli yang sah, bila menjual uang lain jenis dengan pembayaran tunai, sekalipun tidak sama nilainya.

Misalnya, menjual $ 100 USA dengan Rp 900.000,- diterima di tempat penjualan, maka penjualan ini sah, karena uangnya lain jenis dan diterima di tempat.

Dalilnya, dari Ubadah bin Shamit, dia berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الْأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ

Maka apabila berbeda jenisnya, juallah sesukamu apabila berhadap-hadapan (tunai). [HR Muslim, Kitabul Masaqat].

Lembaga Darul Ifta’ Saudi Arabia menyatakan: Benda ribawi, apabila sama penyebabnya dan berbeda jenisnya, boleh dijual dengan melebihkan salah satunya, tetapi harus tunai. [7] 

2. Termasuk riba, menjual barang ribawi yang sama jenisnya yang satu kelihatan, sedangkan yang lainnya tersembunyi. 
Misalnya: Jual gelang emasmu 10 gr ini dengan kalung emasku di rumah seberat 10 gr. Penjualan seperti ini haram, karena termasuk riba nasi’ah. 

Dalilnya, dari Abu Sa’id Al Khudri Radhiyallahu 'anhu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

لَا تَبِيعُوا الذَّهَبَ بِالذَّهَبِ إِلَّا مِثْلًا بِمِثْلٍ وَلَا تُشِفُّوا بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ وَلَا تَبِيعُوا الْوَرِقَ بِالْوَرِقِ إِلَّا مِثْلًا بِمِثْلٍ وَلَا تُشِفُّوا بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ وَلَا تَبِيعُوا مِنْهَا غَائِبًا بِنَاجِزٍ 

Janganlah kamu menjual emas dengan emas, melainkan sama timbangannya, jangan engkau melebihkan sebagian atas sebagian, dan janganlah kamu menjual perak dengan perak, melainkan sama timbangannya, jangan engkau melebihkan sebagian atas sebagian, dan jangan engkau menjual yang tidak kelihatan dengan yang nampak. [HR Bukhari, Kitabul Buyu’].

Lembaga Darul Ifta’ Saudi Arabia menyatakan: Benda ribawi, bila sama illat (penyebab) dan jenisnya, haram dijual dengan lebih (fadhel) atau tertunda (nasi’ah) penerimaannya. [8]

Termasuk jual beli yang sah, bila dia berkata: Jual gelang emasmu 10 gr ini, dengan kalung emasku seberat 10 gr itu. Hukum perniagaanya sah, karena sama ridha dan sama nilainya dan keduanya diterima ditempat. 

3. Termasuk riba, menjual barang ribawi, sama illat dan jenisnya, jika dilebihkan satu sama lain, karena lain bentuk. 
Misalnya: Aku jual perakku yang berupa cincin 10 gr ini dengan gelang perakmu 12 gr itu. 

Hukum penjualan seperti ini haram, sekalipun sama-sama ridha, sama illat dan jenisnya, diterima ditempat, tetapi berbeda nilainya, yaitu 10 gr dengan 12 gr. Ini termasuk riba fadhel. 

Dalilnya, lihat hadits yang dituturkan Ubadah bin Ash Shamit di atas, yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Kitabul Masaqah. 

Lembaga Darul Ifta’ Saudi Arabia menyatakan: Dilarang menjual perhiasan dari emas dengan emas, perak dengan perak, lebih dari timbangannya karena berbeda bentuknya. [9]

Termasuk jual beli yang sah, bila, 
a. Perak dengan perak tadi dijual sama timbangannya, seperti 10 gr dengan 10 gr sekalipun berbeda modelnya (misal: gelang dengan cincin).Dalilnya sebagaimana hadits diatas. 
b. Dijual cincin perak dengan berat 10 gr tadi dengan uang, lalu dibelikan perak berupa gelang 12 gr tadi, walaupun tidak menambah dengan uang.
c. Jual atau tukar tambah sepeda dengan sepeda, motor dengan motor yang sama merknya, rumah dengan rumah, tanah dengan tanah dan semisalnya, sekalipun sama jenisnya dan diterima saat sebelum pisah, tetapi illatnya bukan barang ribawi, yaitu bukan emas dan perak atau uang dan bukan makanan pokok. 
d. Menjual makanan yang lazimnya tidak dijual dengan takaran, seperti buah durian dengan buah kelapa, sekalipun jumlahnya berbeda, karena illatnya buah bukan makanan pokok dan tidak harus dijual dengan takaran atau timbangan.

4. Termasuk riba, menjual barang ribawi, sama illat dan jenisnya, jika dilebihkan satu sama lain, karena lain mutu atau kwalitasnya. 
Misalnya: Saya jual berasku 100 kg yang aku peroleh dari tunjangan pemerintah ini dengan berasmu yang baru itu 90 kg, atau gula 5kg warnanya putih sekali ini dijual dengan gula agak kekuning-kuningan 6 kg. Hukum penjualan seperti ini haram, karena termasuk riba fadhel, dan karena illatnya sama. Yaitu makanan pokok dan jenisnya sama (beras dengan beras, gula dengan gula) sekalipun kwalitasnya tidak sama.

Dalilnya Dari Abu Hurairah, ia berkata: 

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ اسْتَعْمَلَ رَجُلًا عَلَى خَيْبَرَ فَجَاءَهُ بِتَمْرٍ جَنِيبٍ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ أَكُلُّ تَمْرِ خَيْبَرَ هَكَذَا قَالَ لَا وَاللَّهِ يَارَسُولَ اللَّهِ , إِنَّا لَنَأْخُذُ الصَّاعَ مِنْ هَذَا بِالصَّاعَيْنِ وَالصَّاعَيْنِ بِالثَّلَاثَةِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّه لَا تَفْعَلْ بِعِ الْجَمْعَ بِالدَّرَاهِمِ ثُمَّ ابْتَعْ بِالدَّرَاهِمِ جَنِيبًا 

Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengangkat seorang pekerja (Sawad bin Aziyah Al Anshari) di Khaibar, lalu dia datang dengan membawa kurma yang sangat istimewa. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya,”Apakah kurma Khaibar seperti ini semua?” Lalu dia menjawab,”Tidak, wahai Rasulullah. Demi Allah aku menukar satu sha’ kurma yang istimewa ini dengan korma kami dua sha’, dan dua sha’ dengan tiga sha’. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,”Jangan kamu membeli seperti itu! Jual kormamu yang campuran itu dengan dirham (mata uang), lalu beli korma yang istimewa itu dengan dirham.” [HR Bukhari Muslim, Kitabul Buyu’] 

Termasuk jual beli yang sah, bila beras bagian yang jelek mutunya tadi dijual terlebih dahulu, dirupakan dengan uang atau barang lain, lalu dibelikan beras yang baik, demikian juga untuk gula. 

Hadits di atas menunjukkan bolehnya merekayasa di dalam jual beli, asal dalam batas syar’i, sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah n tentang korma yang jelek dijual dengan dirham dulu, kemudian uangnya untuk membeli korma yang baik. 

Lembaga Darul Ifta’ Saudi Arabia menyatakan: Benda ribawi bila sama illat dan jenisnya, haram dijual dengan melebihkan salah satunya dan tertunda penerimannya. Misalnya emas dengan emas, perak dengan perak, sekalipun salah satunya bermutu baik, yang lain jelek. [10]

5. Termasuk riba, bila menjual atau menukar benda ribawi sama jenisnya, dengan menambah ongkos pembuatan. 
Misalnya: Menukar cincin emas senilai 3 gr di toko emas dengan senilai 3gr pula, lalu ditambah ongkos pembuatan. Hukumnya haram , karena termasuk riba fadhel, seharusnya tidak pakai tambah . Adapun dalilnya sebagaimana tercantum di atas.

