Jumat, 30 September 2011

Kiyai Bukan Robb Antum!


Kiyai Bukan Robb Antum!

oleh Sukpandiar Idris Advokat Assalafy pada 01 Oktober 2011 jam 0:29
Syirik?, ternyata di zaman modern ini banyak terjadi, apa lagi yang bernama Kiyai, orang pintar,ajengan,  tuan guru atau nama lainnya. Banyak orang berkata menurut kiyai ana , atau kiyai ana gak mungkin salah , lah wong dia berilmu?!.

Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kita agar melaksakan taat kepada Alloh dan Rosul-Nya. Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah, taatilah Rosul-Nya dan pemimpin kalian.” (An Nisa’: 59)
Para ulama menjelaskan ayat di atas bahwa ketaatan kepada Allah dan Rosul-Nya merupakan ketaatan yang mutlak, sedangkan ketaatan kepada makhluk itu tergantung pada ketaatan kepada Allah dan Rosul-Nya. Jika makhluk itu mengajak kepada perbuatan maksiat kepada Allah dan Rosul-Nya, maka kita tidak boleh mengikutinya. Karena tidak ada taat kepada makhluk dalam maksiat kepada Allah dan Rosul-Nya. Sabda Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam,“Tidak ada ketaatan kepada siapa pun dalam maksiat kepada Allah, ketaatan hanyalah dalam perkara yang baik menurut syariat.” (HR. Bukhori dan Muslim)
Tetapi apa yang terjadi pada kaum muslimin? Di antara mereka ada yang menentang perintah Allah dan Rosul-Nya, menentang Al Qur’an, menentang sunnah Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam padahal dalil tersebut sudah jelas bagi mereka. Mereka lebih memilih pendapat pemimpin golongan mereka, orang yang mereka anggap sebagai wali, pendapat Pak Kyai atau orang alim meskipun jelas-jelas pendapat tersebut bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sampai-sampai mereka menghalalkan sesuatu yang Allah Ta’ala haramkan, dan mengharamkan sesuatu yang Alloh Ta’ala halalkan demi mengikuti pendapat seseorang. Karena inilah mereka telah menjadikan tuhan-tuhan selain Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Mereka jadikan orang-orang alim dan rahib-rahib(pendta-pendeta) mereka sebagai Tuhan selain Allah.” (At Taubah: 31)
Kami Tidak Menyembah Mereka
Ketika mendengar ayat ini dari Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam, sahabat Adi bin Hatim rodhiyallohu ‘anhu yang dulu beragama nasrani berkata, “Sesungguhnya kami tidak menyembah mereka”. Kemudian Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam berkata, “Bukankah mereka mengharamkan yang Alloh halalkan kemudian kalian ikut mengharamkannya, dan mereka menghalalkan yang Alloh haramkan kemudian kalian ikut menghalalkannya?”Kemudian sahabat Adi bin Hatim rodhiyallohu ‘anhu menjawab, “Ya!” Rosululloh berkata, “Itulah bentuk peribadatan kalian kepada mereka.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi). Inilah yang disebut syirik dalam ketaatan. Oleh karena itu, Syaikh Muhammad At-Tamimy rohimahulloh Ta’ala memasukan hadits di atas dalam Kitab Tauhid karya beliau pada bab: Barang siapa yang menaati ulama dan pemimpin dalam mengharamkan yang dihalalkan oleh Allah dan menghalalkan yang diharamkan oleh Allah, maka dia telah menjadikannya sebagai tuhan-tuhan selain Allah.

Fenomena
Benih ke syirikan  ternyata mulai merambah, ikhwan ahlussunnah, yakni taklid buta dengan pendapat se orang Ustadz, atau seorang Syaikh. 
Contoh Ustadz Z mengatakan boleh dzikir dalam hati di Kamar Mandi/Toilet, Sedangkan Ustadz Y  tidak membolehkannya, Eh si Ikhwan ngotot pakai pendapat Ustadz Z , padahal yang benar adalah Ustad Y, karena setelah keluar WC  kita minta ampun kepada Allah alias gak boleh dzikir sekalipun dalam hati-Abu Hada.
Kasus lain adalah Menurut Syaikh M, menggerak-gerakan jari telunjuk ketika tasyahud adalah Bid'ah, karena haditsdnya dhoif, padahal Syaikh A menshahihkannya dengan adanya penguat. Eh si Ikhwan malah menghajar ana dengan tidak menegur ana!.

Cikarang Barat,  4 Dzulqodah 1432 H/ 1 Oktober 2011 Jam.00.29  WIB
Tukang Herbal, Cari Ilmu, n Advokat (0811195824), Melayani Seluruh Indonesia

