Rabu, 31 Agustus 2011

Bolehkah Sholat Id di Qodho?


Bolehkah Sholat 'Id di Qodho, dan Wajibkah Musafir Sholat 'Id?

oleh Sukpandiar Idris Advokat Assalafy pada 31 Agustus 2011 jam 0:46
Banyak kaum muslim ketika dalam perjalanan dan bertepatan dengan hari Id , berhenti dan sholat id, alasannya kurang afdol. Bagaimanakah syariat mengenai hal ini?.

Imam Bukhori dalam  shahihnya, " Jika seseorang tertinggal sholat 'Id maka ia sholat 2 rokaat,demikian pula bagi wanita dan orang yang ada di rumah atau di Desa Terpencil. Dalam hal ini ada juga pendapat sholat 'Id tak bisa di qodho seperti Imam al-Muzani, ada juga yang bebas memilih mengqodhonya atau tidak seperti Imam Abu Hanifah,  Syaikh Utsaimin, Ibnu Taimiyah.  Yang rojih( Kuat-SI) adalah Imam Bukhori , karena ia bersandarkan hadits yang shahih sebagai hujjah.

Bagaimanakah dengan Musafir di Perjalanan?

Syaikh bin Baaz berkata dalam fatawanya XIII/9> Tidak di sebutkan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam atau para sahabat melaksanakan sholat 'Id di Padang Pasir atau dalam perjalanan.

Palembang, 1 Syawal 1432 H/ 31 Agustus 2011 Jam  00.46 WIB
Tukang Herbal, Cari Ilmu, n Advokat (0811195824)

sukpandiar idris advokat assalafy.blogspot.com

Selasa, 30 Agustus 2011

Bolehkah Mengkhususkan Berkunjung ke Kerabat saat Idul Fitri

Bolehkah Mengkhususkan Mengunjungi Kerabat Saat Hari Raya?

oleh Sukpandiar Idris Advokat Assalafy pada 30 Agustus 2011 jam 0:50


Berikut ini kami tuliskan beberapa jawaban para ulama mengenai permasalahan ini:
Fatwa Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad Al Badr
السائل : هنا عدة أسئلة عن زيارة الأقارب أحياء أو أمواتا يوم العيد
Pertanyaan: Syaikh, ada beberapa pertanyaan yang datang terkait tentang hukum berkunjung ke rumah para kerabat, baik yang masih hidup atau pun sudah meninggal ketika hari Idul Fitri.
Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad Al Badr hafizhahullah menjawab:
الشيخ : أما زيارة القبور في يوم العيد أو في يوم الجمعة أو تخصيص يوم معين فلا يجوز ذلك ، وأما زيارة الأقارب يوم العيد والذهاب إليهم و .. يعني الدعاء لهم فإن ذلك لا بأس به . أما تخصيص المقابر بالزيارة يوم العيد أو يوم الجمعة أو يوما معينا من الأيام بالذات ليس للإنسان أن يفعل ذلك
Ziarah kubur ketika hari ‘Id atau hari Jum’at atau mengkhususkan hari tertentu tidaklah diperbolehkan. Sedangkan mengunjungi para kerabat di hari ‘Id atau menempuh perjalanan untuk mengunjungi mereka atau.. mendoakan mereka, ini semua tidak mengapa. Adapun mengkhususkan kunjungan ke pemakaman-pemakaman di hari Ied atau hari Jum’at atau hari tertentu, tidak ada ulama yang melakukan hal ini.
[Transkrip dari rekaman suara yang bisa di-unduh di http://www.islamup.com/download.php?id=55581]
Fatwa Syaikh Muhammad bin Hadi Al Madkhali
السؤال:وهذا من الجزائر يقول: ماحكم تخصيص زيارة الأقارب والأصدقاء في يوم العيد؟
Pertanyaan: Ada pertanyaan dari Aljazair, penanya berkata: Apakah hukum mengkhususkan hari Ied untuk mengunjungi para kerabat dan teman-teman baik?
Syaikh Muhammad bin Hadi Al Madkhali hafizhahullah menjawab:
الجواب:هذا عمل طيب؛والأقارب أولى من يجب وصلهم لأنهم ذوي قرابة فهم أولى من غيرهم تبدأ بهم ثم بعد ذلك بغيرهم وهذا هو المطلوب أن يبدأ الإنسان بذوي قرابته لأنهم آكدوا حقا عليه من غيرهم فحينئذ يبرهم ثم بعد ذلك إن وجد وقتا زار إخوانه وإن حصل ذلك فرحنا
Ini perbuatan yang baik. Para kerabat adalah orang-orang yang paling wajib untuk dijalin tali silaturahimnya. Karena mereka adalah orang-orang yang memiliki qurabah (hubungan keluarga), sehingga mereka lebih layak dari yang lain untuk dijalin erat silaturahminya. Mulailah dari mereka, baru yang lain, inilah yang semestinya. Sebab lain, mereka juga memiliki hak yang lebih besar dari diri anda, dibandingkan yang lain. Maka, berbuat-baiklah kepada mereka, lalu jika ada waktu, kunjungilah mereka. Kalau memang bisa demikian, itu akan membuat kita gembira.
ولو لم وإن لم يحصل فليس هو بالسنة في ذلك وإنما يكتفي الناس ولله الحمد بالتقائهم في المصلى وبالتقائهم أيضا في المساجد في الصلوات الخمس هذا يحصل ولله الحمد كافي لا يشترط أن تذهب إلى البيت
Andaikan tidak bisa, tidak mengapa, perbuatan ini bukanlah hal yang disunnahkan. Cukup bagi anda menemui orang-orang ketika di lapangan tempat shalat ‘Id, wa lillahil hamd. Atau menemui mereka di masjid-masjid ketika shalat lima waktu, ini sudah cukup, wa lillahil hamd. Tidak disyaratkan harus mengunjungi rumah mereka.
لكن أصبح من العادات وهنا العادات ليست منافية للشرع ولم يزعموا أنها عبادة وذلك لأنه يوم فرح وسرور فلا بأس بذلك كله والله أعلم وصلى الله وسلم وبارك على عبده ورسوله نبينا محمد وعلى آله وأصحابه وأتباعه بإحسان
Perbuatan ini memang sudah menjadi tradisi, namun ini adalah tradisi yang tidak dinafikan oleh syari’at dan orang-orang yang melakukannya pun tidak menganggap ini sebagai ibadah. Perbuatan ini sebatas karena hari ‘Id adalah hari bergembira dan bersenang-senang. Maka perbuatan-perbuatan demikian itu semua tidak mengapa, wallahu’alam. Wa shallallahu wa sallama wa baarik ‘ala ‘abdihi wa rasulihi nabiyyina Muhammadin wa ‘ala aalihi wa ash-habihi wa atba’ihi bi ihsaanin.
[Transkrip dari rekaman suara yang bisa di dengarkan di http://www.sahab.net/forums/index.php?showtopic=122458]
Fatwa Syaikh Abdullah Al Faqih
هل من السنة زيارة الأقارب والأصدقاء وذلك لغرض المعايدة، وهل يعتبر ذلك تخصيصاً، لأننا سمعنا أن أحد العلماء يقول زيارة الأحياء في العيد كزيارة الأموات؟
Pertanyaan: Apakah mengunjungi saudara dan teman-teman baik dalam rangka merayakan hari ‘Id termasuk perbuatan yang disunnahkan? Apakah ini termasuk pengkhususan hari tertentu yang terlarang? Karena kami dengar ada salah seorang ulama yang mengatakan bahwa mengunjungi orang yang masih hidup sama hukumnya sebagai mana mengunjungi orang mati (ziarah kubur).
Syaikh Abdullah Al Faqih  hafizhahullah menjawab:

الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه أما بعد:
فزيارة الأقارب والأصدقاء والجيران في العيد مشروعة، جاء في الموسوعة الفقهية الكويتية:

Alhamdulillah Was Shalatu Was Salamu ‘ala Rasulillah Wa ‘ala Alihi Wa Shahbihi, Amma ba’du:
Saling berkunjung antar kerabat, tetangga dan teman dekat pada hari ‘Id adalah perbuatan yang masyru’ (memiliki landasan dalil dalam syari’at). Sebagaimana tertulis dalam Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah:
التزاور مشروع في الإسلام، وقد ورد ما يدل على مشروعية الزيارة في العيد، فقد روي عن عائشة رضي الله عنها قالت: دخل علي النبي صلى الله عليه وسلم وعندي جاريتان تغنيان بغناء بعاث، فاضطجع على الفراش وحول وجهه ودخل أبو بكر….. إلى آخر الحديث.، وموضع الشاهد فيه، وزاد في رواية هشام: يا أبا بكر إن لكل قوم عيداً وهذا عيدناً.، قال في الفتح: قوله وجاء أبو بكر: وفي رواية هشام بن عروة “دخل علي أبو بكر” وكأنه جاء زائراً لها بعد أن دخل النبي صلى الله عليه وسلم بيته.^^ انتهى.
“Saling berkunjung (antar kerabat, tetangga dan teman dekat pada hari ‘Id) adalah perbuatan yang masyru’ dalam Islam. Terdapat riwayat yang menunjukkan masyru’-nya hal tersebut, yaitu hadits yang diriwayatkan dari ‘Aisyah Radhiallahu’anha, beliau berkata: ‘Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam masuk ke rumah, ketika itu aku sedang bersama dua anak wanita yang bernyanyi dengan senandung bu’ats. Lalu beliau bersandar di tempat tidur dan wajahnya menoleh (pada dua anak wanita yang bernyanyi tadi). Kemudian datanglah Abu Bakar…‘ sampai akhir hadits. Sisi pendalilan dari hadits ini, terdapat tambahan riwayat dari Hisyam, bahwa Nabi bersabda: ‘Wahai Abu Bakar, sesungguhnya setiap kaum memiliki Id sendiri, dan hari ini adalah Id kita‘. Dalam Fathul Baari di jelaskan mengenai tambahan riwayat yang berbunyi ‘Kemudian datanglah Abu Bakar‘: ‘Seolah-olah Abu Bakar datang untuk berkunjung kepada ‘Aisyah (anaknya), beberapa saat setelah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam masuk’”. [sampai di sini nukilan dari Mausu'ah Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah]

ولا شك أن التزاور في العيد مما يقوي الصلة، ويزيل الشحناء ويقطع التدابر، ولذلك فهو عمل مسنون كان عليه السلف من الصحابة ومن بعدهم، وهو عمل المسلمين إلى يومنا هذا، ولا نعلم أن أحداً من العلماء شبه زيارة الأحياء بزيارة الأموات، ولم نفهم المراد من قولك (وهل يعتبر ذلك خصيصاً) وفي ما مضى كفاية.
والله أعلم.
Tidak ragu lagi bahwa saling berkunjung di hari Id, yang menyebabkan terjalinnya silaturahmi, berakhirnya sengketa, berakhirnya saling benci, maka ini adalah perkara yang dianjurkan dan dilakukan oleh para salaf dari kalangan sahabat dan yang setelah mereka. Ini pun merupakan kebiasaan kaum muslimin sampai hari ini. Saya tidak mengetahui ada seorang ulama yang menyamakan perbuatan ini dengan mengunjungi orang mati (ziarah kubur). Dan saya tidak paham maksud perkataan anda ‘Apakah ini termasuk pengkhususan hari tertentu yang terlarang‘. Namun saya kira, penjelasan tadi sudah mencukupi. Wallahu’alam.
Sumber: http://www.islamweb.net/ahajj/index.php?page=ShowFatwa&lang=A&Id=43305&Option=FatwaId