Lembaga Darul Ifta’ Saudi Arabia menyatakan: Dilarang menjual perhiasan dari emas dan perak, yang sama jenisnya dengan melebihkan pada salah satunya karena ongkos pembuatan. [11]

Termasuk jual beli yang sah.
- Bilas cincin emas yang bernilai 3 gr tadi dijual dengan uang, lalu diterimanya, lalu dibelikan emas 3 gr pula sama bentunya atau lain , sekalipun nilai jual dan beli berbeda , karena orang menjual ingin cari untung , dan dia menjual dengan lain jenis , yaitu emas dengan uang.
- Bila mempunyai emas 10 gr, ingin ditukar dengan 17 gr, dengan membayar kekurangannya berupa uang tunai, hukumnya sah. [12] 

6. Termasuk riba, menjual benda ribawi yang lazimnya dijual dengan takaran atau timbangan, tetapi dijual salah satunya tanpa ditimbang atau ditakar. 
Misalnya : Ada orang menjual emas tetapi tidak diketahui timbangannya dengan emas milik temannya, berupa gelang emas 10 gr, atau menjual beras di dalam karung yang tidak jelas timbangannya dengan beras 50 kg. Hukumnya haram, termasuk riba fadhel, karena sesuatu yang tidak jelas, maka akan terjadi penambahan pada salah satunya. 

Dalilnya, dari Jabir bin Abdullah, dia berkata.

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ عَنْ بَيْعِ الصُّبْرَةِ مِنَ التَّمْرِ لَا يُعْلَمُ مَكِيلَتُهَا بِالْكَيْلِ الْمُسَمَّى مِنَ التَّمْرِ 

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang menjual tumpukan kurma yang belum diketahui takarannya dengan korma yang sudah ditakar. [HR Muslim, Kitabul Buyu’] 

Lembaga Darul Ifta’ Saudi Arabia menyatakan: Yang dinamakan al mumatsalah (persamaan) harus terwujud persyaratannya (harus sama jenis dan ukurannya). Maka, apabila meragukan, berarti melebihkan (riba). [13] 

Termasuk jual beli yang sah, bila emas yang belum jelas timbangannya, ditimbang dulu, lalu dijual dengan uang atau ditukar dengan emas dengan nilai yang sama dan diterima sebelum berpisah, sebagaimana mafhum (pemahaman) hadits di atas.

7. Termasuk riba, bila menjual barang ribawi, tidak dengan ukuran syar’i. 
Misalnya: Menjual emas dengan takaran atau bijian. Padahal menurut syari’at Islam harus dijual dengan timbangan. Contoh yang lain, menjual gula dengan cawukan (Jawa, menyiduk secara serampangan). Padahal lazimnya dijual dengan timbangan. Adapun barang yang lazimnya dijual dengan takaran atau timbangan, seperti beras, maka boleh membelinya dengan salah satu ukurannya, asal dengan uang atau benda yang lain. Akan tetapi tidak boleh menjual beras 1 kg dengan beras 1 liter, karena termasuk riba fadhel. Sebab ukurannya tidak sama. 

Dalilnya, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَزْنًا بِوَزْنٍ , وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَزْنًا بِوَزْنٍ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ كَيْلاً بِكَيْلٍ , وَالشَّعِيْرُ بِالشَّعِيْرِ كَيْلاً بِكَيْلٍ

Emas dijual dengan emas, hendaknya sama timbangannya. Dan perak dijual dengan perak, hendaknya sama timbangannya. Gandum dijual dengan gandum, hendaknya sama takarannya. Dan gandum syair dijual dengan syair, hendaknya sama dengan takarannya. [HR Al Atsram dan Ath Thahawi, dishahihkan oleh Al Lajnah Daimah 13/502]

Lembaga Darul Ifta’ Saudi Arabia menyatakan: Dilarang menjual barang ribawi, melainkan dengan ukuran syar’i. Yaitu barang yang lazimnya dijual dengan timbangan, maka harus dijual dengan timbangan; yang dijual dengan takaran, maka harus dijual dengan takaran pula. [14] 

Termasuk jual beli yang sah.
- Bila emas dijual dengan timbangan dan diterima tunai.
- Bila tanah dengan meteran atau ukuran lain, karena bukan termasuk barang riba.
- Bila makanan ringan dan buah-buahan dengan bijian atau jumlah, karena bukan makanan pokok.
- Bila besi dengan timbangan atau bijian, karena bukan benda ribawi. 

8. Termasuk riba, bila menjual sama jenisnya, tetapi bercampur dengan jenis lain, sebelum dipisah. 
Misalnya: Menjual cincin emas yang bermata, dengan perhiasan emas yang tak bermata, atau dijual dengan uang, maka hukumnya haram. Karena tidak jelas timbangan emasnya dan termasuk riba fadhel. [15] 

Lembaga Darul Ifta’ Saudi Arabia menyatakan: Barang ribawi tidak boleh dijual walaupun sama jenisnya, apabila salah satunya atau keduanya bercampur dengan jenis lain. Seperti, satu mud korma ajwah dan satu dirham, ditukar dengan semisalnya. Atau dengan dua mud dan dua dirham. Atau satu dirham dan satu dinar dengan dinar. [16]

Dalilnya, dari Fadhalah bin Ubaid, dia berkata.

اشْتَرَيْتُ يَوْمَ خَيْبَرَ قِلَادَةً بِاثْنَيْ عَشَرَ دِينَارًا فِيهَا ذَهَبٌ وَخَرَزٌ فَفَصَّلْتُهَا فَوَجَدْتُ فِيهَا أَكْثَرَ مِنِ اثْنَيْ عَشَرَ دِينَارًا فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ فَقَالَ : لَا تُبَاعُ حَتَّى تُفَصَّلَ 

Saya membeli kalung pada waktu perang Khaibar dengan harga dua belas dinar. Di dalamya terdapat emas dan permatanya, lalu aku lepas permatanya. Tiba-tiba aku menjumpai beratnya lebih dari dua belas dinar, kemudian aku menuturkan kepada Nabi n , lalu beliau menjawab,”Jangan kamu jual, sehingga kamu pisahkan (emas dengan permatanya).” [HR Muslim, Kitabul Masaqat]

Termasuk jual beli yang sah, bila menjual perhiasan emas tadi dengan melepas permatanya sebelum dijual, lalu ditukar dengan emas yang sama timbangannya dan diterima sebelum berpisah, atau dibelinya dengan uang.

Dalilnya dari shahabat Abu Said Al Khudri Radhiyallahu 'anhu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: 

الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ مِثْلًا بِمِثْلٍ وَالْوَرِقُ بِالْوَرِقِ مِثْلًا بِمِثْلٍ 

Menjual emas dengan emas, hendaknya sama nilai (timbangannya). Perak dengan perak, hendaknya sama pula timbangannya. [HR Bukhari, Kitabul Buyu’].

9. Termasuk riba, bila menjual barang dengan pembayaran taqsith (kredit), dan harus menambah nilainya apabila terlambat pembayarannya. Hal ini termasuk riba jahiliyah (riba nasiah). Untuk lebih jelasnya, silakan membaca kitab Fatawa Lajnah Daimah, 13/ 154 ,156, 161.] 

Termasuk jual beli yang sah, bila pembelian barang dengan kredit tersebut tidak mengalami penambahan nilai hutang, bila tertunda pembayarannya. 