blog-sukpandiaridrisadvokatassalafy.blogspot.com

Kamis, 29 September 2011

Syarat Jual Beli


Syarat Jual Beli

oleh Sukpandiar Idris Advokat Assalafy pada 30 September 2011 jam 0:31
Manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan interaksi. Dengan berinteraksi, mereka dapat mengambil dan memberikan manfaat. Salah satu praktek yang merupakan hasil interaksi sesama manusia adalah terjadinya jual beli yang dengannya mereka mampu mendapatkan kebutuhan yang mereka inginkan. Islam pun mengatur permasalahan ini dengan rinci dan seksama sehingga ketika mengadakan transaksi jual beli, manusia mampu berinteraksi dalam koridor syariat dan terhindar dari tindakan-tindakan aniaya terhadap sesama manusia, hal ini menunjukkan bahwa Islam merupakan ajaran yang bersifat universal dan komprehensif.
Melihat paparan di atas, perlu kiranya kita mengetahui beberapa pernik tentang jual beli yang patut diperhatikan bagi mereka yang kesehariannya bergelut dengan transaksi jual beli, bahkan jika ditilik secara seksama, setiap orang tentulah bersentuhan dengan jual beli. Oleh karena itu, pengetahuan tentang jual beli yang disyariatkan mutlak diperlukan.
Definisi Jual Beli
Secara etimologi, al-bay’u البيع (jual beli) berarti mengambil dan memberikan sesuatu, dan merupakan derivat (turunan) dari الباع (depa) karena orang Arab terbiasa mengulurkan depa mereka ketika mengadakan akad jual beli untuk saling menepukkan tangan sebagai tanda bahwa akad telah terlaksana atau ketika mereka saling menukar barang dan uang.
Adapun secara terminologi, jual beli adalah transaksi tukar menukar yang berkonsekuensi beralihnya hak kepemilikan, dan hal itu dapat terlaksana dengan akad, baik berupa ucapan maupun perbuatan. (Taudhihul Ahkam, 4/211).
Di dalam Fiqhus sunnah (3/46) disebutkan bahwa al-bay’u adalah transaksi tukar menukar harta yang dilakukan secara sukarela atau proses mengalihkan hak kepemilikan kepada orang lain dengan adanya kompensasi tertentu dan dilakukan dalam koridor syariat.
Adapun hikmah disyariatkannya jual beli adalah merealisasikan keinginan seseorang yang terkadang tidak mampu diperolehnya, dengan adanya jual beli dia mampu untuk memperoleh sesuatu yang diinginkannya, karena pada umumnya kebutuhan seseorang sangat terkait dengan sesuatu yang dimiliki saudaranya (Subulus Salam, 4/47).
Dalil Disyari’atkannya Jual Beli
Islam telah mensyariatkan jual beli dengan dalil yang berasal dari A;-Qur’an, sunnah, ijma’ dan qiyas (analogi).
Dalil Al Qur’an
Allah ta’ala berfirman,
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
 “… padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…” (QS. Al Baqarah: 275)
Al ‘Allamah As Sa’diy mengatakan bahwa di dalam jual beli terdapat manfaat dan urgensi sosial, apabila diharamkan maka akan menimbulkan berbagai kerugian. Berdasarkan hal ini, seluruh transaksi (jual beli) yang dilakukan manusia hukum asalnya adalah halal, kecuali terdapat dalil yang melarang transaksi tersebut. (Taisir Karimir Rahman 1/116).
Dalil Sunnah
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya, profesi apakah yang paling baik? Maka beliau menjawab, bahwa profesi terbaik yang dikerjakan oleh manusia adalah segala pekerjaan yang dilakukan dengan kedua tangannya dan transaksi jual beli yang dilakukannya tanpa melanggar batasan-batasan syariat. (Hadits shahih dengan banyaknya riwayat, diriwayatkan Al Bazzzar 2/83, Hakim 2/10; dinukil dari Taudhihul Ahkam 4/218-219).
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلًا بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الْأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ
“Emas ditukar dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, kurma dengan kurma, garam dengan garam, sama beratnya dan langsung diserahterimakan. Apabila berlainan jenis, maka juallah sesuka kalian namun harus langsung diserahterimakan/secara kontan” (HR. Muslim: 2970)
Berdasarkan hadits-hadits ini, jual beli merupakan aktivitas yang disyariatkan.
Dalil Ijma’
Kebutuhan manusia untuk mengadakan transaksi jual beli sangat urgen, dengan transaksi jual beli seseorang mampu untuk memiliki barang orang lain yang diinginkan tanpa melanggar batasan syariat. Oleh karena itu, praktek jual beli yang dilakukan manusia semenjak masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga saat ini menunjukkan bahwa umat telah sepakat akan disyariatkannya jual beli (Fiqhus Sunnah,3/46).
Dalil Qiyas
Kebutuhan manusia menuntut adanya jual beli, karena seseorang sangat membutuhkan sesuatu yang dimiliki orang lain baik, itu berupa barang atau uang, dan hal itu dapat diperoleh setelah menyerahkan timbal balik berupa kompensasi. Dengan demikian, terkandung hikmah dalam pensyariatan jual beli bagi manusia, yaitu sebagai sarana demi tercapainya suatu keinginan yang diharapkan oleh manusia (Al Mulakhos Al Fiqhy, 2/8).
Syarat-syarat Sah Jual Beli
Kondisi umat ini memang menyedihkan, dalam praktek jual beli mereka meremehkan batasan-batasan syariat, sehingga sebagian besar praktek jual beli yang terjadi di masyarakat adalah transaksi yang dipenuhi berbagai unsur penipuan, keculasan dan kezaliman.
Lalai terhadap ajaran agama, sedikitnya rasa takut kepada Allah merupakan sebab yang mendorong mereka untuk melakukan hal tersebut, tidak tanggung-tanggung berbagai upaya ditempuh agar keuntungan dapat diraih, bahkan dengan melekatkan label syar’i pada praktek perniagaan yang sedang marak belakangan ini walaupun pada hakikatnya yang mereka lakukan itu adalah transaksi ribawi.
Jika kita memperhatikan praktek jual beli yang dilakukan para pedagang saat ini, mungkin kita dapat menarik satu konklusi, bahwa sebagian besar para pedagang dengan “ringan tangan” menipu para pembeli demi meraih keuntungan yang diinginkannya, oleh karena itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ التُّجَّارَ هُمْ الْفُجَّارُ قَالَ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَوَلَيْسَ قَدْ أَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ قَالَ بَلَى وَلَكِنَّهُمْ يُحَدِّثُونَ فَيَكْذِبُونَ وَيَحْلِفُونَ وَيَأْثَمُونَ
“Sesungguhnya para pedagang itu adalah kaum yang fajir (suka berbuat maksiat), para sahabat heran dan bertanya, “Bukankah Allah telah menghalalkan praktek jual beli, wahai Rasulullah?”. Maka beliau menjawab, “Benar, namun para pedagang itu tatkala menjajakan barang dagangannya, mereka bercerita tentang dagangannya kemudian berdusta, mereka bersumpah palsu dan melakukan perbuatan-perbuatan keji.” (Musnad Imam Ahmad 31/110, dinukil dari Maktabah Asy Syamilah; Hakim berkata: “Sanadnya shahih”, dan beliau disepakati Adz Dzahabi, Al Albani berkata, “Sanad hadits ini sebagaimana yang dikatakan oleh mereka berdua”, lihat Silsilah Ash Shahihah 1/365; dinukil dariMaktabah Asy Syamilah).
Oleh karena itu seseorang yang menggeluti praktek jual beli wajib memperhatikan syarat-syarat sah praktek jual beli agar dapat melaksanakannya sesuai dengan batasan-batasan syari’at dan tidak terjerumus ke dalam tindakan-tindakan yang diharamkan .
Diriwayatkan dari Amirul Mu’minin ‘Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,
لَا يَبِعْ فِيْ سُوْقِنَا إِلاَّ مَنْ يَفْقَهُ، وَإِلِا أَكَلَ الرِّباَ
“Yang boleh berjualan di pasar kami ini hanyalah orang-orang yang faqih (paham akan ilmu agama), karena jika tidak, maka dia akan menerjang riba.”
Berikut beberapa syarat sah jual beli -yang kami rangkum dari kitab Taudhihul ahkam 4/213-214, Fikih Ekonomi Keuangan Islam dan beberapa referensi lainnya- untuk diketahui dan direalisasikan dalam praktek jual beli agar tidak terjerumus ke dalam praktek perniagaan yang menyimpang.
Pertama, persyaratan yang berkaitan dengan pelaku praktek jual beli, baik penjual maupun pembeli, yaitu:
  • Hendaknya kedua belah pihak melakukan jual beli dengan ridha dan sukarela, tanpa ada paksaan. Allah ta’alaberfirman:
    يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
    “… janganlah kalian saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang timbul dari kerelaan di antara kalian…” (QS. An-Nisaa’: 29)
  • Kedua belah pihak berkompeten dalam melakukan praktek jual beli, yakni dia adalah seorang mukallaf dan rasyid(memiliki kemampuan dalam mengatur uang), sehingga tidak sah transaksi yang dilakukan oleh anak kecil yang tidak cakap, orang gila atau orang yang dipaksa (Fikih Ekonomi Keuangan Islam, hal. 92). Hal ini merupakan salah satu bukti keadilan agama ini yang berupaya melindungi hak milik manusia dari kezaliman, karena seseorang yang gila, safiih (tidak cakap dalam bertransaksi) atau orang yang dipaksa, tidak mampu untuk membedakan transaksi mana yang baik dan buruk bagi dirinya sehingga dirinya rentan dirugikan dalam transaksi yang dilakukannya. Wallahu a’lam.
Kedua, yang berkaitan dengan objek/barang yang diperjualbelikan, syarat-syaratnya yaitu:
  • Objek jual beli (baik berupa barang jualan atau harganya/uang) merupakan barang yang suci dan bermanfaat, bukan barang najis atau barang yang haram, karena barang yang secara dzatnya haram terlarang untuk diperjualbelikan.
  • Objek jual beli merupakan hak milik penuh, seseorang bisa menjual barang yang bukan miliknya apabila mendapat izin dari pemilik barang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
  • لَا تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ
    “Janganlah engkau menjual barang yang bukan milikmu.” (HR. Abu Dawud 3503, Tirmidzi 1232, An Nasaa’i VII/289, Ibnu Majah 2187, Ahmad III/402 dan 434; dishahihkan Syaikh Salim bin ‘Ied Al Hilaly)
    Seseorang diperbolehkan melakukan transaksi terhadap barang yang bukan miliknya dengan syarat pemilik memberi izin atau rida terhadap apa yang dilakukannya, karena yang menjadi tolok ukur dalam perkara muamalah adalah rida pemilik. (Lihat Fiqh wa Fatawal Buyu’ hal. 24). Hal ini ditunjukkan oleh persetujuan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamterhadap perbuatan Urwah tatkala beliau memerintahkannya untuk membeli kambing buat beliau. (HR. Bukhari bab 28 nomor 3642) 
  • Objek jual beli dapat diserahterimakan, sehingga tidak sah menjual burung yang terbang di udara, menjual unta atau sejenisnya yang kabur dari kandang dan semisalnya. Transaksi yang mengandung objek jual beli seperti ini diharamkan karena mengandung gharar (spekulasi) dan menjual barang yang tidak dapat diserahkan.
  • Objek jual beli dan jumlah pembayarannya diketahui secara jelas oleh kedua belah pihak sehingga terhindar darigharar. Abu Hurairah berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli hashaath (jual beli dengan menggunakan kerikil yang dilemparkan untuk menentukan barang yang akan dijual) dan jual beli gharar.” (HR. Muslim: 1513)
  • Selain itu, tidak diperkenankan seseorang menyembunyikan cacat/aib suatu barang ketika melakukan jual beli. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
    الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لَا يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ بَاعَ مِنْ أَخِيهِ بَيْعًا فِيهِ عَيْبٌ إِلَّا بَيَّنَهُ لَهُ
    “Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain. Tidak halal bagi seorang muslim menjual barang dagangan yang memiliki cacat kepada saudaranya sesama muslim, melainkan ia harus menjelaskan cacat itu kepadanya” (HR. Ibnu Majah nomor 2246, Ahmad IV/158, Hakim II/8, Baihaqi V/320; dishahihkan Syaikh Salim bin ‘Ied Al Hilali)
    Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
    مَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا ، وَالْمَكْرُ وَالْخِدَاعُ فِي النَّارِ
    “Barang siapa yang berlaku curang terhadap kami, maka ia bukan dari golongan kami. Perbuatan makar dan tipu daya tempatnya di neraka” (HR. Ibnu Hibban 567, Thabrani dalam Mu’jamul Kabiir 10234, Abu Nu’aim dalam Al HilyahIV/189; dihasankan Syaikh Salim Al Hilaly)
Terakhir, Jual Beli Bukanlah Riba
Sebagian orang beranggapan bahwa jual beli tidaklah berbeda dengan riba, anggapan mereka ini dilandasi kenyataan bahwa terkadang para pedagang mengambil keuntungan yang sangat besar dari pembeli. Atas dasar inilah mereka menyamakan antara jual beli dan riba?!. Alasan ini sangat keliru, Allah ta’ala telah menampik anggapan seperti ini. Allah ta’ala berfirman:
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لا يَقُومُونَ إِلا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS. Al-Baqarah: 275)
Tidak ada pembatasan keuntungan tertentu sehingga diharamkan untuk mengambil keuntungan yang lebih dari harga pasar, akan tetapi semua itu tergantung pada hukum permintaan dan penawaran, tanpa menghilangkan sikap santun dan toleran (disadur dari Fikih Ekonomi Keuangan Islam, hal. 87 dengan beberapa penyesuaian). Bahkan Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam menyetujui tatkala sahabatnya Urwah mengambil keuntungan dua kali lipat dari harga pasar tatkala diperintah untuk membeli seekor kambing buat beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. (HR. Bukhari bab 28 nomor 3642)
Namun, yang patut dicermati bahwa sikap yang lebih sesuai dengan petunjuk para ulama salaf dan ruh syariat adalah memberikan kemudahan, santun dan puas terhadap keuntungan yang sedikit sehingga hal ini akan membawa keberkahan dalam usaha. Ali radhiyallahu ‘anhu pernah berkata, “Hai para pedagang, ambillah hak kalian, kalian akan selamat. Jangan kalian tolak kentungan yang sedikit, karena kalian bisa terhalangi mendapatkan keuntungan yang besar.”
Adapun seseorang yang merasa tertipu karena penjual mendapatkan keuntungan dengan menaikkan harga di luar batas kewajaran, maka syariat kita membolehkan pembeli untuk menuntut haknya dengan mengambil kembali uang yang telah dibayarkan dan mengembalikan barang tersebut kepada penjual, inilah yang dinamakan dengan khiyarul gabn bisa dilihat pada pembahasan berbagai jenis khiyarWallahu ta’ala a’lam bish shawab.
Demikianlah beberapa penjelasan ringkas mengenai jual beli dan beberapa persyaratannya. Semoga bermanfaat bagi kami dan kaum muslimin.
Washshalatu was salamu ‘alaa nabiyyinal mushthafa. Wal hamdu lillahi rabbil ‘alamin.
***

Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim
Artikel www.muslim.or.id

Komentar Abu Hada

Sedangkan  syarat jual beli menurut Hukum Perdata Indonesia  adalah hanya mencakup persetujuan antar para pihak/ penjual dan pembeli-AH, adanya penyerahan suatu obyek/ barang dan pembayaran.  Demikian bunyi pasal 1457 KuHPerdata. Dalam perkembangannya nya, adanya barang yang di kuasai oleh penjual bukan lagi syarat sah jual beli, misal leasing, beda dengan hukum Islam, syarat ini mutlak !.