Akhir kata, saling berkunjung ke rumah kerabat di hari Idul Fitri adalah hal yang dibolehkan, dengan alasan berikut:
  1. Kegiatan tersebut adalah kegiatan non-ibadah. Sedangkan kegiatan non-ibadah hukum asalnya adalah mubah.
  2. Salah satu makna عِيد (‘Id) secara bahasa adalah hari yang biasanya orang-orang saling berkumpul dan saling bertemu.والعِيدُ كلُّ يوم فيه جَمْعٌ، واشتقاقه من عاد يَعُود كأَنهم عادوا إِليه؛ وقيل: اشتقاقه من العادة لأَنهم اعتادوه” ‘Id juga berarti hari yang biasanya orang-orang saling berkumpul. ‘Id berasal dari kata عاد يَعُود (mengulang) karena mereka secara rutin melakukannya (kumpul-kumpul). Sebagian ahli bahasa berpendapat, asal katanya dari العادة (kebiasaan) karena mereka biasa melakukan hal tersebut” (Lisaanul ‘Arab)
  3. Syariat menetapkan bahwa ‘Idul Fitri dan Idul Adha adalah hari bergembira ria. Sebagaimana diceritakan oleh Anas bin Malik Radhiallahu’anhu:قدم رسول الله صلى الله عليه وسلم المدينة ولهم يومان يلعبون فيهما فقال ما هذان اليومان قالوا كنا نلعب فيهما في الجاهلية فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم إن الله قد أبدلكم بهما خيرا منهما يوم الأضحى ويوم الفطر
    Di masa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam baru hijrah ke Madinah, warga Madinah memiliki dua hari raya yang biasanya di hari itu mereka bersenang-senang. Rasulullah bertanya: ‘Perayaan apakah yang dirayakan dalam dua hari ini?’. Warga madinah menjawab: ‘Pada dua hari raya ini, dahulu di masa Jahiliyyah kami biasa merayakannya dengan bersenang-senang’. Maka Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: ‘Sungguh Allah telah mengganti hari raya kalian dengan yang lebih baik, yaitu Idul Adha dan ‘Idul Fithri’ ” (HR. Abu Daud, 1134, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abi Daud, 1134)
    Dalam sebuah hadits qudsi, Allah Ta’ala berfirman:للصائم فرحتان : فرحة عند فطره ، وفرحة عند لقاء ربه
    “Orang yang berpuasa itu memiliki dua kegembiraan. Kegembiraan ketika berbuka dan kegembiraan ketika bertemu Rabb-Nya kelak” (Muttafaqun ‘alaih)
    Dan cara bergembira di hari itu tidak ditentukan oleh syariat sehingga kembali kepada ‘urf (kebiasaan) setempat. Mengunjungi kerabat adalah bentuk bersenang-senang dan bergembira karena tentunya bertemu dengan keluarga dan kerabat menimbulkan rasa sayang dan kegembiraan.
  4. Perbuatan ini memiliki dasar dari syari’at dan diamalkan oleh salaf, sebagaimana yang dijelaskan dalam Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah
  5. Memang sebagian ulama menganggap hal ini termasuk bid’ah, sebagaimana pendapat Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah (silakan baca di: http://www.ajurry.com/vb/showthread.php?t=20509). Menurut beliau, mengkhususkan hari untuk saling berkunjung kepada sesama orang yang hidup hukumnya sama seperti mengkhususkan hari untuk berkunjung ke orang mati (ziarah kubur). Sedangkan mengkhususkan hari untuk ziarah kubur adalah bid’ah. Namun pendapat ini nampaknya kurang tepat jika kita menimbang alasan-alasan di atas. Yang jelas, permasalahan ini termasuk ranah ijtihadiyyah yang semestinya kita bisa toleran terhadap pendapat yang ada dari para ulama. Wallahu’alam.
Penyusun: Yulian Purnama
Artikel www.muslim.or.id

Kesimpulan AHSI

Jika berkunjung ke kerabat saat 'Id sebagai suatu kebiasaan dan menganggapnya muamalah, bukan ibadah, maka boleh, akan tetapi menganggapnya suatu 'ibadah, maka ia butuh dalil lagi . wallallahu  'alam

Cikarang Barat, 30 Ramadhan 1432 H/30 Agustus 2011 Jam 00.50  WIB
Tukang Cari Ilmu, Herbalis  n Advokat (0811195824)

sukpandiar idris advokat assalafy.blogspot.com

Bolehkah Jabat Tangan Setelah Sholat Id

Bolehkah Jabat Tangan di Saat 'Idul Fithri?

oleh Sukpandiar Idris Advokat Assalafy pada 29 Agustus 2011 jam 0:36
Dari al-Bara’ bin ‘Azib radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا مِنْ مُسْلِمَيْنِ يَلْتَقِيَانِ فَيَتَصَافَحَانِ إِلاَّ غُفِرَ لَهُمَا قَبْلَ أَنْ يَفْتَرِقَا
“Tidaklah dua orang muslim saling bertemu kemudian berjabat tangan, kecuali akan diampuni (dosa-dosa) mereka berdua sebelum mereka berpisah.“[1]
Hadits yang mulia ini menunjukkan keutamaan berjabat tangan ketika bertemu, dan ini merupakan perkara yang dianjurkan berdasarkan kesepakatan para ulama[2], bahkan ini merupakan sunnah yang muakkad (sangat ditekankan)[3].
Faidah-Faidah Penting yang Terkandung Dalam Hadits:
Arti mushaafahah (berjabat tangan) dalam hadits ini adalah berjabat tangan dengan satu tangan, yaitu tangan kanan, dari kedua belah pihak[4]. Cara berjabat tangan seperti ini diterangkan dalam banyak hadits yang shahih, dan inilah arti “berjabat tangan” secara bahasa[5]. Adapun melakukan jabat tangan dengan dua tangan adalah cara yang menyelisihi sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam[6].
Berjabat tangan juga disunnahkan ketika berpisah, berdasarkan sebuah hadits yang dikuatkan oleh syaikh al-Albani[7]. Maka pendapat yang mengatakan bahwa berjabat tangan ketika berpisah tidak disyariatkan adalah pendapat yang tidak memiliki dalil/argumentasi. Meskipun jelas anjurannya tidak sekuat anjuran berjabat tangan ketika bertemu[8].
Berjabat tangan adalah ibadah yang disyari’atkan ketika bertemu dan berpisah, maka melakukannya di selain kedua waktu tersebut, misalnya setelah shalat lima waktu, adalah menyelisihi ajaran Nabi, bahkan sebagian ulama menghukuminya sebagai perbuatan bid’ah[9]. Di antara para ulama yang melarang perbuatan tersebut adalah al-’Izz bin ‘Abdussalam, Ibnu Hajar al-Haitami asy-Syafi’i, Quthbuddin bin ‘Ala-uddin al-Makki al-Hanafi, al-Laknawi dan lain-lain[10].
Adapun berjabat tangan setelah shalat bagi dua orang yang baru bertemu pada waktu itu (setelah shalat lima waktu, pen), maka ini dianjurkan, karena niat keduanya adalah berjabat tangan karena bertemu dan bukan karena shalat[11].

Mencium tangan seorang guru/ustadz ketika bertemu dengannya adalah diperbolehkan, berdasarkan beberapa hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan perbuatan beberapa orang sahabat radhiyallahu ‘anhum. Akan tetapi kebolehan tersebut harus memenuhi beberapa syarat, yaitu:
(a) Tidak menjadikan hal itu sebagai kebiasaan, karena para sahabat radhiyallahu ‘anhum sendiri tidak sering melakukannya kepada Rasuluillah shallallahu ‘alaihi wa sallam, terlebih lagi jika hal itu dilakukan untuk tujuan mencari berkah dengan mencium tangan sang guru.
(b) Perbuatan itu tidak menjadikan sang guru menjadi sombong dan merasa dirinya besar di hadapan orang lain, seperti yang sering terjadi saat ini.
(c) Jangan sampai hal itu menjadikan kita meninggalkan sunnah yang lebih utama dan lebih dianjurkan ketika bertemu, yaitu berjabat tangan, sebagaimana keterangan di atas[12].
***

Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, M.A.
Artikel www.muslim.or.id
[1] HR Abu Dawud (no. 5212), at-Tirmidzi (no. 2727), Ibnu Majah (no. 3703) dan Ahmad (4/289), dinyatakan shahih oleh syaikh al-Albani dengan berbagai jalur dan pendukungnya dalam kitab Silasilatul Ahaaditsish Shahiihah (no. 525).
[2] Lihat Syarh Shahih Muslim (17/101) dan Fathul Baari (11/55).
[3] Lihat kitab Faidhul Qadiir (5/499).
[4] Lihat kitab Tuhfatul ahwadzi (7/429) dan ‘Aunul Ma’bud (14/80).
[5] Lihat kitab Lisanul ‘Arab (2/512).
[6] Lihat kitab Silasilatul Ahaaditsish Shahiihah (1/51-52).
[7] Dalam Silasilatul Ahaaditsish Shahiihah (1/48).
[8] Ibid (1/52-53).
[9] Seperti al-Fadhil ar-Ruumi, al-Laknawi dan syaikh al-Albani.
[10] Lihat nukilan ucapan mereka dalam kitab al-Qaulul Mubin fi Akhtha-il Mushallin (hal. 294-296).
[11] Lihat Silasilatul Ahaaditsish Shahiihah (1/53).
[12] Lihat Silasilatul Ahaaditsish Shahiihah (1/302).

Bagaimanakah Mengkhususkannya Di saat 'Idul Fithri ?

Jelas hukumnya bid'ah, karena hukum berjabat tangan adalah ketika berjumpa dan berpisah, untuk Idul Fithri maka butuh dalil khusus lagi.

Jika kita di ajak salaman habis sholat Id atau masih bulan Syawal?

Jawab, jika terpaksa niatkan saja hal tersebut sebagai perjumpaan atau mau berpisah selepas sholat atau ziaroh.
Selesa

Palembang, 29 Ramadhan 1432 H / 29 Agustus 2011 Jam 00.36  WIB,
Tukang Cari Ilmu, Herbalis, Advokat ( PH;0811195824)

Sukpandiar Idris Advokat Assalafy.blogspot.com

Hikmah Jalan Berbeda Menuju Sholat Id

Hikmah Jalan yang Berbeda Menuju Sholat 'Ied

oleh Sukpandiar Idris Advokat Assalafy pada 28 Agustus 2011 jam 0:58
Jangan sembarang lho ketika hendak menuju mushollah tanah lapang untuk sholat 'Ied, ikuti petunjuk Rosulullah shallallahu 'alaihi wasallam beriku ini.


Petunjuk Nabi Dalam Shalat ‘Ied

  1. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa melaksanakan shalat ‘ied di tanah lapang. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah menunaikan shalatnya di masjid kecuali sekali saja, yaitu karena hujan.
  2. Pada saat hari Raya ‘Idul Fitri, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenakan pakaian terbaik (terindah).
  3. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa makan kurma -dengan jumlah ganjil- sebelum pergi melaksanakan shalat ‘ied. Tetapi pada ‘Idul Adha beliau tidak makan terlebih dahulu sampai beliau pulang, setelah itu baru beliau memakan sebagian daging binatang sembelihannya.
  4. Dianjurkan untuk mandi sebelum pada hari ‘ied sebelum ke tanah lapang, sebagaimana hal ini dilakukan oleh Ibnu Umar yang dikenal semangat mengikuti sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
  5. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berjalan (menuju tanah lapang) sambil berjalan kaki. Beliau biasa membawa sebuah tombak kecil. Jika sampai di tanah lapang, beliau menancapkan tombak tersebut dan shalat menghadapnya (sebagai sutroh atau pembatas ketika shalat).
  6. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengakhirkan shalat ‘Idul Fitri (agar kaum muslimin memiliki kesempatan untuk membagikan zakat fitrinya) dan mempercepat pelaksanaan shalat ‘Idul Adha (supaya kaum muslimin bisa segera menyembelih binatang kurbannya).
  7. Ibnu ‘Umar yang dikenal sangat meneladani Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah keluar menuju lapangan kecuali setelah matahari terbit, lalu beliau bertakbir dari rumahnya hingga ke tanah lapang.
  8. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika sampai di tanah lapang langsung menunaikan shalat tanpa ada adzan dan iqomah. Tidak ada juga ucapan, ‘Ash Sholatul Jami’ah‘. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dan juga sahabatnya tidak menunaikan shalat sebelum (qobliyah) dan sesudah (ba’diyah) shalat ‘ied.
  9. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan shalat ‘ied dua raka’at terlebih dahulu kemudian berkhutbah. Pada rakaat pertama beliau bertakbir 7 kali berturut-turut setelah Takbiratul Ihram, dan berhenti sebentar di antara tiap takbir. Tidak disebutkan bacaan dzikir tertentu yang dibaca saat itu. Hanya saja ada riwayat dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu bahwa bacaan ketika itu adalah berisi pujian dan sanjungan kepada Allah ta’ala serta bershalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan diriwayatkan pula bahwa Ibnu Umar (yang dikenal semangat dalam mencontoh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam)mengangkat kedua tangannya pada setiap takbir.
  10. Setelah bertakbir, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca surat Al-Fatihah dan surat “Qaf” pada raka’at pertama serta surat “Al-Qamar” pada raka’at kedua. Kadang-kadang beliau membaca surat “Al-A’la” pada raka’at pertama dan “Al-Ghasyiyah” pada raka’at kedua. Kemudian beliau bertakbir lalu ruku’ dilanjutkan takbir 5 kali pada raka’at kedua lalu membaca Al-Fatihah dan surat lainnya.
  11. Setelah menunaikan shalat, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menghadap ke arah jamaah, sedang mereka tetap duduk di shaf masing-masing. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan khutbah yang berisi wejangan, anjuran dan larangan.
  12. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah di tanah dan tidak ada mimbar ketika beliau berkhutbah.
  13. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa memulai khutbahnya dengan ‘Alhamdulillah…‘ dan tidak terdapat dalam satu hadits pun yang menyebutkan beliau memulai khutbah ‘ied dengan bacaan takbir. Hanya saja dalam khutbahnya, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memperbanyak bacaan takbir.
  14. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi keringanan kepada jamaah untuk tidak mendengar khutbah.
  15. Diperbolehkan bagi kaum muslimin, jika ‘ied bertepatan dengan hari Jum’at untuk mencukupkan diri dengan shalat ‘ied saja dan tidak menghadiri shalat Jum’at.
  16. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu melalui jalan yang berbeda ketika berangkat dan pulang (dari shalat) ‘ied.
Pembahasan ini disarikan dari kitab Zadul Ma’ad, Ibnul Qayyim al-Jauziyyah
***