Dalilnya: 

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ أمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ 

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu`amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. 

Untuk lebih jelasnya, silakan membaca kitab Fatawa Lajnah Daimah, 13/ 155.

10. Termasuk riba, bila membelikan barang untuk orang lain dengan pembayaran tempo (tentunya lebih mahal), lalu pembeli menjualnya kepada penjual pertama lebih murah, karena dibayar tunai. Ini temasuk jual beli ‘inah. Untuk lebih jelasnya, silakan membaca Fatawa Lajnah Daimah 13/ 136-138.

Contohnya, Fulan membelikan mobil untuk orang lain dengan harga kredit 100 juta rupiah, diangsur selama dua tahun. Setelah akad pembelian, sebelum dipegangnya, dia menjualnya kepada Fulan lagi dengan tunai lebih murah, hanya 70 juta rupiah umpamanya. Maka, hukumnya haram. 

Dalilnya, dari Ibnu Umar, dia berkata, saya pernah mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمُ الْجِهَادَ سَلَّطَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ ذُلًّا لَا يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ

Apabila kamu jual beli dengan cara ‘inah, dan kamu sibuk dengan membajak ladangmu, dan kamu ridha dengan bercocok tanam, dan kamu tinggalkan kewajiban jihad (fardhu’ ain), maka Allah akan membuat kamu hina. Tidaklah Dia mencabut kehinaan itu, melainkan bila kamu kembali ke agamamu. [HR Abu Dawud, Kitabul Buyu’ dan Imam Ahmad Musnad Muktsirin].

Termasuk jual beli yang sah, bila pembeli di atas menjual kepada penjual pertama, walaupun hanya 70 juta rupiah, bila hutangnya yang berupa kredit tadi telah dibayar lunas. Untuk lebih jelasnya, baca Fatawa Lajnah Daimah 13/ 139.

11. Termasuk riba, bila meminjamkan barang ribawi untuk mendapatkan ganti lebih dari pokoknya.

Misalnya:
a. Meminjamkan uang Rp 1.000.000,00 kembali menjadi Rp 1.050.000,00. Dinamakan riba fadhel, karena sama jenis rupiahnya.
b. Meminjamkan emas 10 gr, kembali setelah 3 bulan menjadi 11gr. Atau 10 gr dan gula 10 kg, atau 10 gr dan Rp 100.000,00. Dinamakan riba fadhel dan nasiah, karena sama jenisnya, yaitu emas.
c. Meminjam beras 1 kwintal di KUD atau orang lain, kembali setelah panen menjadi 1,5 kwintal. Atau harus menjual panennya ke KUD. Dinamakan riba fadhel dan nasiah, karena sama jenisnya, yaitu beras.
d. Meminjam benih anak ayam dari perusahaan tertentu. Hasilnya harus dijual kepadanya dengan harga dari perusahaan. Dinamakan riba fadhel dan nasiah. Karena menjual barang haknya penjual, bukan haknya pembeli. 

Dalilnya, firman Allah.

فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ

Maka bagimu pokok hartamu;kamu tidak menganiaya (dengan memungut tambahan) dan tidak (pula) dianiaya (dengan dikuranginya). [Al Baqarah:279].

Contoh di atas tidak ada hubungannya dengan jual beli. Tetapi berhubungan dengan peminjaman barang riba. Kami masukkan benih telur ke dalam contoh, sekalipun bukan benda riba, karena meminjam sesuatu, harus kembali dengan sesuatu yang sama pula. والله أعلم 

Peminjaman di atas sah, apabila: 
- Huruf a, Rp. 1.000.000,00 kembali Rp. 1.000.000,00
- Huruf b, emas 10 gr kembali emas 10gr.
- Huruf c, 1 kwintal beras, kembali 1 kwintal beras. Atau 1 kwintal beras dari KUD tersebut dibeli walaupun dengan harga mahal, sedangkan pembayarannya setelah panen.
- Huruf d, sama dengan c, atau bagi hasil (mudharabah).
- Boleh meminjamkan mobil, kembali mobil dengan tambahan uang. Hal ini dinamakan menyewakan barang, dan mobil bukan barang ribawi.
- Boleh menerima pemberian dari orang yang meminjam peralatan rumah umpamanya, sekalipun tidak ada niat untuk menyewakan. Karena barang tersebut bukan benda ribawi. 

12. Termasuk riba, bila menukar uang sejenis, salah satunya dilebihkan, diambil langsung atau belakangan.
Misalnya: Menukarkan uang ribuan baru sejumlah seratus lembar, kembali seratus lima ribu rupiah. Ini termasuk riba fadhel, sekalipun sama-sama suka. 

Dalilnya, hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersumber dari shahabat Abu Said Al Khudri Radhiyallahu 'anhu.

الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ مِثْلًا بِمِثْلٍ وَالْوَرِقُ بِالْوَرِقِ مِثْلًا بِمِثْلٍ 

Menjual emas dengan emas hendaknya sama nilai (timbangannya), perak dengan perak, hendaknya sama pula timbangannya. [HR Bukhari, Kitabul Buyu’].

13. Termasuk riba, bila menitipkan uang, lalu diambil dengan mendapat tambahan atau dikurangi. 
Misalnya, menitipkan uang di bank. Ketika mengambilnya, dia mengambil bunganya juga. Atau sekolah memerintahkan siswanya agar menabung. Tetapi ketika diambil, tabungan itu dipotong untuk keperluan penitipan. Yang benar, diserahkan semua titipannya, lalu menyampaikan kepentingan kebutuhan sekolah.

Dalilnya, firman Allah.

فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ

Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya (dengan memungut tambahan) dan tidak (pula) dianiaya (dengan dikuranginya). [Al Baqarah:279].

Contoh di atas tidak ada hubungannya dengan jual beli, karena titipan. Maka, harus dikembalikan sebagaimana asalnya; lain dengan akad jual beli.

14. Termasuk riba, bila menjual dan membeli saham di bank. Karena pada hakikat penjualan saham ini, ialah menjual uang dengan uang yang tidak sama nilainya dan tidak langsung diterima. Dan karena usahanya membungakan uang. [17]

Dalilnya, firman Allah: 

وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ

dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. [Al Maidah:2].

15. Termasuk jual beli yang sah, bila saham tersebut telah berada di tangannya, dan bukan bekerja sama dengan bank ribawi. Dan sebaiknya diberitahukan kepada pemilik saham yang lain. Karena kawannya lebih berhak, daripada yang lain. Sebagaimana disebutkan di dalam hadits. 

Demikianlah sebagian contoh perbedaan antara riba dan perniagaan yang dihalalkan menurut pandangan Dinul Islam yang mulia. Tentunya tidak menutup kemungkinan masih banyak lagi mcam jual-beli sistim riba. Utamanya penjualan kertas berharga yang dikeluarkan oleh bank. Hal ini tentunya dapat diketahui oleh pengusaha besar, yang selalu berhubungan dengan bank. Seperti penjualan cek dengan harga lebih murah daripada yang tercamtum di dalamnya, karena pencairannya menunggu setelah satu bulan –umpamanya- dan seterusnya. 