Beda lainnya jika jual beli menurut hukum perdata sekarang  boleh adanya unsur spekulasi, misal asuransi, maka menurut syariat Islam, hal tersebut terlarang.

Syarat Sah yang harus antum perhatikan jika jual beli tersebut bernilai puluhan juta maka harus di buat di hadapan notaris atau PPAT, misal jual beli tanah dan atau rumah. Jika tidak maka jual beli antum batal !. Dan ini selaras dengan surat Al-Baqoroh  ayat 284.

Cikarang Barat,  3 Dzulqodah 1432 H/ 30 September 2011 Jam.00.31  WIB
Tukang Herbal, Cari Ilmu, n Advokat (0811195824), Melayani Seluruh Indonesia

blog-sukpandiaridrisadvokatassalafy.blogspot.com

Rabu, 28 September 2011

Hud-Hud Saja Mengingkari Syirik


Hud- Hud Saja Mengingkari Syirik

oleh Sukpandiar Idris Advokat Assalafy pada 29 September 2011 jam 0:29
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

"Artinya : Dan dia memeriksa burung-burung lalu berkata : "Mengapa aku tidak melihat Hud-hud apakah dia termasuk yang tidak hadir.

Sungguh aku benar-benar akan mengazabnya dengan azab yang keras, atau benar-benar menyembelihnya kecuali jika benar-benar dia datang kepadaku dengan yang terang".

Maka tidak lama kemudian (datanglah Hud-hud), lalu ia berkata : "Aku telah mengetahui sesuatu yang kamu belum mengetahuinya ; dan kubawa kepadamu dari negeri Saba suatu berita penting yang diyakini.

Sesungguhnya aku menjumpai seorang wanita yang memerintah mereka, dan dia dianugrahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar.

Aku mendapati dia dan kaumnya menyembah matahari, selain Allah ; dan syaithan telah menjadikan mereka memandang indah perbuatan-perbuatan mereka lalu menghalangi mereka dari jalan (Allah), sehingga mereka tidak dapat petunjuk.

Agar mereka tidak menyembah Allah Yang mengeluarkan apa yang terpendam di langit dan di bumi dan Yang mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan.

Allah, tiada Tuhan (yang berhak disembah) kecuali Dia, Tuhan Yang mempunyai 'Arsy yang besar" [An-Naml : 20 - 26]

Tergerak dari sebuah rasa kecemburuan terhadap penyimpangan aqidah dalam hati seekor burung ketika ia merasa enggan melihat seseorang bersujud dan menyembah kepada selain Allah. Yang mana hal tersebut dilandasi dengan dasar ilmu bahwa penyembahan yang dilakukan kepada selain Allah adalah perbuatan sia-sia dan merupakan kebinasaan. Inilah suatu kebenaran yang nyata dan wajib untuk diketahui oleh semua orang.

(Kemudian timbul pertanyaan) bagaimana mereka bisa sujud kepada selain Allah, menundukkan kepala-kepala mereka dan merendahkan (dengan rasa hina) leher-leher mereka dihadapan mahluq--mahluq Allah ? semestinya (seharusnya-AH) kepala-kepala dan leher harus terangkat, tubuh harus berdiri tegak dihadapan makhluk Allah. Karena seluruh mahluk adalah sama derajatnya dihadapan Allah dalam permasalahan ubudiyah (peng-hambaan) meskipun dalam masalah setatus derajat kehidupan di dunia mereka berada. Maka kening itu tidak boleh ditundukkan kecuali hanya kepada Allah saja, punggung tidak boleh dimiringkan dan ditundukan dengan rasa hina kecuali hanya kepada Dzat Yang Maha Pemberi Kehidupan. Itulah kemuliaan yang telah Allah berikan kepada manusia yang mulia. Ubudiyah (peribadatan) bagi manusia adalah sebuah kedudukan yang tinggi dan tidaklah dipilih hak dan pelaksanaan peribadatan itu kecuali oleh orang-orang yang berilmu.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah diberikan penawaran oleh Allah 'Azza wa Jalla antara menjadi seorang Raja (penguasa) dan Rasul (utusan) atau sebagai seorang Hamba dan Rasul (utusan). Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memilih sisi ubudiyah (penghambaan) yaitu sebagai seorang hamba yang di utus, karena beliau mengetahui hakikat dari ubudiyah, dan bagaimana mungkin beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mengetahui hal tersebut sedangkan beliau adalah sebagai orang yang mengajarkan Al-Hikmah (Al-Qur'an dan Sunnah).

Pada hakikatnya burung Hud-hud ini adalah salah satu sosok makhluq Allah yang beriman, artinya bahwa ia tidak mengetahui yang patut disembah kecuali hanya Allah semata. Sebagaimana firman Allah.

"Artinya : Dan tak ada satupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka" [Al-Isra : 44]

Dan sebuah kenyataan bahwa burung Hud-hud ini memiliki ilmu dan mengenal beberapa perkara yang samar dimana urusan tersebut tidaklah dikenal kecuali oleh kalangan Ahlul ilmi (orang-orang yang berilmu). Tidaklah Hud-hud ketika melewati pada suatu kaum musyrik dengan sikap sebagaimana orang-orang yang tidak peduli dengan keberadaan kaum yang mereka lewat dihadapannya, tidak pula terburu-buru dalam menafsirkan keadaan kaum tersebut, dengan mengatakan : "Mereka adalah orang-orang bodoh dan dungu". Akan tetapi Hud-hud bergerak dan pergi dengan perlahan-lahan kemudian datang melaporkan kejadian yang baru ia saksikan kepada Nabi Allah Sulaiman 'Alaihi sallam dengan kabar yang yakin (tidak diragukan kebenarannya).

Ada pendapat yang mengatakan : Bahwasanya Hud-hud adalah hewan yang telah dipersiapkan secara khusus dan termasuk salah satu dari golongan pasukan Nabi Sulaiman yang bertugas khusus dalam hal pengintaian (menjaga serta mengawasi) dan memiliki kedudukan sebagai mahluk yang berakal dan berilmu.

Bisa jadi perkataan itu benar. Akan tetapi yang paling penting dalam kasus di atas adalah sikap marah dan perlawanan yang dimiliki dan diberikan oleh seekor burung terhadap penyimpangan tauhid yang terjadi. Sementara di lain pihak kita melihat dan menemukan sebagian manusia dari kalangan orang-orang Islam yang melewati dan melihat kejadian sebagaimana yang dialami burung Hud-hud ini tanpa ada rasa marah dan ingkar dalam diri mereka. Bahkan terkadang mereka membenarkan sikap orang-orang yang bersalah dan tersesat dari jalan tauhid ( Berbuat Syirik dan Bid'ah-Abu Hada).

Hanya Allah (saja yang dimintai pertolongan), seandainya burung Hud-hud ini melewati pada sebagian negeri-negeri kaum muslimin pada zaman sekarang dan melihat sikap mereka bergegas untuk mendatangi tempat-tempat yang diagungkan seperti perkuburan-perkuburan, kubah-kubah (sejenis bangunan untuk menutupi atas kuburan tertentu). Dan seandainya Hud-hud mendengar teriakan-teriakan mereka tersebut ..... dari sebagian kaum muslimin yang menyeru kepada selain Allah !!!

Sungguh suatu realita pahit yang sangat disayangkan ; lalu kapan kaum muslimin akan sadar dan memperhatikan hal ini .... Demikian pula para Da'i Islam ??

[Oleh
Syaikh Abdul Mu'min bin Muhammad An-Nu'man
Disalin dari Majalah : Al Ashalah edisi 15-16 hal 49-50, diterjemahkan oleh Majalah Adz-Dzkhiirah Al-Islamiyah Edisi : Th. I/No. 03/Dzulhijjah 1423/Februari 2003, hal 11-12. Terbitan Ma'had Ali Al-Irsyad - Surabaya]

Komentae Abu Hada

“Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian,  kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat menasihati dengan kebenaran dan nasihat menasihati dengan kesabaran.” [Al ‘Ashr 2-3]
Dari surat Al ‘Ashr di atas jelas. Selain beriman dan mengerjakan perbuatan baik, kita juga harus nasehat-menasehati dengan kebenaran dan kesabaran. Artinya kita tidak bisa diam saja melihat kemungkaran, namun dengan sabar terus menasehati agar orang-orang lain juga ikut berbuat baik dan benar dan menghentikan perbuatan mungkar.

Cikarang Barat, 30 Syawal 1432 H/ 28 September 2011 Jam.00. 29 WIB
Tukang Herbal, Cari Ilmu, n Advokat (0811195824), Melayani Seluruh Indonesia

blog-sukpandiaridrisadvokatassalafy.blogspot.com

Selasa, 27 September 2011

Memahami Hadits: Ini adalah Kurbanku...