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Muroja’ah: Ustadz Aris Munandar
Artikel www.muslimah.or.id

Hikmah Jalan yang berbeda:

1. Supaya ke jalan tersebut jadi saksi baginya
2. Agar penghuni di ke2 jalan tersebut menjadi saksi,
3. Menampakkan syiar  Islam,
4. Membuat marah musuh Islam -sewot gitu lho-SI.,dll.
5. Mengurangi kepadatn di jalan jika cuma 1 jalan, sumber> Fathul Baari:II:473

Palembang, 28 Ramadhan1432 H/ 28 Agustus 2011 Jam 00.58 WIB
Tukang : Mau Cari Ilmu, Bekam, Jual Buku Islam, dan Advokat (0811195824)

ABU HADA SUKPANDIAR IBNU MUHAMMAD IDRIS

Puasa Ketika safar Bisa Bid'ah lho

Puasa Ketika Safar, Bisa Bid'ah Lho!

oleh Sukpandiar Idris Advokat Assalafy pada 27 Agustus 2011 jam 4:30
Asy-Syaikh ‘Abdullah Alu Bassam dalam kitabnya Taisirul ‘Allam Syarh ‘Umdatil Ahkam menyebutkan muqaddimah bab ini, beliau mengatakan:

Syari’at ini datang dengan hukum-hukum yang sangat mudah dan ringan, sebagai realisasi dari firman Allah subhanahu wata’ala:

وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ.

“Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” (Al-Hajj: 78).

Begitu pula Allah subhanahu wata’ala berfirman dalam ayat-Nya yang lain:

يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (Al-Baqarah: 185).

Karena bepergian (safar) itu pada umumnya terdapat padanya kesukaran (rasa berat) dan kesulitan, serta merupakan sebagian dari adzab, maka hal-hal yang berkaitan dengannya diringankan, di antaranya dibolehkan berbuka di siang hari (tidak berpuasa) pada bulan Ramadhan, ini adalah rukhshah (keringanan) yang disunnahkan, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

ليس من البر الصيام في السفر

“Puasa ketika bepergian itu tidak termasuk kebaikan.”

Keringanan ini umum, mencakup bepergian yang memayahkan ataupun bepergian yang santai (menyenangkan) karena hukum ini berdasarkan keumumannya.

Dengan hukum yang lunak seperti ini, kita mengetahui betapa perhatiannya syari’at yang mulia ini dalam memberikan keringanan, kasih sayang, kesesuaian waktu dan keadaan, serta menuntut (membebani kewajiban) kepada manusia sesuai dengan kemampuan mereka.

Kami rela Allah sebagai Rabb kami, Islam sebagai agama kami, dan Muhammad sebagai Nabi kami.

Hadits ke-181

عَنْ عَائِشَةَ رضي الله عنها : (( أَنَّ حَمْزَةَ بْنَ عَمْرٍو الأَسْلَمِيَّ قَالَ لِلنَّبِيِّ - صلى الله عليه وسلم - : أَأَصُومُ فِي السَّفَرِ ؟ - وَكَانَ كَثِيرَ الصِّيَامِ - فَقَالَ : إنْ شِئْتَ فَصُمْ وَإِنْ شِئْتَ فَأَفْطِرْ ))

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha -istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam- bahwa Hamzah bin ‘Amr Al-Aslami berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam: ‘Apakah saya boleh berpuasa ketika bepergian (safar)?’ (Dan dia adalah orang yang sering puasa). Maka beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Kalau engkau mau berpuasalah, dan kalau engkau mau berbukalah tidak berpuasa’.”

Dalam riwayat ini diterangkan bahwa shahabat Hamzah bin ‘Amr Al-Aslami adalah orang yang cinta kebaikan dan banyak berpuasa, dan beliau adalah orang yang mempunyai fisik kuat, beliau bertanya kepada Rasulullah apakah boleh berpuasa dalam bepergian, maka beliau shallallahu ‘alaihi wasallam mempersilahkan untuk memilih antara berpuasa dan berbuka.

Pilihan untuk berpuasa atau berbuka bagi yang memiliki kekuatan melakukan puasa, yang dimaksud dengan puasa di sini adalah puasa Ramadhan. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam riwayat yang dikeluarkan oleh Abu Dawud dan Al-Hakim bahwa Hamzah bin ‘Amr Al-Aslami berkata:

يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّى صَاحِبُ ظَهْرٍ أُعَالِجُهُ أُسَافِرُ عَلَيْهِ وَأَكْرِيهِ وَإِنَّهُ رُبَّمَا صَادَفَنِى هَذَا الشَّهْرُ - يَعْنِى رَمَضَانَ - وَأَنَا أَجِدُ الْقُوَّةَ وَأَنَا شَابٌّ وَأَجِدُ بِأَنْ أَصُومَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَهْوَنَ عَلَىَّ مِنْ أَنْ أُؤَخِّرَهُ فَيَكُونَ دَيْنًا أَفَأَصُومُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَعْظَمُ لأَجْرِى أَوْ أُفْطِرُ قَالَ « أَىُّ ذَلِكَ شِئْتَ يَا حَمْزَةُ »

“Wahai Rasulullah, saya sering bepergian dengan jarak yang panjang, terkadang sampai bertepatan dengan bulan Ramadhan, sedangkan saya punya kekuatan untuk mengerjakannya, dan saya adalah seorang pemuda yang saya merasa lebih ringan untuk berpuasa saat itu daripada saya tunda sebagai hutang. Apakah kalau berpuasa wahai Rasulullah itu lebih besar pahalanya bagiku ataukah berbuka.” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Terserah mana yang kau suka wahai Hamzah.”

Masih dalam pembahasan Bab Puasa Ketika Safar dari Kitab ‘Umdatul Ahkam, kali ini Al-Ustadz Ruwaifi’ menjelasakan rincian perbedaan pendapat para ulama tentang hukum berpuasa ketika safar. Hadits yang ke-182, 183, dan 184 dari kitab ini merupakan hadits-hadits yang kandungan maknanya secara zhahir saling bertentangan, sehingga dari sinilah para ulama -dengan ijtihad mereka- berbeda pendapat dalam beristinbath (menyimpulkan hukum) dalam permasalahan ini.

Hadits ke-182

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ - رضي الله عنه - قَالَ : (( كُنَّا نُسَافِرُ مَعَ النَّبِيِّ - صلى الله عليه وسلم - فَلَمْ يَعِبِ الصَّائِمُ عَلَى الْمُفْطِرِ . وَلا الْمُفْطِرُ عَلَى الصَّائِمِ )).

“Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: ‘Kami bepergian bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka orang yang berpuasa tidak mencela orang yang tidak berpuasa dan orang yang tidak berpuasa tidak mencela orang yang berpuasa.”

Faidah dari hadits ini:

1. Diizinkan untuk tidak berpuasa ketika bepergian.

2. Diamnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada shahabat yang tidak berpuasa atau yang puasa ketika safar, menunjukkan boleh memilih dari dua perkara tersebut, yaitu puasa atau tidak puasa, tetapi bagi yang tidak berpuasa harus mengqadha’nya di hari yang lain

Hadits ke-183

عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ - رضي الله عنه - قَالَ : (( خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - فِي شَهْرِ رَمَضَانَ . فِي حَرٍّ شَدِيدٍ , حَتَّى إنْ كَانَ أَحَدُنَا لَيَضَعُ يَدَهُ عَلَى رَأْسِهِ مِنْ شِدَّةِ الْحَرِّ . وَمَا فِينَا صَائِمٌ إلاَّ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ رَوَاحَةَ )).

“Dari Abud Darda’ radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: kami pernah keluar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada bulan Ramadhan yang udaranya sangat panas, sehingga salah satu dari kami meletakkan tangannya di atas kepala untuk melindungi dari terik matahari, dan tidak ada di antara kami yang berpuasa kecuali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan Abdullah bin Rawahah.”

Faidah dari hadits ini:

Bahwa dalam keadaan panas pun ketika safar, tetap diperbolehkan puasa asalkan tidak memudharatkannya.

Hadits ke-184

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ رضي الله عنهما قَالَ : (( كَانَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - فِي سَفَرٍ . فَرَأَى زِحَاماً وَرَجُلاً قَدْ ظُلِّلَ عَلَيْهِ , فَقَالَ : مَا هَذَا ؟ قَالُوا : صَائِمٌ . قَالَ : لَيْسَ مِنْ الْبِرِّ الصِّيَامُ فِي السَّفَرِ )).

“Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam suatu perjalanan pernah melihat sekumpulan orang dan seorang di antaranya dibawa ke tempat teduh, maka beliau shallallahu ‘alaihi wasallam berkata: Apa ini? orang-orang mengatakan bahwa dia sedang berpuasa, maka beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Bukan suatu kebaikan jika berpuasa di waktu bepergian.”

Dalam hadits ini dijelaskan bahwa berpuasa ketika safar merupakan amalan yang tidak baik, padahal dalam hadits yang lain, diberikan pilihan, boleh berpuasa dan boleh tidak. Bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri pernah berpuasa ketika safar, bagaimana menyikapi hadits-hadits tersebut?

Para ulama berbeda pendapat dalam permasalahan ini

1. Pendapat pertama menyatakan bahwa tidak sah berpuasa dalam keadaan safar.

2. Pendapat kedua adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama, menyatakan bolehnya memilih puasa atau berbuka bagi orang yang safar.

Pendapat pertama berdalil dengan:

1. Firman Allah subhanahu wata’ala:

فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ.

“Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (Al-Baqarah: 185)

Makna ayat ini adalah bahwa Allah ‘azza wajalla tidak mewajibkan puasa kecuali kepada orang-orang yang berada di tempat tinggalnya (tidak safar). Adapun bagi orang yang sakit dan safar, Allah subhanahu wata’ala wajibkan mereka untuk berpuasa di hari-hari yang lain.

2. Hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim rahimahullah, dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhuma,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- خَرَجَ عَامَ الْفَتْحِ إِلَى مَكَّةَ فِى رَمَضَانَ فَصَامَ حَتَّى بَلَغَ كُرَاعَ الْغَمِيمِ فَصَامَ النَّاسُ ثُمَّ دَعَا بِقَدَحٍ مِنْ مَاءٍ فَرَفَعَهُ حَتَّى نَظَرَ النَّاسُ إِلَيْهِ ثُمَّ شَرِبَ فَقِيلَ لَهُ بَعْدَ ذَلِكَ إِنَّ بَعْضَ النَّاسِ قَدْ صَامَ فَقَالَ « أُولَئِكَ الْعُصَاةُ أُولَئِكَ الْعُصَاةُ ».