والحمد لله رب ا لعالمين 

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun VII/1424H/2003M karya Ustadz 'Aunur Rofiq Ghufron Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
________
Footnote
[1]. Lihat kamus Mu’jmul Wasith 1/326, Mufradat Al Fadhil Quran Lil, oleh Al Asfahani, hlm. 340.
[2]. Definisi ini dituturkan oleh Imam Ahmad. Lihat kitab Raddul Muhtar, hlm. 183, kitab Mufradat Al Fadzil Qur’an, oleh Al Asfahan, hlm. 340.
[3]. Lihat kitab Mufradat Al Fadzil Qur’an, oleh Al Asfahani, hlm. 154
[4]. Untuk lebih jelasnya keterangan di atas, silakan membaca kitab Fatawa Allajnatud Daimah 13/36
[5]. Lihat kitab Al Miskah 1/228 no. 273
[6]. Lihat kitab Al Fiqhul Islami Wadillatuhu 4/675. Lihat kitab Taudhihul Ahkam, oleh Ali Bassam 4/21-23.
[7]. Lihat Fatwa Lajnah Ad Daimah 13/500-501
[8]. Lihat Fatawa Lajnah Daimah 13/500-501
[9]. Fatawa Lajnah Daimah 13/500-501; Fatawa Manarul Islam, Ibnu Utsaimin 2/448.
[10]. 10. Fatawa Lajnah Daimah 13/500
[11]. Lihat Fatawa Lajnah Daimah 13/500, Fatawa Manarul Islam, Ibnu ‘Utsaimin 2/449
[12]. Lihat Fatawa Manarul Islam, Ibnu ‘Utsaimin 2/448.
[13]. Fatawa Lajnah Daimah 13/ 501
[14]. Fatawa Lajnah Daimah 13/ 501
[15]. Lihat kitab Taudhihul Ahkam, oleh Ali Bassam 4/30
[16]. Fatawa Lajnah Daimah, 13/ 501
[17]. Lihat kitab Fatawa Islamiyah 2/399-340

Komentar Abu Hada

Dengam demikian jelas Riba'  beda dengan keuntungan. Jika keuntungan kita bebas menentukan berapa prosen untung akan perniagaan kita ( Jasa dan atau barang-SI). Sedangkan bunga/ riba' adalah sesuatu tambahan yang terlarang oleh Allah dan Rosulullah shallallahu 'alahi wasallam, standardnya, baca note di atas lebih teliti!.

Tentang Riba' dan Jual Beli dalam Syariat Islam ( Quran dan As-sunnah) adalah pedoman/ tolok ukur akan halal dan haram dalam perniagaan, sedangkan perkembangan zaman tentang jual beli atau modus riba'nya ( termasuk nama, misal leasing, wara laba yang haram dan lainnya) tidak akan mengubah hukum tentang hal ini.

Dengan demikian apa pun namanya jual beli/ kredit dengan segala bariannya, harus di ukur/ di timbang dengan dalil Quran dan Sunnah yang shahih.

Cikarang Barat,  29  Dzulqodah 1432 H/ 26  Oktober 2011 Jam.00.30 WIB
Tukang Herbal/ Bekam, Cari Ilmu, n Advokat (0811195824), Melayani Seluruh Indonesia

blog-sukpandiaridrisadvokatassalafy.blogspot.com
Diposkan oleh blog sukpandiar Idris Advokat Assalafy

Senin, 24 Oktober 2011

Hukum Wara Laba


Waralaba dalam Pandangan Islam

oleh Sukpandiar Idris Advokat As-salafy pada 25 Oktober 2011 jam 0:31
Assalamu’alaikum wa rohmatulloh,

Ustadz Dzulqornain -hafizhokumulloh- , ana mau tanya tentang hukum bisnis  waralaba/franchise, bolehkah membangun wirausaha dengan system ini?
Jazakumulloh khoiron.

Abu Hammad <infotholibah></infotholibah>
Mungkin maksud dari Akh Abu Hammad tentang waralaba secara garis besar  dijabarkan seperti di bawah ini.

Definisi Waralaba
Menurut International Franchise Association (www.Franchise. org),  Franchise atau Waralaba pada hakekatnya memiliki 3 elemen berikut: Merek, Sistem Bisnis, & Biaya (Fees)
Merek
Dalam setiap perjanjian Waralaba, sang Pewaralaba (Franchisor) –  selaku pemilik dari Sistem Waralabanya memberikan lisensi kepada  Terwaralaba (Franchisee) untuk dapat menggunakan Merek Dagang/Jasa dan  logo yang dimiliki oleh Pewaralaba.
Sistem Bisnis
Keberhasilan dari suatu organisasi Waralaba tergantung dari penerapan  Sistem/Metode Bisnis yang sama antara Pewaralaba dan Terwaralaba. Sistem  bisnis tersebut berupa pedoman yang mencakup standarisasi produk, metode  untuk mempersiapkan atau mengolah produk atau makanan, atau metode jasa, standar rupa dari fasilitas bisnis, standar periklanan, system  reservasi, sistem akuntansi, kontrol persediaan, dan kebijakan dagang, dll.
Biaya (Fees)
Dalam setiap format bisnis Waralaba, sang Pewaralaba baik secara  langsung atau tidak langsung menarik pembayaran dari Terwaralaba atas  penggunaan merek dan atas partisipasi dalam sistem Waralaba yang  dijalankan. Biaya biasanya terdiri atas Biaya Awal, Biaya Royalti, Biaya  Jasa, Biaya Lisensi dan atau Biaya Pemasaran bersama. Biaya lainnya juga  dapat berupa biaya atas jasa yang diberikan kepada Terwaralaba (mis:  biaya manajemen)
Karakteristik lain dari Waralaba
Pihak-pihak yang terkait dalam Waralaba sifatnya berdiri sendiri.  Terwaralaba berada dalam posisi independen terhadap Pewaralaba.  Independen maksudnya adalah Terwaralaba berhak atas laba dari usaha yang  dijalankannya, bertanggung jawab atas beban-beban usaha waralabanya  sendiri (mis: pajak dan gaji pegawai). Di luar itu, Terwaralaba terikat  pada aturan dan perjanjian dengan Pewaralaba sesuai dengan kontrak yang  disepakati bersama.

Definisi-definisi Waralaba lainnya, antara lain:
Amir Karamoy (Konsultan Waralaba)
“Waralaba adalah suatu pola kemitraan usaha antara perusahaan yang  memiliki merek dagang dikenal dan sistem manajemen, keuangan dan  pemasaran yang telah mantap, disebut pewaralaba, dengan  perusahaan/individu yang memanfaatkan atau menggunakan merek dan system  milik pewaralaba, disebut terwaralaba. Pewaralaba wajib memberikan  bantuan teknis, manajemen dan pemasaran kepada terwaralaba dan sebagai  imbal baliknya, terwaralaba membayar sejumlah biaya (fees) kepada  pewaralaba. Hubungan kemitraan usaha antara kedua pihak dikukuhkan dalam suatu perjanjian lisensi/waralaba.