Memahami Hadits : Ini Adalah Kurbanku Dan Kurban Siapa Saja Dari Umatku Yang Belum Berkurban

oleh Sukpandiar Idris Advokat Assalafy pada 28 September 2011 jam 0:32
Hadits ini shahih, diriwayatkan dari sejumlah sahabat dengan lafazh yang berbeda. Di antaranya yaitu :
1). Hadits Jabir Radhiyallahu ‘anhu
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ شَهِدْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْأَضْحَى بِالْمُصَلَّى فَلَمَّا قَضَى خُطْبَتَهُ نَزَلَ مِنْ مِنْبَرِهِ وَأُتِيَ بِكَبْشٍ فَذَبَحَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِيَدِهِ وَقَالَ بِسْمِ اللَّهِ وَاللَّهُ أَكْبَرُ هَذَا عَنِّي وَعَمَّنْ لَمْ يُضَحِّ مِنْ أُمَّتِي

Diriwayatkan dari Jabir Radhiyallahu ‘anhu , ia berkata: Aku ikut bersama Rasulullah n pada hari ‘Idul Adha di Mushalla (lapangan tempat shalat). Setelah selesai khutbah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam turun dari mimbar, lalu dibawakan kepadanya seekor kambing kibasy, lalu Rasulullah menyembelihnya dengan kedua tangannya seraya berkata,”Dengan menyebut nama Allah, Allahu akbar, ini adalah kurbanku dan kurban siapa saja dari umatku yang belum berkurban.” Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunan-nya (II/86), At Tirmidzi dalam Jami’-nya (1.141) dan Ahmad (14.308 dan 14.364). Para perawinya tsiqat, hanya saja, ada masalah dengan perawi yang bernama Al Muththalib. Dikatakan, bahwa ia banyak meriwayatkan hadits mursal. Masalah ini telah diisyaratkan oleh At Tirmidzi dengan pernyataannya: “Hadits ini gharib (hanya diriwayatkan oleh satu orang sahabat, Red) dari jalur ini. Hadits inilah yang diamalkan oleh Ahli Ilmu dari kalangan sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan yang lainnya. Yaitu hendaklah seorang lelaki apabila menyembelih mengucapkan ‘Bismillah Allahu Akbar’. Ini adalah merupakan pendapat Ibnul Mubarak. Dan dikatakan bahwa Al Muththalib bin Abdillah bin Hanthab belum mendengar dari Jabir.”
Sepertinya At Tirmidzi mengisyaratkan cacat riwayat ini. Yaitu, kemungkinan adanya keterputusan sanad antara Al Muththalib dan Jabir. Namun ada mutaba’ah bagi riwayat Jabir ini yang diriwayatkan dengan lafazh yang berbeda, dengan lafazh berikut ini:

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ ضَحَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِكَبْشَيْنِ فِي يَوْمِ الْعِيدِ فَقَالَ حِينَ وَجَّهَهُمَا ( إِنِّي وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ حَنِيفًا وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ )
( إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ لَا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ ) اللَّهُمَّ إِنَّ هَذَا مِنْكَ وَلَكَ عَنْ مُحَمَّدٍ وَأُمَّتِهِ ثُمَّ سَمَّى اللَّهَ وَكَبَّرَ وَذَبَحَ
Diriwayatkan dari Jabir bin Abdillah, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyembelih dua ekor kambing kibasy pada hari ‘Id. Setelah mengarahkan keduanya (ke kiblat), Beliau berkata,’Sesungguhnya aku hadapkan wajahku secara lurus kepada Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang musyrik. Sesungguhnya shalatku, penyembelihanku, hidupku dan matiku hanyalah bagi Allah Rabb semesta alam, tiada sekutu bagiNya dan itulah yang telah diperintahkan kepadaku, dan aku orang yang pertama berserah diri. Ya, Allah! Sesungguhnya ini dariMu dan untukMu, kurban dari Muhammad dan umatnya.’ Kemudian Beliau menyebut asma Allah, bertakbir lalu menyembelihnya.” [Lafazh ini diriwayatkan oleh Ad Darimi, 1.864, dan ini adalah lafazh riwayatnya; Abu Dawud, 2.413; Ibnu Majah, 3.112 dan Ahmad, 14.491].
Dalam sanadnya terdapat Muhammad bin Ishaq. Dia merupakan perawi shaduq (jujur), namun sering melakukan tadlis (penyamaran). Juga terdapat perawi bernama Abu Ayyasy Az Zuraqi. Dia seorang perawi yang maqbul (diterima). Sanad ini layak dijadikan sebagai mutabi’ (penguat) bagi sanad yang pertama.
2). Hadits Abu Hurairah dan ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anhuma
عَنْ عَائِشَةَ وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا أَرَادَ أَنْ يُضَحِّيَ اشْتَرَى كَبْشَيْنِ عَظِيمَيْنِ سَمِينَيْنِ أَقْرَنَيْنِ أَمْلَحَيْنِ مَوْجُوءَيْنِ فَذَبَحَ أَحَدَهُمَا عَنْ أُمَّتِهِ لِمَنْ شَهِدَ لِلَّهِ بِالتَّوْحِيدِ وَشَهِدَ لَهُ بِالْبَلَاغِ وَذَبَحَ الْآخَرَ عَنْ مُحَمَّدٍ وَعَنْ آلِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Diriwayatkan dari ‘Aisyah dan dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila hendak menyembelih kurban, Beliau membeli dua ekor kambing kibasy yang besar dan gemuk, bertanduk, berwarna putih dan terputus pelirnya. Beliau menyembelih seekor untuk umatnya yang bertauhid dan membenarkan risalah, kemudian menyembelih seekor lagi untuk diri Beliau dan untuk keluarga Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam”. [Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam Sunan-nya, 3.113; Ahmad, 24.660 dan 24.699]
Para perawinya tsiqah, kecuali Abdullah bin Muhammad bin Uqail. Dia adalah perawi shaduq. Sehingga sanad hadits ini derajatnya hasan. Hanya saja, dalam riwayat Ahmad, no. 24.660 disebutkan: “Dari Abu Hurairah bahwa ‘Aisyah berkata…”, sedangkan dalam riwayat nomor 24.699 disebutkan: “Dari ‘Aisyah atau dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhuma.” Lafazh seperti ini juga diriwayatkan oleh Anas.
3). Hadits Anas bin Malik Radhiyalahu ‘anhu
عَنْ أَنَسٍ قَالَ: “ضَحَّى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِكَبْشَيْنِ أَمْلَحَيْنِ أَقْرَنَيْنِ قَرَّبَ أَحَدُهُمَا فَقَالَ بِسْمِ اللهِ اللَّهُمَّ مِنْكَ وَلَكَ هَذَا مِنْ مُحَمَّدٍ وَأَهْلِ بَيْتِهِ، وَقَرَّبَ الآخَرُ فَقَالَ: “بِسْمِ اللهِ اللَّهُمَّ مِنْكَ وَلَكَ هَذَا مِنْ عَمَّنْ وَحَّدَكَ مِنْ أُمَّتِي
Diriwayatkan dari Anas, ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyembelih dua ekor kambing kibasy yang berwarna putih dan bertanduk. Beliau menyembelih yang seekor seraya berkata: “Bismillah. Ya, Allah! Ini adalah dariMu dan untukMu, kurban dari Muhammad dan keluarganya.” Lalu Beliau menyembelih yang seekor lagi seraya berkata: “Bismillah. Ya, Allah! Ini adalah dariMu dan untukMu, qurban dari siapa saja yang mentauhidkanMu dari kalangan umatku.”
4). Hadits Abu Thalhah Radhiyallahu ‘anhu
عَنْ أَبِي طَلْحَةَ “أَنَّ النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ضَحَّى بِكَبْشَيْنِ أَمْلَحَيْنِ فَقَاَلَ عِنْدَ الأَوَّلِ عَنْ مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ، وَعِنْدَ الثَّانِي عَمَّنْ آمَنَ بِي وَصَدَّقَنِي مِنْ أُمَّتِي
Diriwayatkan dari Abu Thalhah Radhiyallahu ‘anh, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyembelih dua ekor kambing kibasy yang berwarna putih. Ketika menyembelih kambing yang pertama, Beliau berkata: “Dari Muhammad dan keluarga Muhammad.” Dan ketika menyembelih yang kedua, Beliau berkata: “Dari siapa saja yang beriman kepadaku dan membenarkanku dari kalangan umatku.” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dan Mushannaf dan Abu Ya'laa Al Muushili dalam Musnad-nya].
5). Hadits Abu Rafi’ Radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Ahmad (VI/8 dan 391). Sanadnya dihasankan oleh Al Haitsami dalam Majma’ Az Zawaid (IV/22) dan menambahkan penisbatan riwayat ini kepada Al Bazzar. Kesimpulannya, hadits ini shahih diriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Atau lebih tepat derajatnya adalah shahih lighairihi.