“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam keluar pada waktu Fathu Makkah di bulan Ramadhan. Beliau berpuasa hingga tiba di Kura’ Al-Ghamim, maka orang-orang pun ikut berpuasa. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menyuruh supaya diambilkan semangkuk air minum, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam mengangkatnya hingga terlihat oleh orang-orang dan kemudian meminumnya. Setelah itu disampaikan kepada beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa masih ada sebagian orang yang berpuasa, maka beliau pun bersabda: “Mereka orang-orang yang membangkang, mereka orang-orang yang membangkang.”

3. Hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لَيْسَ مِنْ الْبِرِّ الصِّيَامُ فِي السَّفَرِ.

“Bukanlah suatu kebaikan jika berpuasa pada waktu safar.”

Adapun pendapat kedua (pendapat jumhur ulama) berdalil dengan:

1. Hadits dari shahabat Hamzah bin ‘Amr Al-Aslami radhiyallahu ‘anhu, hadits yang sudah kita bahas sebelum ini.

2. Hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, juga sudah disebutkan (hadits ke-182).

3. Hadits Abud Darda radhiyallahu ‘anhu yang juga sudah disebutkan di atas (hadits ke-183).

Dalil yang digunakan oleh pendapat pertama telah dibantah oleh jumhur ulama dengan bantahan sebgai berikut:

1. Ayat tersebut sudah turun, tetapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam masih berpuasa ketika safar dan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam adalah orang yang paling mengerti makna ayat tersebut, sehingga pendalilan yang dipakai oleh pendapat pertama terhadap ayat ini adalah kurang tepat. Juga maksud ayat tersebut adalah orang yang dalam perjalanan atau sakit dan mereka berbuka, maka wajib mengganti, adapun yang tetap puasa maka tidak wajib mengganti di hari yang lain.

2. Adapun sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam: “Mereka orang-orang yang membangkang.” Ini berlaku khusus bagi orang yang sebenarnya berat baginya untuk berpuasa namun dia masih tetap berpuasa, mereka dikatakan membangkang bukan karena puasa yang mereka kerjakan, akan tetapi karena tidak mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam masalah ini yakni berbuka, padahal keadaan mereka sangat lemah, sehingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberi contoh kepada mereka untuk berbuka karena dikhawatirkan mereka akan mengira bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam selalu berpuasa ketika safar.

3. Adapun hadits: “Bukanlah suatu kebaikan jika berpuasa pada waktu safar.”, maksudnya adalah bahwa berpuasa ketika safar itu bukanlah termasuk kebaikan yang dianjurkan untuk saling berlomba-lomba melakukannya. Bahkan, terkadang berbuka itu lebih utama daripada berpuasa apabila puasanya itu akan menyebabkan kesulitan (rasa berat) atau bila berbuka itu bisa membantu persiapan orang-orang yang hendak berjihad. Allah subhanahu wata’ala senang jika ada seseorang yang mengambil (melaksanakan) rukhshah (keringanan)-Nya sebagaimana Dia subhanahu wata’ala membenci orang yang melakukan kemaksiatan kepada-Nya.

Pendapat jumhur ulama adalah pendapat yang lebih rajih (kuat), wallahu a’lam.

(Sumber http://www.assalafy.org/mahad/?p=432 & http://www.assalafy.org/mahad/?p=467)

Bisa Bid'ah

Puasa Ketika Safar/mudik bisa bid'ah juga lho, ya syaratnya menganggap puasa tersebut lebih afdol/ lebih nyunnah-SI, merasa rugi jika tidak puasa ketika safar.

Palembang, 27 Ramadhan1432 H/ 27 Agustus 2011 Jam 04.30 WIB
Tukang : Mau Cari Ilmu, Bekam, Jual Buku Islam, dan Advokat (0811195824)

ABU HADA SUKPANDIAR IBNU MUHAMMAD IDRIS

Sabtu, 27 Agustus 2011

Kiat Melawan Syeiton di Pasar (Jelang Lebaran)

Kiat Melawan Syeiton di Pasar (Jelang Lebaran)

oleh Sukpandiar Idris Advokat Assalafy pada 26 Agustus 2011 jam 9:37
Jika antum ingat ghadul Bashar ( menahan pandangan mata-SI, wahai sahabat wanitaku jangan kau pajang fotomu atau foto wanita lain atau lukisan gambar manusia/hewan di FB ini, itu menimbulkan fitnah-besar_SI), maka tak lain yang di maksud adalah menahan pandangan terhadap lawan jenis. Sebenarnya ada lagi ghadul bashar yang tak kalah bahayya, yaitu ghadul bashar harta.

Sadarkah antum, ketika fenomena kecanggihan sebuat benda, katakanlah Hand Phone ( HP, atau IPOD, atau alat komuikasi lainnya-AH) atau sekarang jelang 'idul fithri ghadul bashar yang menggoda berupa pakaian dan atau makanan , telah mengubah dunia, dari yang gak pernah kenal-, jadi kenal, tak pernah di lihat jadi bisa di lihat, belanja on lie misalnya. Fenomena ini telah mengusik  pada pandangan mata kita. Ya ketika kita melihat teman atau tetangga atau saudara kita punya HP merk "BB", hem hati kita merasa 'ngiler" tuk memilki, apalagi di tambah dengan akan bertambah gengsi jika memilkinya. Jika tak mampu beli kontan ya bisa kredit, dalam jangka waktu lama lagi, n tanpa bunga , hem!, kelihatannya tak mengapa!. Atau ketika antum belanja ( di mall atau di mana saja), melihat ada barang yang benar-benar diskon dan murah!, antum tak kuat menahan pandangan mata, akhirnya beli juga tuh barang padahal sudah punya , akan tetapi sebagai benda "cadangan" (bukan ban serep lho-SI), atau jika belum, akan tetapi bukan saatnya memiliki (kurang manfaat-AH), atau adanya "motto" "Mumpung murah nih" kapan lagi! Benarkah?

Jawabnya itulah pandangan mata (ghadul bashar ) telah menimpa antum yakni sifat boros, yaitu berlebihan dalam kualitas, dalam kuantitas atau ngikuti hawa nafsu.

Bukankah Sifat Boros itu temannya syeton!
" ... DAN JANGANLAH KAMU MENGHAMBUR-HAMBURKAN UANG (HARTAMU) SECARA BOROS. SESUNGGUHNYA PEMBOROS-PEMBOROS ITU SAUDARA SYAITON, DAN SYAITON ITU SANGAT INKAR KEPADA ROBBNYA'(QS.Al-Israa':26-27) , mau jadi temannya syeton?!.


MEMANG DI PASAR ADA SYETON
" Jika bisa janganlah kamu menjadi orang yang pertama kali masuk pasar atau orang yang paling akhir meninggalkan pasar karena pasar merupakan tempat pertempuran syeton dan di pasar pula syeton menancapkan benderanya." HR.Muslim
Imam Nawawi mengatakan> Syeton menetap di pasar dan menjadikannya sebagai tempat menyulut permusuhan di kalangan manusia dengan perbuatan curang (Syarah Shahih Muslim).

KIAT MELWAN SYEITON
1. Displin belanja sesuai daftar yang di buat,
2. Tidak tengak-tengok barang yang gak masuk daftar
3. JANGAN BAWA Uang lebih dari yang di perlukan
Sedangkan secara Syar'i > Baca doa masuk pasar

Doa Masuk Pasar
لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ المُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ يُحْيِيْ وَيُمِيْتُ وَهُوَ حَيٌّ لاَ يَمُوْتُ، بِيَدِهِ الْخَيْرُ، وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ
Laa Ilaaha Illallaahu wahdahu Laa Syariikalahu, Lahul Mulku Walahul Hamdu, Yuhyii, Wayumiitu, Wahuwa Hayyun Laa Yamuutu, Biyadihil Khairu, Wahuwa ‘alaa Kulli Syai-in Qadiir
Artinya: Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya. Bagi-Nya kerajaan, bagi-Nya segala pujian. Dia-lah Yang Menghidupkan dan Yang Mematikan. Dia-lah Yang Hidup, tidak akan mati. Di tangan-Nya kebaikan. Dia-lah Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Sumber Doa
Dari Umar bin al-Khathab radhiyallahu 'anhu, Rasulullahshallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
مَنْ دَخَلَ السُّوقَ فَقَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ يُحْيِي وَيُمِيتُ وَهُوَ حَيٌّ لَا يَمُوتُ بِيَدِهِ الْخَيْرُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ كَتَبَ اللَّهُ لَهُ أَلْفَ أَلْفِ حَسَنَةٍ وَمَحَا عَنْهُ أَلْفَ أَلْفِ سَيِّئَةٍ وَرَفَعَ لَهُ أَلْفَ أَلْفِ دَرَجَةٍ
Barangsiapa masuk pasar lalu ia mengucapkan, “Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya. Bagi-Nya kerajaan, bagi-Nya segala pujian. Dia-lah Yang Menghidupkan dan Yang Mematikan. Dia-lah Yang Hidup, tidak akan mati. Di tangan-Nya kebaikan. Dia-lah Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu,” niscaya Allah menuliskan baginya sejuta kebaikan dan menghapuskan darinya sejuta kejelekan serta mengangkat derajatnya hingga sejuta derajat”." ( HR. At-Tirmidzi no. 3350, Ibnu Majah no. 2226, Al-Hakim no. 1930. Syaikh Al-Albani menyatakan, hadits tersebut hasan dalam Shahih wa Dhaif Sunan Ibnu Majah no. 2235, dan Shahih wa Dhaif Sunan At-Tirmidzi no. 3428, Shahih al-Jami no. 6231, Misykah al-Mashabih no. 2431, Shahih al-Targhib wa Tarhib no. 1694). Dalam riwayat Ahmad terdapat tambahan, “Dan Allah membangunkan baginya rumah di surga.


Palembang, 26 Ramadhan1432 H/ 26 Agustus 2011 Jam 09.07 WIB
Tukang : Mau Cari Ilmu, Bekam, Jual Buku Islam, dan Advokat (0811195824)

ABU HADA SUKPANDIAR IBNU MUHAMMAD IDRIS

Rabu, 24 Agustus 2011


Mudik ada yang Syirik, Bid'ah, dan ada yang Sunnah

oleh Sukpandiar Idris Advokat Assalafy pada 25 Agustus 2011 jam 0:39
Diantara kita tentu pernah melakukan perjalanan (safar)salah bentuk safar yang populer di Indonesia ialah mudik-SI; baik itu perjalanan untuk menuntut ilmu, berziarah kepada famili atau sekedar berekreasi. Untuk itu, kita semestinya memperhatikan adab bersafar, sehingga sesuai dengan tuntunan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Berikut kami ketengahkan perihal adab bersafar, yang kami angkat berdasarkan maraji Bahjatun Nazhirin Syarhu Riyadhis Shalihin, Daar Ibnul Jauzi KSA, Cet. VI, Tahun 1422H.