Peraturan Menteri Perdagangan (no. 12/2006)
“Waralaba (Franchise) adalah perikatan antara Pemberi Waralaba  dengan Penerima Waralaba dimana Penerima Waralaba diberikan hak untuk  menjalankan usaha dengan memanfaatkan dan/atau menggunakan hak kekayaan  intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang dimiliki Pemberi Waralaba dengan suatu imbalan berdasarkan persyaratan yang ditetapkan  oleh Pemberi Waralaba dengan sejumlah kewajiban menyediakan dukungan  konsultasi operasional yang berkesinambungan oleh Pemberi Waralaba  kepada Penerima Waralaba”

Sumber :
http://www.waralaba .com/franchiseba sics.php? page_mode= detail&id= 2
<http: .com="" sics.php="" page_mode="detail&amp;id="></http:>
Tambahan : Beberapa perusahaan yang kita kenal di Indonesia juga  menerapkan sistem ini, seperti KFC, Mc Donald, Carefour, Es Teler 77,  Bakso Lapangan Tembak, dll.
Jawaban Al-Ustadz Dzulqornain Abu Muhammad
Bismillahirrahmanirrahim,
Dalam kamus Bahasa Indonesia disebutkan,

wa·ra·la·ba n 1 kerja sama dl bidang usaha dng bagi hasil sesuai dng kesepakatan; 2 hak kelola; hak pemasaran;
pe·wa·ra·la·ba n 1 orang yg memberi waralaba; 2 orang yg memiliki waralaba;
pe·wa·ra·la·ba·an n proses, cara, perbuatan memberi waralaba;
ter·wa·ra·la·ba v sudah menerima atau diberi waralaba
Dari hakikat perakteknya, saya sudah memahami dari apa yang digambarkan oleh ikhwah -semoga Allah membalas mereka dengan kebaikan-.
Tergambar bagi saya bahwa waralaba adalah terjadi padanya kerjasama, bagi hasil dan mencakup banyak bidang kerja.
Karena itu, saya pada kesempatan ini hanya memberikan ukuran-ukuran dasar dalam fiqih untuk menimbang sistem waralaba ini.

Ada beberapa hal yang perlu saya jelaskan:
Pertama, Salah satu dari syarat transaksi yang dibolehkan dalam muamalah islamy, bahwa transaksi tersebut ada manfaatnya. Baik itu manfaat bagi pembeli maupun penjual, dalam bentuk barang, jasa, tenaga, fasilitas maupun selainnya.
Kalau -misalnya- seorang yang mempunyai rumah makan terkenal dan banyak pengunjung, boleh baginya untuk menjual nama rumah makannya kepada orang lain atau memberi izin kepada orang lain menggunakan nama rumah makannya dengan mengambil imbalan. Hal tersebut karena memang ada manfaatnya. Permisalan ini secara khusus telah saya tanyakan kepada guru kami, Syaikh Sholih Al-Fauzan dan beliau membolehkannya bila memang ada manfaatnya.
Maka apa yang berkembang dalam bisnis waralaba yang manfaatnya lebih dari sekedar lebel nama, bahkan kadang dengan layanan alat, tempat, pelatihan dan sebagainya, Insya Allah dari sisi ini tidak masalah karena ada manfaatnya.
Kedua, Membahas tentang kerjasama dan bagi hasil dalam suatu transaksi adalah berhubungan dengan bentuk sistem serikat/perserikatan yang dikenal dalam fiqih. Dan sistem serikat dalam akad transaksi terdapat lima bentuk yang dibolehkan dari uraian fiqih Islam.
  • Satu, Dua pihak berserikat dalam harta/modal dan kerja/tenaga. Ini disebut Serikat Al-Iyan.
  • Dua, Berserikat dalam sebuah transaksi dimana salah satu pihak dengan harta/modal dan pihak lain dengan tenaga. Inilah yang disebut Mudharabah.
  • Tiga, Berserikat dalam sebuah transaksi dimana semua pihak tidak memilik modal tapi mereka bisa mengadakan barang dengan modal kepercayaan, kedudukan dan semisalnya,  Ini disebut serikat Al-Wujuh.
  • Empat, Pihak-pihak yang berserikat dalam usaha dengan badan/tenaga mereka dalam sebuah transaksi dan mereka berserikat dari keuntungan mereka.  Ini disebut serikat Al-Abdan.
  • Lima, Serikat yang tergabung dalamnya empat jenis serikat di atas. Ini disebut serikatAl-Mufawadhah.

Ketiga, Pembagian hasil dibagi atas dasar modal, tenaga dan usaha yang dia lakukan dalam sebuah serikat, dengan menjaga keadilan, tidak ada bentuk kezholiman, melanggar hak orang lain dan sebagainya perkara yang terlarang dalam fiqih jual beli.

Dari keterangan di atas, nampak bahwa Insya Allah tidak ada masalah dengan bisnis waralaba dengan menjaga ketentuan-ketentuan di atas.
Sambil saya ingatkan untuk agar setiap yang terjun dalam suatu bisnis agar memperjelas hukum bisnis yang dia lakukan kepada orang-orang yang berilmu agar dia tidak terjatuh dalam kesalahan atau pelanggaran tanpa ilmu atau tanpa disadari.
Walllahu A’lam
* * *
SUMBER : milinglist nashihah@yahoogroups.com versi offline dikumpulkan kembali oleh dr.Abu Hana untuk http://kaahil.wordpress.com

Komentar AHSI

Tampak jelas Wara laba seperti Jual Beli Biasa. Hanya saja jual beli ini lebih luas, tak hanya barangm tapi juga merk, manajemen. Juga tak ada unsur bunga, gambling dan hal lain yang di haramkan dalam syariat Islam> 
Ia akan haram bila ada pemaksaan menjual barang haram dari pewara laba kepada Terwara laba, Misalnya: Jual MIRAS, Rokok dan lainnya.

“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat) , sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Rabbnya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (Al-Baqarah: 275)
Penjelasan Mufradat Ayat
يَأْكُلُوْنَ الرِّبَا
“Mereka memakan riba.” Maksud memakan di sini adalah mengambil. Digunakannya istilah “makan” untuk makna mengambil, sebab tujuan mengambil (hasil riba tersebut) adalah memakannya, sebagaimana yang dijelaskan oleh Al-Imam Al-Qurthubi. Ini pula yang ditegaskan oleh Al-Imam At-Thabari dalam menafsirkan ayat ini. Beliau rahimahullahu berkata: “Maksud ayat ini dengan dilarangnya riba bukan semata karena memakannya saja, namun orang-orang yang menjadi sasaran dari turunnya ayat ini, pada hari itu makanan dan santapan mereka adalah dari hasil riba. Maka Allah menyebutkan berdasarkan sifat mereka dalam menjelaskan besarnya (dosa) yang mereka lakukan dari riba dan menganggap jelek keadaan mereka terhadap apa yang mereka peroleh untuk menjadi makanan-makanan mereka. Dalam firman-Nya Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan:
يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِيْنَ. فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللهِ وَرَسُوْلِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوْسُ أَمْوَالِكُمْ لاَ تَظْلِمُوْنَ وَلاَ تُظْلَمُوْنَ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (Al-Baqarah: 278-279)

Cikarang Barat,  28  Dzulqodah 1432 H/ 25  Oktober 2011 Jam.00.31 WIB
Tukang Herbal/ Bekam, Cari Ilmu, n Advokat (0811195824), Melayani Seluruh Indonesia

blog-sukpandiaridrisadvokatassalafy.blogspot.com
Diposkan oleh blog sukpandiar Idris Advokat Assalafy

Minggu, 23 Oktober 2011

Larangan Mengikuti Kaum Mayoritas


Larangan Mengikuti Kaum Mayoritas

oleh Sukpandiar Idris Advokat As-salafy pada 24 Oktober 2011 jam 0:24
Sulam al- Wushul.
Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam . Bersabda: “ Ikutilah mayoritas (umat islam)”. Dan ketika mazhab- mazhab benar telah tiada, dengan wafatnya para imamnya, kecuali empat mazhab yang pengikutnya tersebar luas, maka mengikutinya berarti mengikuti mayoritas, dan keluar dari empat mazhab tersebut berarti keluar dari mayoritas. ( Muhammad Bahith al- Muthi’I, Sullam al-Wushul Syarah Nihayah al-Sul, Mesir Bahrul Ulum, Jilid III, h.921) 
apakah hadist diatas palsu?“ Ikutilah mayoritas (umat islam)”. Dan ketika mazhab- mazhab benar telah tiada, dengan wafatnya para imamnya, kecuali empat mazhab yang pengikutnya tersebar luas, maka mengikutinya berarti mengikuti mayoritas, dan keluar dari empat mazhab tersebut berarti keluar dari mayoritas. ( Muhammad Bahith al- Muthi’I, Sullam al-Wushul Syarah Nihayah al-Sul, Mesir Bahrul Ulum, Jilid III, h.921) 
apakah hadist diatas palsu?
Komentarku ( Mahrus ali )