FiIQH HADITS
Dalam masalah ini, terdapat dua perkara. Pertama : Menyembelih seekor kurban untuk dirinya dan keluarganya. Kedua : Menyembelih seekor kurban untuk dirinya dan untuk umat (selain keluarganya).
Untuk masalah yang pertama, mayoritas ulama sepakat membolehkannya. Ibnu Qayyim Al Jauziyah berkata dalam kitab Zaadul Ma’ad (II/323): “Di antara petunjuk Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu seekor kambing cukup untuk seseorang beserta keluarganya, meskipun keluarganya itu banyak. Sebagaimana yang dikatakan oleh Atha’ bin Yasar: Aku bertanya kepada Abu Ayyub Al Anshari: “Bagaimanakah penyembelihan qurban pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam?” Beliau menjawab: “Sesungguhnya dahulu seorang lelaki menyembelih seekor kambing untuk dirinya dan untuk keluarganya, mereka memakannya dan memberi makan orang lain.” [At Tirmidzi berkata,"Hadits ini hasan shahih."]
Lebih lanjut Imam At Tirmidzi menjelaskan di dalam kitab Jami’-nya dalam bab: بَابٌ الشَاةُ الوَاحِدَةُ تُجْزِىءُ عَنْ أَهْلِ البَيْتِ (Seekor kambing cukup untuk kurban satu keluarga):
وَالْعَمَلُ عَلَى هَذَا عِنْدَ بَعْضِ أَهْلِ الْعِلْمِ وَهُوَ قَوْلُ أَحْمَدَ وَإِسْحَقَ وَاحْتَجَّا بِحَدِيثِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ ضَحَّى بِكَبْشٍ فَقَالَ هَذَا عَمَّنْ لَمْ يُضَحِّ مِنْ أُمَّتِي وَقَالَ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ لَا تُجْزِي الشَّاةُ إِلَّا عَنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَهُوَ قَوْلُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْمُبَارَكِ وَغَيْرِهِ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ
“Inilah yang diamalkan oleh sebagian Ahli Ilmu dan merupakan pendapat Ahmad dan Ishaq. Mereka berdua berdalil dengan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa Beliau menyembelih kurban seekor kambing kibasy dan berkata: “Ini adalah qurban dari siapa saja yang belum berqurban dari kalangan umatku.”
Sebagian Ahli Ilmu berpendapat, seekor kambing hanya mencukupi sebagai qurban untuk seorang saja. Ini adalah pendapat Abdullah bin Al Mubarak dan para ahli ilmu lainnya.”
Lebih jelas lagi, Ibnu Qudamah Al Maqdisi di dalam kitab Al Mughni (XIII/365) mengatakan: “Seorang lelaki boleh menyembelih seekor kambing atau sapi atau unta untuk keluarganya. Hal ini ditegaskan oleh Imam Ahmad. Dan ini juga pendapat Malik, Al Laits, Al Auza’i dan Ishaq. Dan hal ini telah diriwayatkan dari Ibnu Umar dan Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu. Shalih bin Ahmad berkata: “Aku bertanya kepada ayahku: “Bolehkah menyembelih seekor kambing untuk keluarga?” Beliau menjawab: “Boleh, tidak mengapa!”
Imam Al Bukhari juga telah menyebutkan sebuah riwayat yang mendukung pendapat ini dari Abdullah bin Hisyam, bahwa ia dibawa oleh ibunya, Zainab binti Humaid kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ibunya berkata: “Wahai, Rasulullah, bai’atlah dia.” Nabi berkata: Ia masih kecil.”Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap kepalanya dan berdo’a untuknya. Dan Beliau menyembelih seekor kambing untuk seluruh keluarga Beliau.”
Imam Malik berkata di dalam kitab Al Muwaththa’:
وَأَحْسَنُ مَا سَمِعْتُ فِي الْبَدَنَةِ وَالْبَقَرَةِ وَالشَّاةِ أَنَّ الرَّجُلَ يَنْحَرُ عَنْهُ وَعَنْ أَهْلِ بَيْتِهِ الْبَدَنَةَ وَيَذْبَحُ الْبَقَرَةَ وَالشَّاةَ الْوَاحِدَةَ هُوَ يَمْلِكُهَا وَيَذْبَحُهَا عَنْهُمْ وَيَشْرَكُهُمْ فِيهَا
(Penjelasan yang paling baik yang aku dengar tentang qurban unta, sapi dan kambing, yaitu seorang lelaki boleh menyembelih seekor unta, sapi atau kambing untuk dirinya dan untuk keluarganya. Dialah pemiliknya, dan ia sembelih untuk keluarganya juga. Dia sertakan mereka bersamanya pada kurban tersebut).
Asy-Syaukani berkata di dalam kitab Nailul Authar, As-Sailul Jarrar dan Ad Dharari Al Mudhiyyah: “Pendapat yang benar adalah seekor kambing dapat dijadikan qurban untuk satu keluarga. Meskipun jumlah mereka seratus orang atau lebih sebagaimana yang telah ditetapakan oleh Sunnah Nabi.”
Seperti itu pula yang dijelaskan oleh Ash Shan’ani dalam kitab Subulus Salam. Beliau mengatakan:
“Sabda Nabi ‘dan keluarga Muhammad’ dalam lafazh lain ‘dari Muhammad dan keluarga Muhammad’, menunjukkan bahwa dibolehkan penyembelihan qurban dari seorang kepala keluarga untuk keluarganya dan menyertakan mereka dalam pahalanya.”
Dari penjelasan para ulama di atas jelaslah, jika seorang kepala keluarga boleh menyembelih qurban untuk dirinya dan untuk keluarganya. Lalu bagaimana bila ia menyembelih untuk orang lain yang bukan keluarganya atau untuk umat? Berdalil bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyembelih kurban untuk dirinya dan umatnya. Bolehkah hal tersebut?
Di dalam Tuhfatul Ahwadzi (Kitabul Adhahi, Bab ke 1.014), Al Mubarakfuri menjelaskan : “Jika engkau katakan bahwa hadits-hadits tersebut mansukh, atau kandungannya khusus dan tidak boleh diamalkan seperti yang dikatakan oleh Ath Thahaawi dalam Syarah Ma’ani Wal Atsar, maka kami jawab, ‘Penyembelihan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk umatnya dan penyertaan mereka pada qurban Beliau bersifat khusus bagi Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam (khushushiyyah). Adapun penyembelihan qurban Beliau untuk diri Beliau dan keluarganya, tidaklah khusus bagi Beliau (bukan khushushiyyah) dan tidak pula mansukh. Dalilnya, para sahabat Radhiyallahu ‘anhum menyembelih seekor kambing untuk dirinya dan keluarganya, sebagaimana yang telah engkau ketahui bersama. Dan tidak ada diriwayatkan dari seorang sahabatpun jika mereka menyembelih seekor kambing untuk ummat dan menyertakan ummat pada qurban mereka’.”
Penjelasan Al Mubarakfuri ini sekaligus menerangkan kesalahan sebagian orang yang menyembelih qurban untuk satu sekolah atau satu RT, misalnya, karena Sunnah Nabi dan para sahabat menyembelih qurban hanya untuk diri dan keluarga.
Di dalam kitab Aunul Ma’bud ketika mensyarah hadits Abu Dawud di atas, Abu Thayyib Muhammad Syamsul Haq ‘Azhim Abadi berkata: “Dalam kitab Fathul Wadud dikatakan ‘Hadits ini menjadi dalil bagi orang yang berpendapat seekor kambing disembelih oleh salah seorang anggota keluarga, maka syi’ar dan sunnahnya meliputi seluruh anggota keluarga tersebut. Berdasarkan hal ini, penyembelihan qurban adalah sunnah kifayah untuk satu keluarga. Dan itulah yang menjadi kandungan hadits. Adapun yang tidak berpendapat demikian mengatakan, bahwa keikutsertaan di sini adalah dalam hal pahala. Ada yang mengatakan, inilah yang lebih tepat’.”
Aku (Muhammad Syamsul Haq Azhim Abadi) katakan: “Pendapat yang benar adalah seekor kambing cukup untuk satu keluarga, karena para sahabat melakukan seperti itu pada masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Al Khaththabi berkata dalam kitab Al Ma’alim: “Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ‘dari Muhammad dan keluarga Muhammad dan dari ummat Muhammad’ menunjukkan bahwa seekor kambing cukup untuk seseorang dan keluarganya, meskipun jumlah mereka banyak. Diriwayatkan dari Abu Hurairah dan Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma bahwa keduanya mengamalkan seperti itu. Imam Malik, Al Auza’i, Asy Syafi’i, Ahmad dan Ishaq bin Rahuyah membolehkannya. Sedangkan Abu Hanifah dan Ats Tsauri membencinya’.”
Ibnu Abid Dunya meriwayatkan, bahwa Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu melakukan seperti itu. Beliau menyembelih seekor kambing untuknya dan seluruh keluarganya.”
Al Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam Fathul Bari, Bab Penyembelihan Hewan Kurban Bagi Para Musafir dan Kaum Wanita: “Jumhur ulama berdalil dengan hadits ini. Bahwa hewan kurban cukup untuk seseorang dan keluarganya. Namun pendapat ini ditentang oleh Hanafiyah dan Ath Thahawi dengan mengklaim, bahwa hal itu khusus bagi Nabi atau sudah dimansukhkan. Namun ia tidak menyertakan dalil bagi klaimnya tersebut. Al Qurthubi berkata: “Tidak ada dinukil bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan setiap isterinya untuk menyembelih qurban masing-masing, padahal pelaksanaan qurban terus berulang setiap tahun dan isteri Nabi juga banyak. Biasanya perkara semacam ini pasti telah dinukil, kalau memang benar-benar terjadi sebagaimana dinukilnya banyak perkara-perkara juz’iyyat lainnya. Hal ini dikuatkan lagi dengan riwayat yang dikeluarkan oleh Imam Malik, Ibnu Majah dan At Tirmidzi dan dishahihkan olehnya dari jalur Atha’ bin Yasar, bahwa ia bertanya kepada Abu Ayyub, lalu ia menyebutkan riwayatnya.”
Kemudian Muhammad Syamsul Haq Azhim Abadi menyimpulkan masalah ini sebagai berikut: “Wal hasil, seekor kambing cukup untuk kurban seseorang dan keluarganya, meskipun jumlah mereka banyak. Hal ini berlaku pada udhhiyah bukan pada hadyu, sebagaimana yang dijelaskan dalam riwayat ‘Aisyah Ummul Mukminin yang diriwayatkan oleh Muslim dan Abu Dawud. Dan dalam riwayat Jabir yang dikeluarkan oleh Ad Darimi dan penulis kitab Sunan. Juga riwayat Abu Ayyub Al Anshari yang diriwayatkan oleh Malik, At Tirmidzi dan Ibnu Majah. Serta riwayat Abdullah bin Hisyam yang telah bertemu dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam riwayat Al Hakim di kitab Al Mustadrak. Serta riwayat Abu Thalhah dan Anas yang dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah. Riwayat Abu Rafi’ dan kakek Abul Asyadd yang dikeluarkan oleh Ahmad, serta sejumlah riwayat dari beberapa orang sahabat lainnya. Adapun klaim Ath Thahawi, bahwa hadits ini mansukh atau khusus bagi Nabi saja, telah dibantah oleh para ulama sebagaimana yang telah disebutkan oleh An Nawawi. Karena tidak boleh mengklaim mansukh atau khushushiyyah tanpa disertai dalil. Bahkan telah diriwayatkan sebaliknya dari Ali, Abu Hurairah dan Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma, bahwa mereka mengamalkannya sebagaimana yang telah disebutkan oleh Al Khaththabi dan para ulama lainnya.”
Berkaitan dengan riwayat Ahmad dari kakek Abu Asyadd yang diisyaratkan oleh Muhammad Syamsul Haq Azhim Abadi di atas, perlu diketahui jika hadits tersebut dhaif. Selengkapnya, hadits tersebut sebagai berikut:
كُنْتُ سَابِعَ سَبْعَةٍ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَأَمَرَنَا نَجْمَعُ لِكُلِّ رَجُلٍ مِنَّا دِرْهَمًا فَاشْتَرَيْنَا أُضْحِيَّةً بِسَبْعِ الدَّرَاهِمِ فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ لَقَدْ أَغْلَيْنَا بِهَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ أَفْضَلَ الضَّحَايَا أَغْلَاهَا وَأَسْمَنُهَا وَأَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخَذَ رَجُلٌ بِرِجْلٍ وَرَجُلٌ بِرِجْلٍ وَرَجُلٌ بِيَدٍ وَرَجُلٌ بِيَدٍ وَرَجُلٌ بِقَرْنٍ وَرَجُلٌ بِقَرْنٍ وَذَبَحَهَا السَّابِعُ وَكَبَّرْنَا عَلَيْهَا جَمِيعًا
Aku (kakek Abul Asyadd) adalah orang ketujuh bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau memerintahkan kami agar mengumpulkan uang masing-masing satu dirham untuk membeli seekor hewan kurban (kambing) seharga tujuh dirham. Kami berkata,”Wahai, Rasulullah! Kita membeli hewan dengan harga mahal.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Sesungguhnya sebaik-baik hewan kurban adalah yang paling mahal dan paling gemuk.” Kemudian Rasulullah menyuruh seorang memegang kakinya, seorang lagi memegang kaki, seorang lagi memegang tangan, seorang lagi memegang tangan, seorang memegang tanduk dan seorang lagi memegang tanduk, kemudian orang yang ketujuh menyembelihnya. Kamipun seluruhnya bertakbir ketika menyembelihnya.
Di dalam sanad hadits tersebut, terdapat tiga perawi majhul, yaitu: Utsman bin Zufar, Abul Asyadd As Sulami dan ayahnya. Ketiganya adalah perawi majhul. Dengan demikian hadits tersebut dhaif, sehingga tidak bisa dipakai menjadi hujjah.