SUNNAH BEPERGIAN PADA HARI KAMIS DAN PADA PERMULAAN SIANG, YAKNI SEKITAR WAKTU DHUHA

عَنْ كَعْبِ بنِ مَالِكٍ رضي الله عنه قَالَ : أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم خَرَجَ في غَزِوَةِ تَبُوْكَ يَوْمَ الخَمِيْسِ وَ كَانَ يُحِبُّ أنْ يَخْرُجَ يَوْمَ الخَمِيْسِ

Dari Ka’b bin Malik Radhiyallahu 'anhu, ia berkata,”Sesungguhnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa salalm pergi menuju perang Tabuk pada hari Kamis, dan Beliau menyukai bepergian pada hari Kamis.” [1] 

عَنْ صَخْرٍ بنِ وَدَاعَةَ الغَامِدِيِّ الصَّحَابِيِّ رَضِيَ الله عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ الله صلى الله عليه و سلم قَالَ ((اللهمَّ بَارِكْ لأمَّتِيْ فِيْ بُكُوْرِهَا )) وَ كَانَ إذَا بَعَثَ سَرِيَّةً أوْ جَيْشًا بَعَثَهُمْ مِنْ أوَّلِ النَّهَارِ. وَ كَانَ صَخْرٌ تَاجِرًا فَكَانَ يَبْعَثُ تِجَارَتَهُ أوَّلَ النَّهَار، فَأثْرَى وَ كَثُرَ مَالُهُ

Dari Shakhr bin Wada’ah Radhiyallahu 'anhu, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah berdoa: “Ya, Allah. Berkahilah umatku pada permulaan siang mereka”. Dan jika ingin mengutus pasukan, Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengutus mereka pada permulaan siang (pada waktu Dhuha). Dan Shakhr adalah seorang pedagang. Dia mengirim utusan dagangnya pada permulaan siang, hingga ia menjadi kaya dan mendapat harta yang banyak.[2] 

DISUNNAHKAN MEMBACA DO’A KETIKA MENAIKI KENDARAAN

عَنِ ا بِنِ عُمَر رضي الله عَنهما أنَّ رَسوُلَ الله صلى الله عليه و سلم كَانَ إذَا اسْتَوَى عَلَى بِبَعِيْرِهِ خَارِجًا إلى السَّفَرِ كَبَّرَ ثَلاَثًا ثُمَّ قَالَ (( سُبْحَانَ الََّذِي سَخَّرَ لَنَا هَذَا وَ مَا كُنَّا لَهُ مُقْرِنِيْنَ وَ إنَّا إلى رَبِّنَا لَمُنْقَلِبُوْنَ. اللهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ في سَفَرِنَا هَذَا البِرَّ وَ التَقْوَى وَ مِنَ العَمَلِ مَا تَرْضَى . اللهُمَّ هَوِّنْ عَلَيْنَا سَفَرَنَا هَذَا وَطْوِ عَنَّا بُعْدَهُ اللهُمَّ أنْتَ الصَّاحِبُ في السَّفَرِ وَ الخَلِيْفَةُ في الأهْلِ اللهُمَّ إنّيِ أعُوْذُ بِكَ مِنْ وَعْثَاءِ السَّفَرِ وَ كَآبَةِ المَنْظَرِ وَ سُوْءِ المُنْقَلَبِ في المَالِ وَ الأهْلِ وَ الَوَلَدِ)). 

Dari Ibnu Umar Radhiyallahu 'anhu, sesungguhnya jika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menaiki kendaraan ketika hendak bepergian, Beliau bertakbir sebanyak tiga kali, kemudian berdoa: “Maha Suci Dzat yang telah menundukkan kendaraan ini untuk kami, padahal kami dahulu tidak mampu menguasainya. Dan sesungguhnya kepada Rabb kamilah, kami akan kembali. Ya, Allah! Kami mohon kepadaMu dalam perjalanan kami ini kebajikan dan takwa, serta amal yang Engkau ridhai. Ya, Allah! Mudahkanlah perjalanan kami ini, serta dekatkanlah jarak perjalanan kami. Ya, Allah! Engkaulah teman dalam perjalanan, dan penjaga keluarga yang kami tinggal. “Ya, Allah! Sesungguhnya aku berlindung kepadaMu dari kesulitan dalam perjalanan, kesedihan serta tempat kembali yang buruk dalam keluarga, harta dan anak”.

Dan jika kembali dari perjalanan, disunnahkan membaca do’a di atas, kemudian ditambah dengan lafazh: آيِبُوْنَ تَائِبُوْنَ عَابِدُوْنَ لِرَبِّنَا حَامِدُوْنَ (Kami kembali kepada Allah dengan bertaubat, menyembah dan memujiNya).[3]

DALAM BEPERGIAN DISUNNAHKAN TIDAK SENDIRIAN, TETAPI BERSAMA TEMAN DAN MENUNJUK SALAH SEORANG SEBAGAI KETUA ROMBONGAN YANG MEMIMPIN PERJALANAN

غَنْ بْنِ عُمَرَ رضي الله عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه و سلم (( لَوْ أنَّ النَّاسَ يَعْلَمُوْنَ مِنَ الوَحدَةِ مَا أَعْلَمُ مَا سَافَرَ رَاكِبٌ بِلَيْلٍ وَحْدَهُ)) 

Dari Ibnu Umar Radhiyallahu 'anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,”Seandainya saja manusia mengetahui apa yang aku ketahui tentang bahaya kesendirian, niscaya tak ada seorang pun yang mau bepergian pada malam hari seorang diri.” [4] 

Dalam hadits di atas, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memberikan sinyalemen adanya bahaya yang menghadang dalam perjalanan, dikarenakan bepergian sendirian. Oleh karenanya, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melarangnya, karena dikhawatirkan adanya bahaya yang datang dari segala penjuru, syethan akan menghampirinya, membisikkan rasa was-was, serta menggodanya dalam perjalanan untuk melakukan perbuatan maksiat. Sebagaimana telah dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam salah satu sabdanya: 

عَنٍ عَمْرو بْنِ شُعَيْبٍعَنْ أبِيْهِ عَنْ جَدِّهِ رضي الله عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه و سلم ((الرَّاكِبُ شَيْطَانٌ و الرَّاكِبَانِ شَيْطَانَانِ وَ الثَّلاَثَةُ رَكْبٌ)) 

Dari Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya Radhiyallahu 'anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,”Orang yang bepergian sendirian adalah (bersama) syethan. Dan orang yang bepergian berdua adalah (bersama) dua syethan. Sedangkan orang yang berpergian bertiga adalah rombongan musafir (yang tidak dihampiri syethan).” [5]

Mengomentari hadits tersebut, Syaikh Salim menunjukkan adanya faidah yang bisa diambil, sebagai berikut :[6]
• Syethan akan menemani seseorang yang bepergian sendirian.
• Bepergian seorang diri akan mengundang syethan untuk menghampirinya. Hal seperti ini merupakan kebiasaan yang dilakukan syethan.
• Syethan menjauh dari kelompok musafir yang banyak (berjumlah di atas tiga orang), karena kelompok tersebut saling menolong sesama mereka, dan bahu-membahu dalam mengenyahkan kesulitan yang menimpa salah seorang dari mereka.
• Wajibnya bepergian dengan berjama’ah, minimal tiga orang.

Bila seseorang bepergian seorang diri, tentu ia tidak memiliki kawan yang akan menolongnya jika tertimpa kesulitan. Misalnya, seperti sakit dalam perjalanan dan kesulitan-kesulitan yang membutuhkan pertolongan orang lain. 
Dalam larangan bepergian sendirian ini terdapat hikmah bagi keselamatan seorang mukmin. Memang benar, seorang mukmin harus bertawakal dan menggantungkan diri sepenuhnya kepada Allah. Namun, bertawakal kepada Allah tidak berarti menafikan sebab. Karena meminta bantuan kepada manusia yang hadir dan mampu dikerjakannya, diperbolehkan syari’at. 

Larangan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tersebut, bukan berarti kita menggantungkan diri secara mutlak kepada teman perjalanan. Sama sekali tidak! Akan tetapi, kita diperintah untuk mengambil sebab yang mengantarkan kepada keselamatan, dan sebagai pencegah terjerumusnya si musafir ke dalam maksiat atau madharat lainnya. 

Oleh karena itu, sebagai muslim, selayaknya kita memahami larangan Rasulullah n tersebut, serta menyikapinya dengan benar. Seorang mukmin hendaknya bersemangat mengikuti petunjuk Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. karena, berdasarkan wahyu dari Allah, Rasulullah adalah orang yang paling faham yang bermanfaat dan yang membahayakan umatnya. 

Adapun petunjuk agar mengangkat seseorang untuk memimpin perjalanan, tertuang dalam sabda Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berikut ini:

عَنِ أبِيْ سَعِيْدٍ وَ ابِيْ هُرَيْرَةَ رضي الله عننهما قَالا: قَالَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه و سلم (( إذَا خَرَجَ ثَلاَثَةٌ فِيْ سَفَرٍ فَلْيُؤَمِّرُوْا أَحَدَهُمْ ))

Dari Abu Sa’id dan Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhuma, mereka berdua berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,”Jika ada tiga orang yang keluar hendak bepergian, maka hendaklah mereka menunjuk salah seorang dari mereka sebagai pemimpin.” [7] 

Seseorang yang ditunjuk sebagai pemimpin rombongan, hendaklah orang yang shalih dan mampu mengemban tugas kepemimpinan dalam perjalanan. Karena ia memikul tanggung jawab yang tidak ringan. Dia harus mampu mengambil keputusan yang benar pada saat-saat genting, saat rombongan menghadapi masalah, serta tugas-tugas lain yang menuntut kemampuannya untuk bertindak bijak dan tepat demi kemaslahatan rombongan. Demikian juga perintah pimpinan rombongan harus ditaati oleh setiap personil rombongan tersebut, selama mereka berada dalam perjalanan. Kepemimpinan seseorang dalam perjalanan, tidak sama dengan kepemimpinan khilafah atau pemimpin kaum muslim di suatu negeri. Kepemimpinan dalam perjalanan akan berakhir ketika perjalanan mereka telah usai.

MEMPERHATIKAN ADAB-ADAB KETIKA SINGGAH DAN BERMALAM DI SUATU TEMPAT 

عَنْ أبِيْ هُرَيْرَةَ رضي الله عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه و سلم (( إذَا سَافَرْتُمْ فِيْ الخِصْبِ فَأعْطُوْا الإبِلَ حَظَّهُ مِنَ الأرْضِ ، وَ إذَا سَافَرْتُمْ في الجَدْبِ فَأسْرِعُواْ عَلَيْهَا السَّيْرَ وَ بَادِرُوا بِهَا نِقْيَهَا وَ إذَا عَرَّسْتُمْ فَاجْتَنِبُوْا الطَّرِيْقَ فَإنَّهَا طُرُقَ الدَّوَابِ وَ مَأوَى الهَوَامِّ بِاللَّيْلِ

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata, Rasuulullah Shallallahu 'alaihi wa salalm bersabda,”Jika kalian bepergian dan melewati daerah padang rumput, maka berikanlah unta haknya dari (rumput yang tumbuh di) tanah tersebut. Dan jika kalian melewati daerah tandus, maka percepatlah langkah kalian. Dan jika kalian hendak bermalam, maka janganlah bermalam di jalan, karena ia merupakan tempat lewat hewan dan tempat tinggal serangga pada malam hari.”[8] 

Dalam hadits di atas, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memberikan penjelasan tentang cara bersikap dalam perjalanan, ketika melewati tempat yang kondisinya berbeda satu sama lain. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam juga menyuruh untuk berlaku lemah lembut terhadap hewan. Walaupun diperbolehkan menunggangi hewan dalam perjalanan, namun kita juga harus memeperlakukannya dengan baik, memberikan haknya berupa makan dan minum, serta tidak memberinya beban yang membuatnya menjadi payah dan lelah.

Adab lain yang harus kita perhatikan juga, selama dalam perjalanan agar tetap berkumpul dengan rombongan serta tidak memisahkan diri ketika singgah di suatu tempat. Karena memisahkan diri dari rombongan berarti perpecahan. Sedangkan perpecahan sangat dicintai syethan. Pada perpecahan tersebut terdapat banyak madharat yang harus dihindari oleh kaum mu’minin.
sukpandiar idris advokat assalafy
blog-sukpandiaridris.blogspot.
com

عَنْ أبِيْ ثَعْلَبَةَ الخُشَنِيِّ رضي الله عَنْهُ قَالَ : كَانَ النَّاسُ إذَا نَزَلَ مَنْزِلاً تَفَرَّقُوأ في الشِّعَابِ وَ الأوْدِيَةِ. فَقَالَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه و سلم (( إنَّ تَفَرُّقَكُمْ فِيْ هَذِهِ الشِّعَابِ وَ الأوِدِيَةَ إنَّما ذُلُّكُمْ مِنَ الشَّيْطَانِ)). فَلَمْ يَنْزِلُوْا مَنْزِلاً بَعدَ ذلك إلاَّ وَ انْضَمَّ بَعْضُهُمْ إلى بَعْضٍ

Dari Abu Tsa’labah Al Khusyani Radhiyallahu 'anhu, ia berkata,”Dahulu, jika para sahabat singgah di suatu tempat, mereka berpencar di bukit-bukit dan lembah-lembah. Maka Rasulullah bersabda,’Sesungguhnya berpencarnya kalian ke bukit-bukit dan lembah-lembah merupakan kehinaan bagi kalian (dan itu berasal) dari syethan’. Maka setelah kejadian itu, mereka tidak singgah di suatu tempat, kecuali mereka bergabung satu sama lainnya.”[9] 

Ketika singgah di suatu tempat, kita juga dianjurkan untuk berdo’a, bertakbir ketika berada di tempat yang tinggi, serta bertasbih ketika melewati lembah atau tempat yang rendah.