اِتَّبِعُوا السَّوَادَ اْلأَعْظَمَ فَإِنَّهُ مَنْ شَذَّ شَذَّ فِي النَّارِ " . رَوَاهُ ابْنُ مَاجَه مِنْ حَدِيْثِ أَنَسٍ

Ikutilah sawadul a`dhom ya`ni kebanyakan orang . sesungguhnya barang siapa yang terpencil , maka  terpencil dalam neraka . HR Ibnu Majah dari hadis Anas , lemah kata al albani . [1] lemah
Ia  bertentangan dengan hadis :

بَدَأَ الْإِسْلاَمُ غَرِيبًا وَسَيَعُودُ كَمَا بَدَأَ غَرِيبًا فَطُوبَى لِلْغُرَبَاءِ *
Islam mulai dalam keadaan terasing ( terpencil  dan   jarang pengikutnya ) . Dan akan kembali dalam keadaan terasing. Beruntunglah  orang orang yang terpencil . Hadis sahih ,[2]

Ada hadis lagi :
اِفْتَرَقَتْ بَنُو إِسْرَاِئيْلَ عَلَى إِحْدَى وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً أَوْ قَالَ اثْنَتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً وَتَزِيْدُ هَذِهِ اْلأُمَّةُ فِرْقَةً وَاحِدَةً كُلُّهَا فِي النَّارِ إِلاَّ السَّوَادَ اْلأَعْظَمَ لَهُ رَجُلٌ ياَ أَبَا أُمَامَةَ مِنْ رَأْيِكَ أَوْ سَمِعْتَهُ مِنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ  إِنِّي إِذًا لَجَرِيئٌ بَلْ سَمِعْتُهُ مِنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَيْرَ مَرَّةٍ وَلاَ مَرَّتَيْنِ وَلاَ ثَلاَثَةً

Banu Israil berpecah menjadi 71 golongan atau  beliau bersabda : 72 golongan . Dan umat ini berpecah lebih darin itu , yaitu tambah satu lagi  menjadi 73 golongan . seluruhnya  di neraka kecuali golongan mayoritas .
Seorang lelaki berkata : Wahai Abu Umamah , dari pendapatmu  ataukah kamu dengar dari Rasulullah   .
Dia menjawab : Sesungguhnya aku termasuk orang yang berani , bahkan aku dengar dari beliau  dua atau tiga kali  bahkan lebih . [3] lemah  ,kata al albani

بَاب السَّوَادِ الْأَعْظَمِ  ( ابن ماجه)
قُلْ أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا عَلَيْهِ مَا حُمِّلَ وَعَلَيْكُمْ مَا حُمِّلْتُمْ وَإِنْ تُطِيعُوهُ تَهْتَدُوا وَمَا عَلَى الرَّسُولِ إِلاَ الْبَلاَغُ الْمُبِينُ(54)
Katakanlah: "Ta`atlah kepada Allah dan ta`atlah kepada rasul; dan jika kamu berpaling maka sesungguhnya kewajiban rasul itu adalah apa yang dibebankan kepadanya, dan kewajiban kamu sekalian adalah semata-mata apa yang dibebankan kepadamu. Dan jika kamu ta`at kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk. Dan tidak lain kewajiban rasul itu melainkan menyampaikan (amanat Allah) dengan terang."[4]

Nu`man bin Basyir berkata : Rasulullah    bersabda:
مَنْ لَمْ يَشْكُرْ الْقَلِيلَ لَمْ يَشْكُرْ الْكَثِيرَ وَمَنْ لَمْ يَشْكُرْ النَّاسَ لَمْ يَشْكُرْ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ وَالتَّحَدُّثُ بِنِعْمَةِ اللهِ شُكْرٌ وَتَرْكُهَا كُفْرٌ وَالْجَمَاعَةُ رَحْمَةٌ وَالْفُرْقَةُ عَذَابٌ
Barang siapa tidak bersukur kepada barang sedikit , tidak akan bersukur barang banyak . Bararang siapa yang tidak bersukur kepada manusia , sama dengan tidak bersukur kepada Allah azza wajal . Berbicara nikmat Allah sama dengan bersukur kepadanya. Mengabaikan nikmat sama dengan kufur kepadanya> Jamaah adalah  rahmat dan perpecahan adalah siksaan

 فَقَالَ أَبُو أُمَامَةَ الْبَاهِلِيُّ عَلَيْكُمْ بِالسَّوَادِ الْأَعْظَمِ قَالَ فَقَالَ رَجُلٌ مَا السَّوَادُ الْأَعْظَمُ فَنَادَى أَبُو أُمَامَةَ هَذِهِ الْآيَةَ الَّتِي فِي سُورَةِ النُّورِ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا عَلَيْهِ مَا حُمِّلَ وَعَلَيْكُمْ مَا حُمِّلْتُمْ

Abu Umamah al Bahili berkata : Ikutilah mayoritas ( as sawasul a`dhom ) .
Perawi berkata : Ada seorang lelaki bertanya : Apakah maksud as sawadul a`dhom .
Abu Umamah membacakan ayat ini di surat An nur :

فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا عَلَيْهِ مَا حُمِّلَ وَعَلَيْكُمْ مَا حُمِّلْتُمْ

dan jika kamu berpaling maka sesungguhnya kewajiban rasul itu adalah apa yang dibebankan kepadanya, dan kewajiban kamu sekalian adalah semata-mata apa yang dibebankan kepadamu.
HR Ahmad 27684 dan hanya Imam Ahmad yang meriwayatkannya  dari kalangan penyusun kutubut tis`ah . Sanadnya terdapat perawi bernama Abu waki` yang terkadang keliru dalam meriwayatkan hadis .
Ibnu Abi Hatim berkata :

رَوَى عَنْهُ أَبُو وَكِيْعٍ وَلاَ يُتَابَعُ فِي هَذَا

Abu Waki` meriwayatkan hadis tsb dan tiada hadis lain yang mendukungnya, kata
Imam Bukhari . [5]
Dan Abu waki` sendiri kadang keliru dalam meriwayatkan hadis di hawatirkan riwayat ini termasuk kekeliruannya. Jadi hadis tsb belum bisa di buat landasan.

أَنَسُ بْنَ مَالِكٍ يَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ أُمَّتِي لاَ تَجْتَمِعُ عَلَى ضَلاَلَةٍ فَإِذَا رَأَيْتُمْ اخْتِلاَفًا فَعَلَيْكُمْ بِالسَّوَادِ الْأَعْظَمِ

Anas bin Malik ra berkata : Aku mendengar Rasulullah    bersabda : Sesungguhnya umatku tidak akan berkumpul untuk kesesatan . Bila kamu melihat perbedaan pendapat maka ikutilah mayoritas  terbanyak jumlahnya.
HR Ibnu Majah , lemah karena ada perawi bernama Abu Kholaf al a`ma  perawi yang di tinggalkan  oleh ulama , Mu`an bin Rifa`ah yang  lemah . Al abbas bin Usman Addimasyqi yang suka berkata benar , tapi juga keliru .