Kesimpulan
1. Penyembelihan qurban untuk diri dan keluarga adalah dibolehkan, sebagaimana kesepakatan para ulama berdasarkan amalan yang dilakukan oleh Nabi dan para sahabat Beliau.
2. Penyembelihan qurban untuk diri dan untuk umat (selain keluarga) hanyalah khusus bagi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalilnya, para sahabat tidak ada yang melakukan hal tersebut sepeninggal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yang ada, mereka hanya menyembelih qurban untuk diri sendiri dan keluarganya.
3. Sebagian kaum muslimin yang menyembelih qurban untuk satu sekolah atau untuk satu RT atau untuk satu desa adalah keliru, sebab hal seperti itu tidak dilakukan oleh para salaf dari kalangan sahabat dan tabi’in.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun VIII/1425H/2004 karya
Oleh
Ustadz Abu Ihsan Al-Atsari
. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]

KOMENTAR ABU HADA

Di Tempat ana Cikarang yang banyak PT ( Perseroan Terbatas) juga berkorban, tapi tujuannya politis, yakni agar masyarakat sekitarnya gak " Amuk n Ambek". Juga ada kurban dari Partai Politik!.

Waspada juga kuraban atas nama bayi, anak yang blum baligh, itu hal yang batil!.

Dari note ini pula urgensinya suatu manhaj, (metodologi agama yang benar), bukan asal berdalil!. Manhaj Salafus sholih adalah manhaj yang haq.

Cikarang Barat, 28 Syawal 1432 H/ 27 September 2011 Jam.00.32 WIB
Tukang Herbal, Cari Ilmu, n Advokat (0811195824), Melayani Seluruh Indonesia

blog-sukpandiaridrisadvokatassalafy.blogspot.com

Aplikasi Penghitungan Waris ( Seri Hukum waris Islam 9)


Aplikasi Penghitungan (Hukum Waris Islam 8)

oleh Sukpandiar Idris Advokat Assalafy pada 12 Desember 2010 jam 0:54
Perubahan Anda sudah disimpan.
Sebelum menghitung bagian waris yang akan di bagi hendaklah lebih dahulu tahu ta'silul mas'alah, yaitu angka yang paling kecil sebagai dasar untuk pembagian suku-suku bagian setiap ahli waris yang ada, misal ahli waris 1 anak laki, 1 wanita, maka ta'silul mas'alahnya 3. Anak laki 2 , dan anak wanita 1, jika 2 anak laki , maka ta'silul mas'alah (selanjutnya di sebut TM-penulis Sukpandiar Idris) adalah 5, anak laki 4 dan anak wanita 1, dan seterusnya.

2. Jika ahli waris ashabul furudh ( telah ditentukan bagiannya oleh syariat Quran, Sunnah Rosulullah Shallallah 'Alaihi wasallam, serta atsar sahabat dan ijma ulama) hanya seorang yang lain ashabah, maka TM nya angka yang ada..Misal Pewaris meninggalkan 1 istri dan 1 anak laki. Maka angka TM nya 8. Karena istri Ashabul furud 1/8 sisanya untuk anak laki 7 bagian, sementara istri 1 bagian. Ingat-ingat note kemarin bagain istri bila pewaris punya anak  bagiannya 1/8.

3. Jika ahli waris yang mendapatkan ashabul furudh lebih dari 1, atau ditambah ashabah, maka dilihat angka pecahan setiap ahli waris yaitu : 1/2, 1/4, 1/6, 1/8, 1/3, 2/3.

3a. Jika sama  angka pecahannya misal 1/4, maka TMnya di ambil salah satu yakni 4.
3b. Jika pecahannya satu sama lain saling memasuki maka TM nya angka yang besar, misal 1/2 , 1/6 maka TM nya 6 > 1/6 dari 6 =1, 1/2 dari 6 = 3,
3.c.Jika pecahan satu sama lain bersepakat, maka TM nya salah satu angka yang paling kecil yang bisa di bagi dengan yang lain Misal:  1/6 dan 1/8 maka TM nya 24  ,
3.d. Jika pecahan satu sama lain kontradikktif, maka TM nya sebagian angkanya dikalikan dengan angka lainnya. Misal angka 2/3, 1/4, maka TM nya 4 x 3 = 12.

4. Jika sulit memahami 3a-3d, maka bisa memilih salah satu  dari angka: 2, 3, 4, 6, 8, 12, 24 untuk dijadikan angka pedoman yang bisa di bagi dengan pecahan suku-suku bagian ahli waris dengan hasil yang bulat. Misal> Fulan dapat 2/3, upik  1/4, maka angka pokok yang bisa dibagi keduanya bukan 8 tetapi 12. Dan seterusnya selamat mencoba!.

Aplikasi yang praktis:
Pewaris meninggalkan harta 120.000.000, ahli warisnya Istri dapat 1/4, Ibu dapat 1/3, satu lagi ada pamannya berarti ia ashabah ( Sisa), maka:
Istri mendapat 1/4 dari 12=3> 1/4 dari 120.000.000= 30.000.000,-
Ibu 1/3 dari 12 = 4 , maka 1/3 dari 120.000.000,-     = 40.000.000,-
Paman  sisanya >                                                         = 50.000.000,-

Ketika ada Perbedaan antara Suku Bagian dengan TM

1. Bila bagian tertentu telah di bagikan kepada yang berhak dan tak ada ashabah, ternyata harta waris masih sisa, maka sisa tersebut di kembalikan kepada ahli waris selain suami dan istri. Contoh Pewaris meninggalkan suami dan 1 orang anak wanita, TM nya 4, yaitu suami mendapat 1/4=1 dan anak wanita mendapat 1/2 = 2. ada sisa 1 bagian di berikan kepada anak wanita.

2. Jika suku bagian ahli waris melebih TM nya, maka di tambah (aul)
Contoh Pewaris meninggalkan suami dan 2 saudari selain Ibu. Suami mendapat 1/2 dan saudari 2/3, maka TM nya 6, suami mendapat 3 bagian, saudari 4 bagian , berarti kurang 1, maka TM nya harus di tambah 1  hingga menjadi 7.