عَنْ خَوْلَةَ بِنْتِ حَكِيْمٍ رضي الله عَنْهَا قَالَتْ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ الله صلى الله عليه و سلم يَقُوْلُ 
((مَنْ نَزَلَ مَنْزِلاً ثُمَّ قَالَ : أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ الله التَامّاَتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ، لَمْ يَضُرَّهُ شَيْءٌ حَتَّى يَرْتَحِلَ مِنْ مَنْزِلِهِ ذَلك))

Dari Khaulah binti Hakim , ia berkata, aku telah mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: ”Barangsiapa yang singgah di suatu tempat, kemudian ia berdo’a, ‘aku berlindung dengan kalimat Allah yang sempurna dari segenap keburukan yang Ia ciptakan’, niscaya tidak ada sesuatu pun yang membahayakannya sampai ia pergi dari tempat tersebut”. [10] 
sukpandiar idris advokat assalafy
blog-sukpandiaridris.blogspot.
com

عَنْ جَابِرٍ بْنِ عَبْدَ الله رضي الله عنه قَالَ : كُنَّا إذَا صَعِدْنَا كَبَّرْنَا وَ إذَا نَزَلْنَا سَبَّحْنَا

Dari Jabir bin Abdillah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata,”Kami bertakbir, jika menaiki (tempat yang tinggi), dan bertasbih manakala kami menuruni lembah.” [11] 

SELAMA DALAM PERJALANAN, DISUNNAHKAN MEMPERBANYAK DO’A, KARENA PADA SAAT ITU DO’A DIKABULKAN

عَنْ أبِيْ هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه و سلم (( ثَلاَثُ دَعَوَاتٍ مُسْتَجَابَاتٌ لاَ شَكَّ فِيْهِنَّ : دَعْوَةُ المَظْلُوْمِ دَعْوَةُ المُسَافِرِ وَ دَ عْوَةُ الْوَالِدِ عَلَى وَلَدِهِ ))

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,”Tiga jenis do’a yang dikabulkan dan tidak diragukan lagi, (yaitu) do’a orang yang dizhalimi, do’a orang yang bepergian dan orang tua (ayah) yang mendo’akan (kejelekan) atas anaknya.” [12] 

JIKA KEPENTINGANNYA SUDAH SELESAI DISUNNAHKAN SEGERA KEMBALI PULANG DARI SAFAR

عَنْ أبِيْ هُرَيْرَةَ رضي الله عنه أنَّ رَسُوْلَ الله صلى الله عليه و سلم قال (( السَّفَرُ قِطْعَةٌ مِنَ العَذَابِ يَمْنَعُ أحَدَكُمْ طَعَامَهُ وَ شَرَابَهُ وَ نَوْمَهُ فَإذَا قَضَى أحَدُكُمْ نَهْمَتَهُ مِنْ سَفَرِهِ فَليُعَجِّلِ إلى أهْلِهِ)).

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,”Safar (perjalanan) adalah bagian dari adzab yang mencegah salah seorang kalian dari makan, minum dan tidur. Maka bila salah seorang kalian telah mencapai maksud dari perjalanannya, hendaklah segera kembali kepada keluarganya.” [13]

DISUNNAHKAN KEMBALI DARI SAFAR PADA SIANG HARI, DAN DIMAKRUHKAN KEMBALI PADA MALAM HARI 

عَنْ جَابِرٍ رضي الله عنه أنَّ رَسُوْلَ الله صلى عليه و سلم قَالَ ((إذَا أطَالَ أحَدُكُمُ الغَيْبَةَ فَلاَ يَطْرُقَنَّ أهْلَهُ لَيْلاً))

Dari Jabir Radhiyallahu 'anhu, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,”Jika salah seorang kalian berpergian dalam jangka waktu yang lama, maka janganlah (kembali dari safarnya dengan) mengetuk pintu pada malam hari.” [14]

DISUNNAHKAN SHALAT DUA RAKA’AT DI MASJID TERDEKAT SEBELUM MENDATANGI RUMAHNYA

عَنْ كَعْبِ بنِ مَالِكٍ رضي الله أنَّ رَسُولَ الله صلى الله عليه و سلم كَانَ إذَا قَدِمَ مِنْ سَفَرٍ بَدَأَ بِالمَسْجِدِ فَرَكَعَ فِيْهِ رَكْعَتَيْنِ

Dari Ka’ab bin Malik Radhiyallahu 'anhu, bahwasannya jika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam datang dari perjalanan, Beliau mendatangi masjid dan shalat dua raka’at. [15] 

WANITA DIHARAMKAN BEPERGIAN TANPA DISERTAI MAHRAMNYA

عَنْ أبِيْ هُرَيْرَةَ رضي الله قَالَ قَالَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه و سلم (( لاَ يَحِلُّ لامْرَأةٍ تُؤْمِنُ بالله وَ اليَوْمِ الآخِرِ تُسَافِرُ مَسِيْرَةَ يَوْمِ وَ لَيْلَةٍ إلاَّ مَعَ ذِيْ مَحْرَمٍ عَلَيْهَا))

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,”Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir bepergian dalam jarak sehari semalam, kecuali disertai mahramnya”.[16]

Hadits ini menjelaskan haramnya wanita bepergian tanpa mahram dalam jarak sehari semalam. Tetapi bukan berarti wanita dibolehkan bepergian dengan tanpa mahram jika jaraknya kurang dari sehari semalam, karena ada beberapa hadits lainnya yang menerangkan dengan jelas haramnya wanita bepergian tanpa mahram secara mutlak (tidak terikat dengan jarak maupun waktu). Diantara hadits-hadits tersebut, adalah sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu :

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رضي الله عنهما أنَّهُ سَمِعَ النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم يَقُوْلُ (( لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأةٍ إلاَّ وَ مَعَهَا ذُوْ مَحْرَمٍ ، وَ لاَ تُسَافِرُ المَرْأةُ إلاَّ مَعَ ذِيْ مَحْرَمٍ)). فَقَالَ لَهُ رَجُلٌُ: يَا رَسُوْلَ الله إنَّ امْرَأتِيْ خَرَجَتْ حَاجَّةً ، وَ إنِّيْ اكْتُتِبْتُ في غَزْوَةِ كَذَا وَ كَذَا ؟ قَالَ (( انْطَلِقْ فَحُجَّ مَعَ امْرَأتِكَ ))

Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu, ia mendengar Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,”Janganlah seorang laki-laki berdua-duaan dengan wanita, kecuali disertai dengan mahramnya. Dan janganlah seorang wanita bepergian, kecuali bersama mahramnya”. Lalu seorang sahabat berkata kepada Beliau,”Wahai, Rasulullah. Sesungguhnya isteriku pergi berhaji, sedangkan aku diperintah untuk turut serta dalam peperangan ini dan itu.” Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata,”Kembalilah dan berhajilah bersama isterimu.” [17] 

Syaikh Salim berkata,”Hadits ini menerangkan larangan yang sangat jelas tidak dibolehkannya seorang wanita bepergian tanpa mahram. Ada beberapa riwayat yang menerangkan batasan jarak (diharamkannya wanita bepergian tanpa mahram). Sebagian riwayat menyebutkan “di atas tiga hari”, dan riwayat yang lain “dua hari”, dan lainnya “jarak (perjalanan) satu hari”, dan yang lainnya “jarak (perjalanan) satu hari satu malam”, dan riwayat yang lainnya lagi “jarak perjalanan beberapa mil”. (Terjadinya perbedaan) riwayat-riwayat tersebut, disebabkan berbedanya orang yang bertanya (kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam) dan tempatnya. Akan tetapi, (sesungguhnya) diantara riwayat-riwayat tersebut tidak ada kontradiksi. Wal hasil, wanita dilarang (diharamkan) bepergian tanpa mahramnya selama bepergian tersebut disebut safar.” [18] 

Demikianlah sedikit yang biasa kami himpun dari petunjuk Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang etika safar. Semoga kita mampu mengambil manfaat dari petunjuk Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ini dan meneladani Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam kehidupan kita, sehingga kita berhak mendapat syafa’atnya dan termasuk orang-orang yang beroleh kesempatan minum dari haudh Belaiu n pada hari kiamat nanti. (Amatullah Ummu Abdillah) 

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun VIII/1425H/2004M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
_______
Footnote 
[1]. Muttafaqqun ‘alaih, dan Syaikh Salim bin Id Al Hilali berkata,”Dikeluarkan oleh Bukhari (6/113-Fathul Bari).” Lihat Bahjatun Nazhirin (2/199).
[2]. HR Abu Dawud dan Tirmidzi dan ia berkata,”Hadits hasan.” Syaikh Salim bin Id Al Hilali berkata,”Hadits hasan dengan syawahidnya dikeluarkan oleh Abu Dawud (2606), Tirmidzi (1212), Ibnu Majah (2236), Ahmad (3/417, 431 dan 4/390) dari jalan Ya’la bin ‘Atha dan ‘Umarah bin Hadid, darinya dengan lafazh hadits di atas.” Lihat Bahjatun Nazhirin (2/199). 
[3]. HR Muslim. Syaikh Salim berkata,”Dikeluarkan oleh Muslim (1342).” Lihat Bahjatun Nazhirin (2/211).
[4]. HR Al Bukhari, berkata Syaikh Salim bin Id Al Hilali,”Dikeluarkan oleh Bukhari (6/137, 138- Fathul Bari).”. Lihat Bahjatun Nazhirin (2/200).
[5]. HR Abu Dawud dan Tirmidzi dan Nasa’i, dengan sanad-sanad yang shahih. Dan berkata Tirmidzi,”Hadits hasan.” Syaikh Salim bin Id Al Hilali berkata,”Dikeluarkan oleh Abu Dawud no. 2.607 dan Tirmidzi no. 1.674 dan Ahmad (2/184 dan 214), dan Hakim (2/102) dari beberapa jalan dari Abdurrahman bin Harmalah dari Amr bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya.” Lihat Bahjatun Nazhirin (2/201).
[6]. Bahjatun Nazhirin (2/201).
[7]. HR Abu Dawud. Syaikh Salim bin Id Al Hilali berkata,”Dikeluarkan oleh Abu Dawud no. 2.608 dan 2.609 dengan sanad hasan.” Lihat Bahjatun Nazhirin (2/201).
[8]. HR Muslim. Syaikh Salim bin Id Al Hilali berkata,”Dikeluarkan oleh Muslim (1927).” Lihat Bahjatun Nazhirin (2/203).
[9]. Hadits shahih, dikeluarkan oleh Abu Dawud (2.627), Ahmad (4/193), Al Hakim (2/115), Al Baihaqi (6/152), Ibnu Majah (2.690) dari jalan Al Walid bin Muslim (ia berkata): Telah mengkhabarkan kepada kami Abdullah bin ‘Ala bin Zabr, bahwa ia mendengar Muslim bin Misykam Abu Ubaidillah berkata,”Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Tsa’labah Al Khusyani (kemudian ia menyebutkan hadits tersebut).” Sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh Salim bin Id Al Hilali dalam Bahjatun Nazhirin (2/205).
[10]. HR Muslim, no. 2.708.
[11]. HR Al Bukhari. Syaikh Salim bin Id Al Hilali berkata,”Dikeluarkan oleh Bukhari (6/135-Fathul Bari).” Lihat Bahjatun Nazhirin (2/214).
[12]. HR Abu Dawud dan Tirmidzi dan ia berkata,”Hadits hasan.” Sedangkan dalam riwayat Abu Dawud tidak terdapat tambahan lafazh (عَلَى وَلَدِهِ ). Syaikh Salim bin Id Al Hilali berkata,”Hadits hasan lighairihi. Dikeluarkan oleh Bukhari dalam Al Adabul Mufrad (32 dan 481), Abu Dawud (1.536), Tirmidzi (1.905), Ibnu Majah (3.862), Ahmad (2/ 248,258,478,517,523) dan Ibnu Hibban (2.699) dan selaim mereka dari beberapa jalan dari Yahya bin Abi Katsir dari Abu Ja’far dari Abu Hurairah.” Lihat Bahjatun Nazhirin (2/217).
[13]. Mutaffaqun ‘alaih, dan Syaikh Salim berkata,”Dikeluarkan oleh Bukhari (3/262-Fathul Bari) dan Muslim (1.927).” Lihat Bahjatun Nazhirin (2/220).
[14]. HR Bukhari dan Muslim. Syaikh Salim bin Id Al Hilali berkata,”Dikeluarkan oleh Bukhari (3/620- Fathul Bari), Muslim (715).” Lihat Bahjatun Nazhirin (2/221).
[15]. Muttafaqqun ‘alaihi. Syaikh Salim bin Id Al Hilali berkata,”Dikeluarkan oleh Bukhari (8/113-116- Fathul Bari) dan Muslim (2.789). Lihat Bahjatun Nazhirin (1/68).
[16]. Muttafaqun ‘alaih. Syaikh Salim bin Id Al Hilali berkata,”Dikeluarkan oleh Bukhari (2/566-Fathul Bari) dan Muslim (1.339 dan 421).” Lihat Bahjatun Nazhirin (2/223).
[17]. Muttafaqun ‘Alaih. Syaikh Salim bin Ied Al Hilali berkata,”Dikeluarkan oleh Bukhari 4/72-Fathul Bari, dan Muslim (1341).”
[18]. Bahjatun Nazhirin 2/221-222.