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدُ اللهِ مَعَ الْجَمَاعَةِ وَهَذَا حَدِيثٌ غَرِيبٌ لاَ نَعْرِفُهُ مِنْ حَدِيثِ ابْنِ عَبَّاسٍ إِلاَّ مِنْ هَذَا الْوَجْهِ

Dari Ibnu Abbas ra berkata : Rasulullah    bersabda :Tangan bersama jamaah . ( Allah selalu membela kumlulan atau jamaah kaum muslim ) .
HR Tirmidzi 2166 , Imam Tirmidzi berkata : Hadis nyeleneh dan aku tidak mengetahui  kecuali dari jalur periwayatan tsb.

عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ اللهَ لاَ يَجْمَعُ أُمَّتِي أَوْ قَالَ أُمَّةَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى ضَلاَلَةٍ وَيَدُ اللهِ مَعَ الْجَمَاعَةِ وَمَنْ شَذَّ شَذَّ إِلَى النَّارِ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ غَرِيبٌ مِنْ هَذَا الْوَجْهِ

Dari Ibnu Umar  ,sesungguhnya Rasulullah    bersabda : Sesungguhnya Allah tidak akan mengumpulkan umatku atau beliau bersabda : Umat Muhammad , atas kesesatan . Dan tangan Allah bersamaah jamaah ( kaum muslim ) .
HR Tirmidzi 2168 , lemah karena perawi bernama   Sulaiman al madani . Abu Isa  - Imam Tirmidzi sendiri menyatakan  nyeleneh.
Dan beliau berkata lagi :

سَأَلْتُ مُحَمَّدًا عَنْ هَذَا الْحَدِيْثِ فَقَالَ سُلَيْمَانُ الْمَدَنِي هَذَا مُنْكَرُ الْحَدِيْثِ ،
Saya bertanya kepada Muhammad ( Imam Bukhari ) tentang hadis itu , lalu beliau bilang : Sulaiman al madani ( salah satu perawinya ) adalah mungkar mungkar hadisnya. [6]

As syaukani berkata :

وَبَقِيَ الْهَدْيُ النَّبَوِيُّ الْفِرْقَةُ الَّتِي لاَ تَزَالُ ظَاهِرَةً عَلَى الْحَقِّ ، فَهِيَ الْمُرَادَةُ بِلَفْظِ النَّاسِ فِي الْحَدِيثِ وَهِيَ السَّوَادُ الْأَعْظَمُ وَلَوْ كَانَتْ قَلِيلَةَ الْعَدَدِ

Tinggal tuntunan Nabi   yaitu golongan yang selalu exis dalam membela kebenaran . Itulah yang di maksud dalam hadis dengan as sawadul a`zham , sekalipun jumlahnya sedikit. [7]
Komentarku ; Maksud sawadul a`zham adalah golongan terbanyak , maka  tidak layak di gunakan untuk minoritas. Mungkin beliau mengikuti ulama yang menyatakan sawadul a`zham tidak  boleh terdiri dari ahli bid`ah sekalipun mayoritas . Sebab di kalangan mereka itu penuh dengan kesyirikan ( minta – minta  pada orang mati ) , kebid`ahan  bukan berdoa langsung kepada Allah  dan sunnah . Mereka  bila di ikuti -tidak di hindari , akan membikin lebih parah  dan tidak mendatangkan kesembuhan mental dan lebih ternoda bukan lebih bersih  baik dari segi akidah atau lainnya. Bahkan banyak hadis bukan pendapat ulama atau proffesor atau ajaran ormas  yang menyatakan amaliah mereka tertolak  di sisi Allah  dan di terima di sisi  setan – setan manusia dan jin .Mereka lebih ngefan kepada bid`ah dari pada sunnah , lebih kental dengan mayat di kuburan dari pada Allah di langit . .
Sekarang paling penting bagi kita  bukan orang kristen , konghucu dan JIL  belum menjumpai hadis sahih – bukan pendapat ulama - yang menganjurkan untuk mengikuti bukan menghindari golongan mayoritas kecuali hadis yang lemah.
Karena itu, juga karena lainnya  ikutilah ayat :
وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي اْلأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلاَّ الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلاَّ يَخَْرُصُون
Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah).[8]
Dalam ayat lain , Allah menyatakan :
لَقَدْ جِئْنَاكُمْ بِالْحَقِّ وَلَكِنَّ أَكْثَرَكُمْ لِلْحَقِّ كَارِهُونَ
Sesungguhnya Kami benar-benar telah membawa kebenaran kepada kamu tetapi kebanyakan di antara kamu benci pada kebenaran itu.[9]
Mayoritas dan golongan mayoritas adalah benci kebenaran  , suka dengan kesalahan dan berada di jalan sesat  bukan di jalan lurus – jalan  setan bukan jalan para nabi.


Dalam encyplopedi fikih Islam terdapat keterangan sbb:

اِتِّبَاعُ السَّوَادِ اْلأَعْظَمِ:
قَالَ اْلغَزَالِى: مُتَبِعُ السَّوَادِ اْلأعْظَمِ لَيْسَ بِمُقَلِّدٍ بَلْ عَلِمَ بِقَوْلِ الرَّسُوْلِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وُجُوْبَ اتِّبَاعِهِ لِقَوْلِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "عَلَيْكُمْ بِالسَّوَادِ اْلأَعْظَمِ ".

Mengikuti golongan mayoritas atau yang terbanyak.
Al Ghozali berkata : Pengikut golongan mayoritas bukan ber arti taklid , tapi mengetahui Rasulullah   bersabda : Ikutilah  golongan mayoritas , dan itu adalah wajib di ikuti . [10]

" وَمَنْ سَرَّهُ أَنْ يَسْكُنَ بُحْبُوْحَةَ، الْجَنَّةِ فَلْيَلْزَمِ الْجَمَاعَةِ "، وَ 0" وَالشَّيْطَانُ مَعَ اْلوَاحِدِ وَهُوَ مِنَ اْلاِثْنَيْنِ أَبْعَدُ "، وَذَلِكَ قَبُوْلُ قَوْلٍ بِحُجَّةٍ

Barang siapa yang senang bertempat di tengah surga , maka ikutilah jamaah ( golongan orang banyak atau komunitas kaum muslimin )  dan setan  selalu bersama dengan  satu orang . Ia lebih jauh dengan dua orang .
Itu adalah menerima pendapat dengan landasan hujjah / dalil . [11]


Komentarku :
وَقَالَ ابْنُ حَزْمٍ الظَّاهِرِى: عَلَيْكُمْ بِالسَّوَادِ اْلأَعْظَمِ، رِوَايَةٌ لاَ تَصِحُّ وَخَبَرٌ لَمْ يُخْرِجْهُ أَحَدٌ مِمَّنْ اشْتَرَطَ الصَّحِيْحَ

Ibnu Hazem azh zhahiri berkata : Hadis ikutilah golongan mayoritas adalah  riwayat yang lemah , tiada orang ayng mensaratkan sahih yang meriwayatkannya . [12]