3. Jika suku bagian ahli waris kurang dari TM nya, maka di berikan kepada ahli warisnya selain suami istri, namanya > radd . CONTOH>  PEWAris meninggalkan istri dan seorang anak wanita. Istri mendapatkan 1/8, 1 anak wanita dapat 1/2 bagian, TM nya 8, istri dapat 1 bagian, satu anak wanita dapat 4 bagian  (1/2 dari 8- penulis Abu Hada), sisa 3 untuk anak wanita tadi

4. Bila suku bagian ahli waris sama pembagiannya dengan TM nya disebut > al'adalah.
CONTOHNYA: > Pewaris  meninggalkan suami dan  1 saudari wanita. Suami dapat 1/2, saudari  1 wanita juga  dapat 1/2, maka ya fifty-fifty, bagito alias bagi roto (jawa), bagi rato (kata wong Palembang).

Nah, sekarang bila pada waktu pembagian waris terdapat anggota keluarga ahli waris yang hadir dan bukan termasuk ahli waris, seperti bibi/ tante/ buk le'/ mak cik/ bi cik, anak yatim , faqir miskin, hendaknya di beri semacam hadiah dari harta waris tadi, dalilnya:
Dan apabila ketika pembagian itu hadir keluarga, anak yatim,  dan orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu (sekadarnya) dan ucapkanlah kepada mereka dengan perkataan yang baik." (An-Nisa': 8).

Lebih mudah bukan ?

Cikarang Barat, 7 Muharom 1432 H / 12 Desember 2010 Jam 01.54 WIB,
Penuntut Ilmu dan Advokat. Melayani Advokasi Se -Indonesia.CP.0811195824

Abu Hada Sukpandiar Ibnu Muhammad Idris Al-Palimbany

Rincian Pembagian Waris (Hukum Waris Islam 8)


Rincian Pembagian bagian (Hukum Waris Islam 7)

oleh Sukpandiar Idris Advokat Assalafy pada 11 Desember 2010 jam 1:00
Berikut tulisan ini barangkali akan memudahkan antum  ringkasan rincian pembagian harta waris yang ana nukil dari tulisan Ustadz ana Aunur Rofiq Ghufron di Majalah As-Sunnah tahun IX 1426/2005 M dengan sedikit perubahan urutan kerabat yang utama ahli waris khususnya pihak lelaki, serta redaksionalnya ana sesuaikan agar mudah di fahami.

Kerabat Lelaki yang berhak menerima:

1. Anak lelaki
2. Suami (dalam majalah As-Sunnah ada di no.10.(-Penulis Sukpandiar Idris )
3.Cucu lelaki dari anak lelaki
4. Bapak
5. Kakek dari Bapaknya Bapak
6. Saudara lelaki sekandung
7. Saudara lelaki se Bapak
8. Saudara lelaki se-Ibu
9. Keponakan dari saudara lelaki sekandung
10. Sepupu dari paman/wak se Bapak
11. Paman Sekandung (se Ibu-penulis Abu Hada)
12.Paman se Bapak
13. Anak dri paman lelaki sekandung
14. Anak dari Paman lelaki se Bapak
15.Lelaki yang Memerdekakan budak
(Selain di atas seperti paman dari pihak Ibu, sepupu se-ibu, paman se-ibu dan lainnya dari pihak Ibu tak mendapat waris).

Rincian Ahli waris wanita:
1. Anak Wanita
2. Isteri ( di As-Sunnah no.10)
3. Cucu wanita dari anak lelaki
4. Ibu
5. Nenek dari sebelah Ibu
6. Nenek dari Sebelah Bapak
7. Nenek/ Ibunya Kakek
8. Nenek dari Ibunya Bapak
9. Saudari Sekandung
10. Saudari se Ibu (sepupu- Sukpandiar idris)
11.  Wanita yang memerdekakan budak, selebihnya seperti bibi dari sebelah ibu dll tidak berhak mendapat waris.

Penting:
1.Bila ahli waris lelaki berjumlah 15 semuanya hidup, maka yang berhak hanya > Bapak, anak dan suami yang lain terhalang.

2. Bila ahli waris wanita semuanya hidup yang berhak hanya> anak wanita, cucu wanita dari anak lelaki, ibu, isteri dan saudara sekandung,

3. Bila semua ahli waris lelaki dan wanitanya hidup yang berhak hanya> Bapak, anak, suami atau istri, anak wanita atau Ibu.

Bagian Anak Lelaki
1>mendapat ashabah (semua harta waris ), bila ia sendirian 
2> Mendapat ashabah dan di bagi sama bila berjumlah 2 atau lebih
3> Mendapat ashabah atau sisa , bila ada waris lain
4> Jika pewaris punya anak laki dan wanita, maka anak lelaki mendapat 2 bagian dari anak wanita.

Bagian Ayah
1.> Mendapat 1/6, nila pewaris punya anak laki atau cucu laki
2.> Mendapat ashabah, jika tidak ada anak laki atau cucu laki. Misal pewaris meninggalkan ayah dan suami.  Suami mendapat 1/2 dari peninggalan istrinya, bapak dapat sisanya,
3.> Mendapat 1/6 plus ashabah, jika hanya ada anak wanita atau cucu wanita dari anak laki. Misal pewaris meninggalkan ayah dan 1 anak wanita. > maka satu anak wanita mendapat 1/2, ayah 1/6 plus ashabah.

Bagian Kakek
1.> Mendapat 1/6, bila ada anak laki atau cucu laki dan tidak ada ayah
2.> Mendapat ashabah, bila sendirian menjadi ahli waris
3.> Mendapat ashabah setelah diambil ahli waris lain. Misalnya si Pewaris meninggalkan kakek dan suami. > suami mendapat 1/2, lebihnya untuk kakek,
4.> Mendapat 1/6 dan ashabah, bila ada anak wanita atau cucu wanita dari anak laki. Misal pewaris meninggalkan kakek dan seorang anak wanita. Maka anak wanita mendapat 1/2, kakek 1/6 di tambah ashabah.

Bagian Suami
1.> Mendapat 1/2 bila istri seorang diri
2.> Mendapat 1/4, nila istri meninggalkan anak atau cucu.Misal istri mati meninggalkan 1 laki, 1 wanita dan suami. Mka suami mendapat 1/4 , sisanya untuk 2 orang anak.

Bagian Anak wanita
1.> Mendapat 1/2, jika ia seorang diri
2.> Mendapat 2/3,bila jumlahnya 2 atau lebih dan tak ada anak laki
3.> Mendapat sisa, nila bersama anak laki.

Bagian Cucu dari anak laki
1. Mendapat 1/2 jika sendirian
2. Mendapat 2/3, jika jumlahnya 2 atau lebih
3. Mendapat 1/6 jika ada satu anak wanita
4. Mendapat ashabah bersama cucu laki, jika tak punya anak laki.

Bagian Istri
1. Mendapat 1/4 jika tidak ada anak atau cucu
2. Mendapat 1/8, jika  ada anak atau cucu
3. Bagian 1/4 atau 1/8 di bagi rata, jika istri lebih dari 1

Bagian Ibu
1. 1/6 bila ada anak dan cucu
2. 1/6 bila ada saudara atau saudari
3. dapat 1/3 bila hanya dia dan bapak
4. 1/3 dari sisa setelah suami mengambil bagiannya, jika bersama Ibu ada ahli waris lain yaitu bapak dan suami. maka suami 1/2, Ibu 1/3 dari sisa, Bapak sisanya
5. 1/3 setelah di ambil bagian istri, jika bersama Ibu ada ahli waris lain yaitu Bapak dan Istri. Maka Istri mendapat 1/4, Ibu 1/3 dari sisa, bapak mendapat sisa.

Bagian Nenek
1. Tidak mendapat warisan , bila pewaris meninggalkan Ibu, seperti Kakek tidak dapat kalau masih ada Ayah.,
2. 1/6 jika seorang diri atau lebih dan yang pasti tak ada Ibu.,

Bagian Saudari Sekandung
1. 1/2 jika sendirian.,
2. Mendapat 2/3, jika jumlahnya 2 atau lebih dan tidak ada saudara sekandung, anak, bapak, kakek.,
3. Mendapat bagian ashabah jika bersama saudaranya, jika tidak anak laki, bapak yang laki dapat 2 bagian, wanita 1 bagian.,

Bagian Saudari SeBapak
1. 1/2 bila sendirian.,
2. 2/3, bila 2 ke atas, tidak ada bapak, kakek, anak dan tidak ada saudara sebapak saudara ataupu n saudari sekandung
3. 1/6 baik sendirian atau banyak, tidak ada anak, cucu bapak, kakek, tidak ada saudara sekandung dan se bapak.

Bagian Saudara SeIbu
1. Mendapat 1/6, bila sendirian, bila tidak ada anak, cucu, bapak dan kakek,
2. 1/3 jika 2 ke atas, baik dari laki atau wanita sama saja, bila tidak ada anak, cucu, bapak dan kakek tentu saja .

Komentar Sukpandiar Idris:
Bagian di atas dari sumber Quran yaitu 1/2. 1/4, 1/8., 2/3, 1/3 dan 1/6. juga dalam hadits antara lain dalam HR>Bukhori 672, silakan buka kembali Quranya terutama surat An-Nisa' ayat 11 s.d.14.

Lalu bukankah Nenek bagiannya tidak ada dalam AlQuran? jawab:

Ada seorang Nenek datang kepada sahabat Umar bin Khathab menanyakan tentang warisnya. Umar berkata bagianmu tidak tercantum dalam AlQuran, namun jatahmu 1/6. Jika berdua atau lebih maka di bagi rata, namun bila ada yang lebih dekat kepada pewaris, bagiannya untuk yang terdekat kepada pewaris.  Ini terdapat pada Imam yang 5 kecuali An-Nasa'i, dan di shahihkan oleh Imam Tirmidzi.