 Hukum Mudik

Hukum asal mudik ( salah satu bentuk safar di Indonesia-SI, paling banyak di lakukan jelang 'Iedul Fithri)) sebenarnya mubah alias boleh-boleh saja, akan tetapi niat dan urusan (perbuatan) akan berubah;

1. Mudik yang Syirik
Yaitu mudik dengan melakukan ke syirikan, misal ngalap berkah di kuburan/ atau tempat lain yang di anggap keramat-Si.,baik untuk jabatan, cari jodoh, berobat, penglaris dan lainnya.

2. Mudik yang Bid'ah
Beribadah di kuburan (sholat, baca quran dan lainnya yang tak di syariatkan oleh Allah dan RosulNya), ini paing banyak terjadi. Menganggap afdol atau ada sunnahnya mudik lebaran saat yang tepat untuk bermaaf-maafan. Atau afdol untuk ziaroh, Akan tetapi jika hal ini hanya baru sempat tuk ziaroh dan bertepatan dengan bulan Syawal, Insya Allah tak mengapa.
sukpandiar idris advokat assalafy
blog-sukpandiaridris.blogspot.
com

3. Mudik yang Wajib
- Bernadzar jika tahun ini ana ada uang dan sehat maka akan mudik ke kampung di Idul Fihtri nanti.
- Memenuhi  keinginn orangtua  agar berlebaran di udik/kampung. silakan baca al-ankabuut:8
Dan Kami wajibkan kpd manusia (beruntuk) kebaikan kpd kedua orang tuanya. Dan jika kedua memaksamu untuk mempersekutukan Aku dgn sesuatu yg tdk ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya. Hanya kpd-Ku lah kembalimu, lalu Aku kabarkan kpdmu apa yg telah kamu kerjakan” [Al-Ankabut : 8], juga  Luqman: 14-15.
- Sudah berjanji akan mudik lebaran pada orang tua dan anak isteri

4. Mudik yang Sunnah
yaitu menyambung hubungan baik teman orang tua  yang ada di kampung> Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda, “Barangsiapa yang tetap ingin menjaga hubungan silaturahim dengan ayahnya yang sudah wafat, hendaknya ia menjaga hubungan baik dengan teman-teman ayahnya yang masih hidup'. HR.Abu Ya'la. di Shahihkan Albany. Demikian note  yang ringkas ini, semoga bagi yang mudik, harus tahu adab/etika, dan hukumnya masuk kategori manakah antum ntu mudik?. Ana dan keluarga  -Sukpandiar Idris - Insya Allah mudik ke Palembang tanggal hari  ini (25 Ramadhan 1432/ 25 Agustus 2011-sampai tanggal 5 September 2011, guna memenuhi keinginan orang tua (wajib), hari kamis ketika waktu sholat dhuha sesuai sunnah. 
sukpandiar idris advokat assalafy
blog-sukpandiaridris.blogspot.
com

Selasa, 23 Agustus 2011

Kekeliruan Seputar Lailatul Qodar dan Cara Mengintainya dengan Benar


Kekeliruan Seputar Lailatul Qodar dam Cara Mengintainya dengan Benar

oleh Sukpandiar Idris Advokat Assalafy pada 24 Agustus 2011 jam 0:41
Berikut ini, kami ketengahkan sebuah karya tulis perihal beberapa kesalahan yang dilakukan oleh sebagian kaum muslimin berkaitan dengan Lailatul Qadar. Makalah yang ditulis oleh Syaikh Masyhur bin Hasan, kami terjemahkan dari Al-Ashalah, Edisi 3/15 Sya’ban 1413 H halaman 76-78. Semoga bermanfaat dan sebagai peringatan bagi kami serta segenap kaum muslimin. (Redaksi). 

Kesalahan-kesalahan dan pelanggaranpelanggaran yang dilakukan oleh beberapa kaum muslimin dalam masalah puasa dan shalat tarawih sangat banyak; baik dalam masalah keyakinan, hukum atau perbuatan. Sebagian mengira, bahkan meyakini beberapa masalah yang bukan dari Islam, sebagai rukun Islam. Mereka mengambil sesuatu yang rendah (dalam urusan puasa dan lainnya), sebagai pengganti yang lebih baik, karena mengikuti orang-orang Yahudi. Padahal Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah melarang menyerupai mereka. Bahkan beliau menekankan serta menegaskan, agar (kaum Muslimin) menyelisihi mereka. 

Diantara kesalahan ini, ada yang khusus berkaitan dengan lailatul qadar. Kesalahan ini kami bagi menjadi dua bagian. 

Pertama : Salah Dalam Berpandangan Dan Berkeyakinan. 
Diantaranya: 
1. Keyakinan sebagian orang, bahwa lailatul qadar itu memiliki beberapa tanda yang dapat diraih oleh sebagian orang. Lalu orang-orang ini merangkai cerita-cerita khurafat dan khayal. Mereka mengaku melihat cahaya dari langit, atau mereka dibukakan pintu langit dan lain sebagainya. 

Semoga Allah merahmati Ibnu Hajar, ketika beliau rahimahullah menyebutkan dalam Fathul Bari 4/266, bahwa hikmah disembunyikannya lailatul qadar, ialah agar timbul kesungguh-sungguhan dalam mencarinya. Berbeda jika malam qadar tersebut ditentukan, maka kesungguhansungguhan hanya sebatas pada malam tertentu itu. 

Kemudian Ibnu Hajar menukil riwayat dari Ath-Thabari rahimahullah, bahwa beliau rahimahullah memilih pendapat (yang menyatakan, pent.), semua tanda itu tidaklah harus terjadi. Dan diraihnya lailatul qadar itu tidak disyaratkan harus dengan melihat atau mendengar sesuatu. 

Ath Thabari lalu mengatakan,”Dalam hal dirahasiakannya lailatul qadar, terdapat bukti kebohongan orang yang beranggapan, bahwa pada malam itu akan ada hal-hal yang dapat terlihat mata, apa yang tidak dapat terlihat pada seluruh malam yang lain. Jika pernyataan itu benar, tentu lailatul qadar itu akan tampak bagi setiap orang yang menghidupkan malam-malam selama setahun, utamanya malam-malam Ramadhan.” 

2. Perkataan sebagian orang, bahwa lailatul qadar itu sudah diangkat (sudah tidak ada lagi, pent). Al Mutawalli, seorang tokoh madzhab Syafi’i dalam kitab At Tatimmah telah menceritakan, bahwa pernyataan itu berasal dari kaum Rafidhah (Syi’ah). Sementara Al Fakihani dalam Syarhul Umdah telah menceritakan, bahwasanya berasal dari madzhab Hanafiyah. 

Demikian ini merupakan gambaran rusak dan kesalahan buruk, yang dilandasi oleh pemahaman keliru terhadap sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ada dua orang yang saling mengutuk pada lailatul qadar, 

أِنَّّها رُفِعتْ

"Sesungguhnya lailatul qadar itu sudah terangkat"

Pendalilan (kesimpulan) ini terbantah dari dua segi. 

a. Para ulama mengatakan, yang dimaksud dengan kata “terangkat”, yaitu terangkat dari hatiku, sehingga aku lupa waktu pastinya; karena sibuk dengan dua orang yang bertengkar ini. 

Dikatakan juga (maksud kata terangkat, pent.), yaitu terangkat barakahnya pada tahun itu. Dan maksudnya, bukanlah lailatul qadar itu diangkat sama sekali. Hal itu ditunjukkan oleh hadits yang dikeluarkan Imam Abdur Razaq rahimahullah dalam Mushannaf-nya 4/252, dari Abdullah bin Yahnus, dia berkata,”Aku berkata kepada Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu,‘Mereka menyangka, bahwa lailatul qadar itu sudah diangkat’,” Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu berkata, "Orang yang mengatakan hal itu telah berbuat bohong."

b. Keumuman hadits yang mengandung dorongan untuk menghidupkan malam qadar dan penjelasan tentang keutamaannya. 

Seperti hadits yang dikeluarkan oleh Imam Bukhari rahimahullah dan lainnya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 

مَنْ قَامَ لَيْلَة القَدرِ أِعيمَا نًا واحتسَابًا غُفِرَلَهُ مَا تَقَدَّّّمَ مِنْ ذَنْبهِ

"Barangsiapa yang shalat pada lailatul qadar karena iman dan karena mengharapkan pahala, maka dia diampuni dosanya yang telah lewat". 

Imam Nawawi rahimahullah mengatakan,”Ketahuilah,bahwa lailatul qadar itu ada. Dan lailalatul qadar itu terlihat. Dapat dibuktikan oleh siapapun yang dikehendaki dari keturunan Adam, (pada) setiap tahun di bulan Ramadhan, sebagaimana telah jelas melalui hadits-hadits ini, dan melalui beritaberita dari orang shalih tentang lailatul qadar. Penglihatan orang-orang shalih tersebut tentang lailatul qadar tidak bisa dihitung.” 

Saya (Syaikh Masyhur) mengatakan: Ya, kemungkinan diketahuinya lailatul qadar itu ada. Banyak tanda-tanda yang telah diberitahukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa lailatul qadar itu, adalah satu malam diantara malam-malam Ramadhan. Dan mungkin, demikian ini maksud perkataan Aisyah radhiyallahu a’nha pada hadits yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi, dan beliau menshahihkannya, 

قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّّهِ أَرَأَيْت أِنْ عَلِمْتُ أَيَّّ لَيْلةُ الْقَدْر مَا أَقُو لُ فِيهَا

“Aku Katakan,”Wahai Rasulullah, jika aku mengetahui (adanya) malam itu (sebagai) lailatul qadar, apa yang kuucapkan pada malam itu?” 

Dalam hadits ini -sebagaimana dikatakan Imam Syaukani rahimahullah dalam Nailul Authar 3/303 terdapat bukti, kemungkinan lailatul qadar dapat diketahui dan (juga bukti, pent.) tentang tetap adanya malam itu.” 

Az Zurqani rahimahullah mengatakan dalam syarah Muwaththa’ 2/491, "Barangsiapa yang menyangka, bahwa makna –yang terdapat pada hadits di atas, (yaitu) lailatul qadar sudah diangkat- yakni sudah tidak ada lagi, maka dia keliru. Kalau seandainya benar seperti itu, tentulah kaum muslimin tidak diperintahkan untuk mencarinya. Hal ini dikuatkan oleh kelanjutan hadits, 

عَسَى أَنْ يَكُوْنَ خَيْرًا لَكمْ

"Semoga (dirahasiakannya waktu lailatul qadar itu, pent.) [1] menjadi lebih baik bagi kalian".

Karena dirahasiakannya waktu lailatul qadar itu, menyebabkan orang tertuntut untuk melaksanakan qiyamul lail selama satu bulan penuh. Hal ini berbeda jika pengetahuan tentang waktunya dapat diketahui secara jelas". 

Kesimpulannya, lailatul qadar tetap ada sampai hari kiamat. Sekalipun penentuan tepatnya kejadian tersebut dirahasiakan, dalam arti, tetap tidak dapat menghilangkan kesamaran dan ketidakjelasan tentang waktunya. 