Al albani berkata :  HR Tirmidzi 25/2 , Al Hakim 114/1 , Al baihaqi  91/1 dari jalur Muhammad bin Sauqah dari Abdullah bin Dinar dari dia ….
Tirmidzi berkata : Hadis hasan sahih nyeleneh .
Al Hakim berkata : Sahih menurut persaratan syaikhain ( Bukhari dan Muslim )
Imam Dzahbi menyatakan oke .
Al albani juga menyatakan  cocok . [13]
Ibnu Abi Hatim berkata :
- وَسَأَلْتُ أَبِي ، وَأَبَا زُرْعَةَ ، عَنْ حَدِيثٍ رَوَاهُ مُحَمَّدُ بْنُ سُوقَةَ ، عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ دِينَارٍ ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ عَنْ عُمَرَ ، أَنَّهُ خَطَبَ بِالْجَابِيَةِ ، فَقَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم مَنْ سَرَّهُ بَحْبُوحَةَ الْجَنَّةِ فَلْيَلْزَمِ الْجَمَاعَةَ ، وَمَنْ سَاءَتْهُ سَيِّئَتُهُ وَسَرَّتْهُ حَسَنَتُهُ فَهُوَ مُؤْمِنٌ الْحَدِيثُ مَا عِلَّتُهُ
فَقَالا هَذَا خَطَأٌ ، رَوَاهُ ابْنُ الْهَادِ ، عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ دِينَارٍ ، عَنِ الزُّهْرِيِّ ، عَنِ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ ، أَنَّ عُمَرَ أَخَذَ مِنَ الْخَيْلِ الزَّكَاةَ

Saya bertanya kepada ayahku dan Abu Zur`ah  tentang hadis riwayat Muhammad bin Suqah  dari Abdullah bin Dinar  dari Ibnu Umar dari Umar , sesungguhnya  dia  berhutbah di Jabiyah, lalu berkata : Rasulullah    bersabda : Barang siapa yang senang untuk bertempat di tengah surga , maka ikutilah jamaah .  Barang siapa yang senang bertempat di tengah surga , maka ikutilah jamaah ( golongan orang banyak atau komunitas kaum muslimin )  .Dan barang siapa yang kejelekannya tidak membikin hatinya sakit dan kebaikannya membikinnya bergembira , maka  termasuk mukmin , apakah illatnya ( aibnya ).
Keduanya menjawab: Ini adalah keliru . Ia diriwayatkan oleh Ibnu al hadi  dari Abdullah bin Dinar dari Al zuhri  dari Al sa`ib bin Yazid , sesungguhnya Umar mengambil zakat kuda ………………….[14]
Komentarku lagi :
Untuk mengikuti jamaah , maksud nya di anjurkan bersatu di kalangan kaum muslimin dan tidak boleh berkelompok – kelompok  , ber ormas – ormas atau bermadzhab . Banyak  landasannya terutama dari al Quran sbb :
شَرَعَ لَكُمْ مِنَ الدِّينِ مَا وَصَّى بِهِ نُوحًا وَالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى وَعِيسَى أَنْ أَقِيمُوا الدِّينَ وَلاَ تَتَفَرَّقُوا فِيهِ كَبُرَ عَلَى الْمُشْرِكِينَ مَا تَدْعُوهُمْ إِلَيْهِ اللهُ يَجْتَبِي إِلَيْهِ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي إِلَيْهِ مَنْ يُنِيبُ(13)
Dia telah mensyari`atkan kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama) -Nya orang yang kembali (kepada-Nya).[15]
Ayat tsb memerintah menegakkan ajaran agama , jangan menguburnya lalu menyemarakkan kebid`ahan dan jangan sampai bercerai berai dengan bermadzhab, ber ormas , berpartai  tapi lenyapkan semua nya itu dan bersatulah dalam Islam saja tanpa partai dan golongan .
Di ayat lain , Allah berfirman :

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيعًا وَلاَ تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَةَ اللهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنْتُمْ عَلَى شَفَا حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللهُ لَكُمْ ءَايَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ

Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan ni`mat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena ni`mat Allah orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.  [16]
Orang yang berpecah belah termasuk mereka yang fanatik kepada madzhab, dan ormas akan mendapat siksaan yang pedih.

وَلاَ تَكُونُوا كَالَّذِينَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ وَأُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ

Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat,  [17]
Karena itu, bila terjadi persengketaan, maka di perintahkan untuk berdamai , Jangan terus bertengkar ,mengikuti ajaran  golongannya , tapi ikutilah hadis  sahih dan ajaran quran yang murni  bukan ajaran Thaghut atau peninggalan Hindu sebagaimana ayat :
وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللهِ فَإِنْ فَاءَتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ

Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mu'min berperang maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah; jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.[18]
 Sudah tentu di anjurkan untuk bersatu , dan ia akan membikin kaum musrikin takut , bukan kaum muslimin yang takut kepada musrikin dan mereka selalu berusaha untuk memecah belah kaum muslimin dengan memberikan dana segar kepada  tokoh – tokohnya   yang sanggup membikin kaum muslimin sangat toleransi dan bersenang  - senang dengan lawan dan musuh – musuh Allah dan teman setan.

[1] Misykatul mashobih 381
[2] Muslim/Iman /145. Ibnu Majah /Fitan /3986. Ahmad /Baqi musnad muktsirin/8812.
[3] Dhilalul jannah  28/1
[4] An nur 45
[5] Al jarh watta`dil 403/9
[6] Ilalut tirmidzi 262/2
[7] Nailul authar 500/1
[8] Al an`am 166
[9] Zukhruf 78
[10]  Al mustasfa  387/2
[11] Encyplopedi fikih Islam 45/1
[12] Al ihkam fii ushulil ihkam  76/6
[13] Irwa`ul gholil 215/6
[14] Ilal hadis karya Ibnu Abi Hatim 1978/1
[15]  Syura 13
[16] Ali Imran    102  .
[17] Ali Imran    105
[18]  Al Hujurat  9

Read more: http://mantankyainu.blogspot.com/2011/08/larangan-mengikuti-mayoritas.html#ixzz1b9hS602m

Komentar Abu Hada

Sekarang ini ahlul bid'ah mengangkat hadits palsu di atas untuk  "Memerangi" Ahlussunnah. Sayangnya banyak yang bodoh tentang derajat hadits tersebut. Biasanya yang  mengusung ikuti yang mayoritas adalah Parpol yang berlabel Islam untuk menggaet massa dan bekerjasama dengan Ormas yang mengukti hawa nafsu dalam beragama. 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memperingatkan kita yang berada di akhir zaman ini, dalam salah satu sabdanya :
“Hampir terjadi keadaan yang mana ummat-ummat lain akan mengerumuni kalian bagai orang-orang yang makan mengerumuni makanannya. “
Salah seorang sahabat berkata; “Apakah karena sedikitnya kami ketika itu?”
Nabi berkata: Bahkan, pada saat itu kalian banyak jumlahnya, tetapi kalian bagai ghutsa’ (buih kotor yang terbawa air saat banjir). Pasti Allah akan cabut rasa segan yang ada didalam dada-dada musuh kalian, kemudian Allah campakkan kepada kalian rasa wahn. “
Kata para sahabat: “Wahai Rasulullah, apa Wahn itu?
Beliau bersabda: “Cinta dunia dan takut mati. “
(HR Abu Daud no. 4297, Ahmad 5/278, Abu Nu’aim dalam At Hilyah l /182 dengan dua jalan dan dengan keduanya hadits ini menjadi shohih dan di shohihkan banyak ahli hadits) Hadits ini yang menceritakan menunjukkan keadaan ummat Islam di akhir zaman.

Cikarang Barat,  27  Dzulqodah 1432 H/ 24  Oktober 2011 Jam.00.24. WIB
Tukang Herbal/ Bekam, Cari Ilmu, n Advokat (0811195824), Melayani Seluruh Indonesia

blog-sukpandiaridrisadvokatassalafy.blogspot.com
Diposkan oleh blog sukpandiar Idris Advokat Assalafy