Duhai para sahabat, itulah atsar sahabat yang merupakan hujjah karena tidak ada bantahan dari para sahabat lainnya. Jika tidak ada fatwa sahabat Umar tentulah nenek-nenek tak dapat jatah waris!.
SEKALI LAGI ITULAH MULIANYA BERMANHAJ SALAFUS SHOLIH ( MANHAJ PARA SAHABAT), ANEHNYA ATSAR SAHABAT TENTANG HUKUM WARIS TAK ADA 1 FIRQOH PUN , KELOMPOK DI LUAR AHLUSSUNNAH YANG MENGINGKARINYA, COBA KALAU IBADAH YANG LAIN!!, WOW NGEYELNYA POL.

Cikarang Barat, 5 Muharom 1432 H / 11 Desember 2010, Jam 02.00 WIB,
Pencari Ilmu dan Advokat, CP.0811195824 Melayani Se-Indonesia

Abu Hada Sukpandiar Idris

Kapan Di Baginya Warisan?


Kapan di Baginya? (Hukum Waris Islam 6)

oleh Sukpandiar Idris Advokat Assalafy pada 10 Desember 2010 jam 0:59
Banyak orang yang ngawur membagi warisan, ada yang berlama-lama membagi waris, misalnya, Bapaknya meninggal lebih dahulu dari istri dan meninggalkan beberapa anak,. Ternyata warisan baru di bagi menunggu Ibu meninggal.Juga yang lebih batil adalah membagi waris sebelum si pewaris meninggal. Kapankah waktunya warisan di bagi menurut syariat?

1. Perawatan Jenazah
Dalilnya "Dan kafanilah dia dengan dua pakaiaannya" HR>Muttafaq 'Alaihi> maksudnya perawatan, , peralatan dan biaya penguburan diambil dari harta si mayit.

2. Hak yang berhubungan dengan Harta Waris,
Meliputi hutang , gadai, dll. Baik hutang yang berhubungan dengan hutang kepada Allah seperti hutang zakat, kafareaoh; atau yang berhubungan dengan manusia seperti hutang, pembayaran gaji pegawainya, barang yang belum di bayar dan sejenisnya. Dalilnya > "Sesudah di penuhi wasiat yang mereka buat atau sesudah di bayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat kepada ahli waris" (An-Nisa':12)

3.Setelah di Tunaikan Wasiat
Dalilnya lihat angka 2 di atas. Wasiat tidak boleh lebih dar 1/3 dari harta waris. HR.Muttafaq 'Alaihi.
"Sesungguhnya Allah telah memberikan hak kepada orang yang memiliki hak, maka tidak ada wasiat untuk ahli waris". HR.Tirmdizi, ia berkata hasan shahih.

"Tidak boleh berwasiat untuk ahli waris, kecuali atas dasar kemauan ahli waris  (semua penerima waris sepakat) itu sendiri" . > HR. Ad-Daraquthni. Di Shahikan oleh Ibnu Hajar

Bagaimanakah jika Hutang Tak mampu di Bayar?

"Jiwa ( ruh) seorang mukmin tergantung karena hutangnya, sampai terlunasi." > HR>Tirmidzi 1078, dan Abu Dawud, di shahihkan oleh Al-bany.
Nabi Shallallahu "alahi Wasallam , tidak mau menshalati orang yang masih punya hutang, baru setelah ada yang melunasinya beliau menshalati si mayit.HR>Bukhori 2295.

Ternyata harta si mayit tak cukup untuk melunasi hutangnya, bagaimanakah solusinya?

1. Bila berkaitan dengan hak manusia, maka wali atau keluarga mayit di bolehkan melunasinya,
2. Jika tak ada seorang pun yang mampu melunasinya, maka negara atau pemerintah menanggungnya yang di ambil dari baitul mal, di Indonesia BAZ > Badan Amil Zakat. Dalilnya,
Aku lebih berhak menolong kaum mukminin dari diri mereka sendiri. Jika dari seorang kalian yang meninggal, dan meninggalkan hutang maka aku ( Nabi shallallah 'Alahi Wasallam-penulis-Sukpandiar Idris) yang akan melunasinya". HR.Muttafaq 'Alaihi.

Jika hutangnya berkaitan dengan hak Allah, maka walinya lah yang menanggungnya, sebagaimana ada seorang ibu yang bernadzar haji, akan tetapi keburu wafat, maka sahabat bertanya kepada Rosulullah, apakah aku harus menghajikan untuknya? Nabi menjawab, "ua, hajikanlah untuknya. Bukankah jika Ibu mu menaggung hutang, maka kamu yang akan melunasinya? Tunaikanlah hak Allah, karena hak Allah lebih utama untuk di tunaikan. HR.Bukhori 1852.

Komentar Abu Hada

Sangat jelas tuntunan syariat apabila seorang muslim meninggal dunia, yaitu bersegera melunasi hutang si mayit, menunaikan wasiat dan lainnya, bukannya malah sibuk mengadakan "selamatan" (tahlilan, Yaasinan dll) yang justru tidak selamat. Banyak orang mengumumkan kematian si mayit, padahal seharusnya yang di umumkan adalah bila si mayit punya hutang, maka yang berpiutang silakan menghubungi wali atau keluarga si mayit untuk di lunasi.

Cikarang Barat, 4 Muharom 1432 H / 10 desember 2010 Jam 01.59 WIB,

Pencar Ilmu dan seorang Advokat,
Melayani Advokasi Se- Indonesia CP.0811195824
Abu Hada Sukpandiar Idris

Senin, 26 September 2011

Terhalang dan Penghalan Mendapat Waris


Terhalang dan Penghalang Mendapatkan Waris (Hukum Waris Islam 5)

oleh Sukpandiar Idris Advokat Assalafy pada 09 Desember 2010 jam 1:08

Ada kasus Pewaris  meninggalkan Isteri , 2 anak dan 4 cucu semuannya lelaki. Pertanyaannya a
pakah cucu lelaki tadi mendapat harta warisan?. Untuk menjawab harus di lihat dari terhalangi dan penghalangnya mendapatkan warisan. Kemarin telah di sebutkan  terhalang karena sifat, seperti murtad, membunuh pewaris dan lainnya. Sekarang karena sifat karena keberadaan ahli waris lainnya.

AHLI WARIS LELAKI

NO            TERHALANGI/MAHJUB                                         PENGHALANG/ HAJIB

01. Cucu dari anak lelaki                                                       Anak laiki-laki
02. Kakek                                                                              Bapak, atau kakek yang lebih dekat
03. Saudara Kandung                                                           Anak lelaki, cucu lelaki dari anak lelaki, bapak, kakek
04.Saudara se Ayah                                                             Anak lelaki, cucu lelaki dari anak lelaki, bapak , kakek.Saudara                                                                                              lelaki sekandung, saudari wanita sekandung bila menjadi                                                                                                       ashabah  dengan anak wanita
05.Saudara seIbu                                                           Anak lelaki atau perempuan, cucu lelaki atau wanita dari anak                                                                                              lelaki, bapak dan kakek
06.Anak Saudara Kandung                                            Anak lelaki, cucu lelaki dari anak lelaki, bapak, kakek, saudara                                                                                               kandung saudari kandung atau se Ayah jika menjadi ashabah                                                                                                bersama anak perempuan si mayit
07. Anak Saudara se Ayah                                            terhalang pada angka 6 + anak saudara kandung
08. Paman Kandung                                                       Terhalang angka 7 di + anak saudara se ayah
09. Paman se Ayah                                                        Terhalang angka 8 + paman kandung
10. Anak Paman Kandung                                              Terhalang angka 9 di + paman se ayah
11. Anak Paman se Ayah                                               Terhalang angka 8 di + anak paman kandung
12. Pemilik yang Membebaskan budak                           Semua ashabah nasabiyah


AHLI WARIS WANITA

NO.     Terhalang                                                            Penghalang

1. Cucu Wanita dari anak laki                                         Anak laik-laki; 2 anak wanita,
2. Nenek                                                                         Ibu
3. Saudari Kandung                                                        Anak lelaki, cucu lelaki dari anak lelaki, bapak dan kakek
4. Saudari se Ayah                                                         sama dengan angka 3 di +  saudara kandung; saudari kandung                                                                                            jika menjadi ashabah dengan anak wanita; 2 saudari kandung, jika                                                                                        saudari se ayah tidak memiliki saudara  
5. Saudari Se Ibu                                                            Anak lelaki atau wanita; cucu lelaki atau wanita dari anak lelaki'                                                                                            bapak dan kakek
6.  Mu'tiqah (pembebas budak)                                      Semua ashabah nasabiyah


Sumber : Pendapat para ulama yang di sarikan dari AlQuran dan hadits yang shahih.
Ashabah Nasabiyah > ahli waris yang mendapat harta waris dengan bagian yang tak ditentukan berdasarkan nasab/ keturunan. Insya Allah akan lebih jelas lagi rinciannya pada beberapa seri note hukum waris Islam ke depan.

Komentar (Sukpandiar Idris):

Menjawab paragraf di atas jelaslah cucul lelaki tadi tidak mendapat harta waris, karena ia terhalangi oleh bapaknya ( anak dari si pewaris). Dalilnya >  " Dan dzawil arhaam (orang-orang yang mempunyai hubungan darah terdekat) itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya  di dalam kitab Allah..." (Al-Anfaal:75). kita lihat ilustrasi di paragraf pertama, bukankah anak hubungan darahnya lebih dekat di bandingkan dengan cucu pewaris.

Cikarang Barat, 3 Muharom 1431 H / 9 Desember 2010 Jam 02.08 WIB,
Pencari Ilmu dan Advokat, CP 0811195824. Melayani se Indonesia


Abu Hada Sukpandiar Ibnu Muhammad Idris