Meskipun pendapat yang rajih (terkuat), bahwa lailatul qadar ada pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan dan dalil-dalil menguatkan, bahwasanya dia adalah malam duapuluh tujuh, akan tetapi memastikannya dengan cara yang yakin merupakan perkara sulit. Allahu a’lam. 

Kedua : Kesalahan-Kesalahan Dalam Amal Perbuatan Dan Tingkah Laku. 
Kesalahan-kesalahan yang dilakukan manusia pada lailatul qadar itu banyak sekali. Hampir tidak ada yang bisa selamat, kecuali yang dipelihara Allah. 
Diantaranya, 

1. Mencari dan menyelidiki keberadaannya dan tersibukkan dengan mengintai tanda-tanda lailatul qadar, sehingga lalai beribadah ataupun berbuat taat pada malam itu.

Betapa banyak orang-orang yang shalat, kita lihat diantara mereka lupa membaca Al Qur’an, dzikr dan lupa mencari ilmu karena urusan ini. Engkau dapati salah seorang diantara mereka –menjelang terbitnya matahari memperhatikan matahari untuk mengetahui, apakah sinar matahari ini terik ataukah tidak? Mestinya, orang-orang ini memperhatikan pesan yang terdapat pada sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. 

عَسَى أَنْ يَكُوْنَ خَيْرًا لَكمْ

"Semoga (dirahasiakannya waktu lailatul qadar itu, pent.) menjadi lebih baik bagi kalian".

Dalam hadits ini terdapat isyarat, bahwa malam itu tidak ditentukan. Para ahli ilmu menarik kesimpulan dari sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa dirahasiakannya waktu lailatul qadar itu lebih baik. Mereka mengatakan, “Hikmah dalam hal itu, agar seorang hamba bersungguh-sungguh dan memperbanyak amal pada tiap-tiap malam dengan harapan agar bertepatan dengan lailatul qadar. Berbeda jika lailatul qadar itu (telah) ditentukan. Maka, sungguh amal itu hanya akan diperbanyak (pada) satu malam saja, sehingga ia luput dari beribadah pada malam lainnya, atau berkurang. Bahkan sebagian ahli ilmu mengambil satu faidah dari sabda Nabi Shallallalhu ‘alaihi wa sallam tersebut, bahwa sebaiknya orang yang mengetahui lailatul qadar itu menyembunyikannya -berdasarkan dalil- bahwa Allah Azza wa Jalla telah mentaqdirkan kepada NabiNya Shallallahu ‘alaihi was allam untuk tidak memberitakan ketepatan waktunya. Sedangkan semua kebaikan ada pada apa yang telah ditaqdirkan bagi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka, merupakan sunnah untuk mengikuti beliau dalam hal ini. 

Dari uraian di atas, dapat diketahui kekeliruan orang-orang dalam giatnya mereka shalat secara khusus, atau beribadah secara umum pada malam ke duapuluh tujuh, dengan memastikan atau seakan memastikan, bahwa malam itu adalah lailatul qadar, kemudian meninggalkan shalat dan tidak bersungguhsungguh berbuat taat pada malam-malam lainnya. 

Persangkaannya, bahwa mereka hanya akan mendapatkan ganjaran ibadah lebih dari seribu bulan ketika menghidupkan malam ini (malam duapuluh tujuh, pent.) saja. 

Kekeliruan ini membuat banyak orang melampaui batas dalam berbuat taat pada malam ini. Anda bisa lihat, diantara mereka ada yang tidak tidur, bahkan tidak henti-hentinya shalat dengan memaksakan diri tanpa tidur. Bahkan mungkin ada sebagian yang shalat, lalu memperlama shalatnya, sementara dia berjuang keras melawan kantuknya. Dan sungguh, kami pernah melihat diantara mereka ada yang tidur dalam sujud. 

Dalam hal ini, satu sisi merupakan pelanggaran terhadap petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasalam yang melarang kita melakukan hal itu. Pada sisi lainnya, itu merupakan beban dan belenggu yang telah dihilangkan dari kita -berkat karunia dan nikmatNya Azza wa Jalla . 

2. Diantara kesalahan sebagian kaum muslimin pada malam ini, yaitu sibuk mengatur acara, menyampaikan ceramah. Sebagian lagi sibuk dengan nasyid-nasyid dan nyanyian puji-pujian, sehingga lalai berbuatan taat. Anda bisa saksikan, ada orang yang begitu bersemangat, berkeliling ke masjid-masjid dengan menyampaikan berita terkini, serta bagaimana upaya pemecahannya. Itu dilakukan hingga menyebabkan pemanfaatan malam itu keluar dari apa yang dimaksudkan syari’at. 

3. Diantara kekeliaruan mereka juga, yaitu mengkhususkan sebagian ibadah pada malam itu seperti shalat khusus lailatul qadar. 
Sebagian lagi senantiasa mengerjakan shalat Tasbih secara berjama’ah tanpa hujjah. Sebagian lagi -pada malam ini- melaksanakan shalat hifzhul Qur’an, padahal tidak ada dasarnya. 

Pelanggaran-pelanggaran dan kekeliruan yang berkaitan dengan lailatul qadar –yang dilakukan banyak kaum muslimin- sangat beragam dan banyak sekali. Kalau kita kumpulkan dan kita selidiki, maka tentu pembicaraan ini menjadi panjang. Apa yang kami sampaikan disini, baru sebagian kecil saja. (Insya Allah) bermanfaat bagi penuntut ilmu, pendamba kebenaran dan pencari al haq.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun V/1422/2001M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-7574821]
________
Footnote
[1]. Syarah shahih Muslim. Bab Fadlu Lailatul Qadar


Komentar AHSI

Cara mengintai lailatul qadar menurut Kitab “Sifat Shaum Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam Fii Ramadhan” oleh Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid disarankan sebagai berikut:
Saudaraku —semoga Allah memberkahimu dan memberi taufiq kepadamu untuk mentaati-Nya— engkau telah mengetahui bagaimana keadaan malam Lailatul Qadar (dan keutamaannya) maka bangunlah (untuk menegakkan shalat) pada sepuluh malam terakhir, menghidupkannya dengan ibadah dan menjauhi wanita, perintahkan kepada isterimu dan keluargamu untuk itu, perbanyaklah perbuatan ketaatan.
Dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha.
كَانَ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ شَدَّ مِئْزَرَهُ ، وَأَحْيَا لَيْلَهُ ، وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ
Artinya: “Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, apabila masuk pada sepuluh hari (terakhir bulan Ramadhan), beliau mengencanngkan kainnya menghidupkan malamnya dan membangunkan keluarganya.” (HR. Bukhari 4/233 dan Muslim 1174)
Lafal شَدَّ مِئْزَرَهُ beliau mengencanngkan kainnya artinya Menjauhi wanita (yaitu istri-istrinya) karena ibadah.
Juga dari Aisyah, (dia berkata) :
قَالَتْ عَائِشَةُ رضى الله عنها كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَجْتَهِدُ فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مَا لاَ يَجْتَهِدُ فِى غَيْرِهِ.
Artinya: “Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersungguh-sungguh (beribadah apabila telah masuk) malam kesepuluh (terakhir) yang tidak pernah beliau lakukan pada malam-malam lainnya.” (HR. Muslim 1174)
Cara Mengintai Lailatul Qadar?
Lailatul Qadar adalah malam kebaikan, yang kebaikan di dalamnya tak bisa didapatkan pada malam selainnya. Maka siapa yang terhalang dari mendapatkan kebaikan di dalamnya, berarti ia telah terhalang mendapatkan semua kebaikan. Dan tidak terhalang dari mendapatkan kebaikannya, kecuali orang yang diharamkan dirinya dari kebaikan. Oleh karena, itu sudah sewajarnya seorang muslim menghidupkan malam tersebut dengan bersungguh-sungguh melakukan ibadah dan ketaatan kepada Allah dengan maksimal. Dan menghidupkannya harus didasarkan kepada iman dan berharap pahala kepada Allah. Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda:
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
"Barangsiapa yang menunaikan shalat malam di bulan Ramadan imanan wa ihtisaban (dengan keimanan dan mengharap pahala), diampuni dosa-dosanya yang telah lalu." (HR. Bukhari dan Muslim)
Kesungguhan dalam mencari Lailatul Qadar ini telah dimulai sendiri oleh Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam yang mengabarkan hadits di atas. Diriwayatkan dari AisyahRadhiyallahu 'Anha yang berkata, "Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersungguh-sungguh (pad sepuluh hari terakhir) yang tidak biasa beliau lakukan pada malam-malam sebelumnya." (HR. Muslim)
Hendaknya seorang muslim memperbanyak shalat, tilawatul Qur'an, shadaqah, dzikir dan doa di dalamnya. Dianjurkan juga untuk menjauhi istri untuk memaksimalkan ibadah di malam itu, serta membangunkan keluarganya untuk ikut menghidupkan malam kemuliaan tersebut. Dikabarkan oleh AisyahRadhiyallahu 'Anha,
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ - أَيْ الْعَشْرُ الْأَخِيرَةُ مِنْ رَمَضَانَ - شَدَّ مِئْزَرَهُ وَأَحْيَا لَيْلَهُ وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ
"Adalah Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam, apabila sudah masuk sepuluh –maksudnya sepuluh hari terakhir Ramadhan- beliau mengencangkan ikat pinggangnya, menghidupkan malamnya, dan membangunkan keluarganya." (Muttafaq 'alaih)
. . . Hendaknya seorang muslim memperbanyak shalat, tilawatul Qur'an, shadaqah, dzikir dan doa pada Lailatul Qadar. . .
Apa Doa yang Dipanjatkan Pada Malam Itu?
Dianjurkan untuk membanyak doa pada malam yang agung ini, Lailatul Qadar. Doa apa saja yang mengandung kebaikan dunia dan akhirat, dianjurkan untuk dimunajatkan kepada Allah di malam itu, karena ia termasuk waktu mustajab. Dan di antara doa khusus yang disyariatkan untuk dibaca di dalamnya adalah apa yang diriwayatkan dari 'Aisyah Radhiyallahu 'Anha, ia berkata: "Wahai Rasulullah, bagaimana menurutmu jika aku mendapatkan Lailatul Qadar, apa yang harus aku baca?" BeliauShallallahu 'Alaihi Wasallam menjawab, "Ucapkanlah:
اللَّهُمَّ إنَّك عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي
"Ya Allah, sesungguhnya Engkau Mahapemaaf dan senang memaafkan, maka maafkanlah kesalahanku." (HR. al-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad. Imam al-Tirmidzi dan al-Hakim menshahihkannya)

Misteri

Sampai sekarang gak bisa di tebak jatuhnya tanggal berapa lailatul qodar tiba, yang jelas malam ganjil 10 hari terakhir. Kenapa? hikmah kenapa Allah Ta'ala menyembunyikan pengetahuan tentang terjadinya malamLailatul Qadar adalah agar terbedakan antara orang yang sungguh-sungguh untuk mencari malam tersebut dengan orang yang malas. Karena orang yang benar-benar ingin mendapatkan sesuatu tentu akan bersungguh-sungguh dalam mencarinya. Hal ini juga sebagai rahmat Allah agar hamba-hambaNya memperbanyak amalan pada hari-hari tersebut, dengan demikian mereka akan semakin bertambah dekat dengan-Nya dan akan memperoleh pahala yang sangat banyak. Semoga Allah memudahkan kita memperoleh malam yang penuh keberkahan itu. Karena penyakit besar yang menimpa umat Islam yang menyebabkan malam-malam ramadhan menjadi lesu sebab mereka hanya menanti malam yang dianggap malam lailatul qadar saja untuk beribadat. Kerana mengejar kelebihan Lailatul Qadar dimana kita tidak mengetahui masanya hingga menyebabkan terlepas dengan kelebihan ramadhan itu sendiri yang hanya datang setahun sekali.

Cikarang Barat , 24  Ramadhan 1432 H /  24 Agustus  2011 JAM .00.40  WIB
Tukang: Baru mencari Ilmu, Herbalis, Thibbun Nabawy, Penjual Buku Islam dan Advokat (0811195824)

ABU Hada SUKPANDIAR IBNU MUHAMMAD IDRIS